Breaking News

Agar Ringan dalam Taat, Berat dalam Bermaksiat

Spread the love

Oleh. Anisah Rahmawati,S.Kep.,M.Kep

MuslimahTimes.com – Ketaatan bagi orang yang beriman (mukmin) sejatinya sesuatu yang senantiasa ingin diwujudkan. Keyakinannya kepada Allah sebagai sang pencipta dan pengatur kehidupan sering memunculkan cita-cita agar bisa selalu taat kepada Allah dimanapun berada. Karena orang beriman sangat yakin akan adanya hari pertanggungjawaban amal, bahkan pada amal yang sangat kecil sekalipun (Keimanan pada Q.S Al Zalzalah 7-8)

Orang beriman juga sangat yakin bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang sangat singkat dan menjadi penentu kondisinya kelak di kehidupan akhirat. Orang beriman juga sangat meyakini bahwa kehidupan akhirat pasti ada dan ada dua kehidupan di sana, yakni kehidupan penuh kenikmatan di surga dan kehidupan penuh derita dan kehinaan di neraka (QS.An Naba: 17-40)

Karenanya tak jarang tekad untuk selalu taat pada perintah Allah muncul dan menguat. Namun tak jarang pula tekad itu tetiba melemah dan nyaris punah sehingga muncul kondisi yang sering memaklumi diri atas segala pelanggaran yang telah dilakukan. Walhasil cita-citanya untuk bisa meniti jalan ketaatan dan kelak menikmati kenikmatan surga seakan hanya angan-angan.

Memahami Perilaku Manusia

Perilaku manusia secara umum terjadi karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan atas potensi hidupnya. Manusia secara fitrah dibekali oleh kebutuhan dasar hidup yakni kebutuhan sandang pangan papan, sehingga secara alami pasti akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain kebutuhan dasar hidup, manusia juga dikaruniai naluri yakni naluri beragama, naluri melangsungkan keturunan, dan juga naluri mempertahankan eksistensi diri. Sehingga bisa kita dapatkan dalam dinamika aktivitas manusia semua dalam rangka pemenuhan-pemenuhan potensi hidup yang sudah diberikan Allah Swt.

Dan dalam melakukan aktivitas, secara mudah sebuah perilaku atau amalan terjadi karena dorongan pemahaman yang dimiliki. Seseorang melakukan aktivitas makan, minum karena adanya pemahaman bahwa dia harus minum, makan dan ketika tidak minum atau makan akan mengantarkan kepada sakit atau bahkan kematian. Seseorang menjauhi makan bangkai, babi, anjing karena memahami makanan-makanan tersebut adalah makanan yang dilarang oleh Allah Swt dan mengantarkan kemurkaan Allah. Karenanya jenis dan kekuatan pemahaman menjadi hal yang penting dalam terwujud atau tidaknya sebuah perilaku.

Memahami Cacat Perilaku Seorang yang Beriman (Baca: Kemaksiatan)

Kemaksiatan secara mudah adalah perilaku yang tidak sesuai dengan petunjuk atau perintah dari Allah Swt. Kemaksiatan memang merupakan hal yang sangat potensial dilakukan oleh seorang muslim, karena manusia diciptakan oleh Allah Swt dengan potensi taat dan maksiat secara bersamaan. Berbeda dengan malaikat yang hanya diciptakan oleh Allah Swt dengan potensi taat saja.

Potensi taat dan maksiat inilah yang menjadi keunikan serta kelebihan manusia. Bersama potensi ini Allah Swt memberi potensi akal. Potensi akal inilah manusia bisa memikirkan mana yang baik, dan mana yang tidak. Mana yang bisa menyelamatkannya dan mana yang bisa membinasakannya. Memahami potensi ini bukan berarti memaklumi sebuah kemaksiatan, namun memahami bahwa potensi manusia melakukan kemaksiatan itu pasti selalu ada selama manusia masih dihidupkan oleh Allah Swt.

Menurut Syeikh Taqiyuddin An Nabhani (dalam Buku Islam Politik & Spiritual), cacat perilaku(baca kemaksiatan) terjadi karena 3 hal:

1. Manusia lengah dalam mengaitkan pemahaman dan akidahnya.
2. Kebodohan yang menyebabkan ketidaktahuan jika yang dilakukan adalah kemaksiatan.
3. Adanya godaan syaitan yang berhasil mengendalikan perilakunya.

Tiga hal ini secara mudah menjadi analisis kenapa seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bisa bermaksiat. Sebab pertama, kelengahan, hal ini bisa terjadi karena kelemahan menjaga diri dari kemaksiatan. Atau bahkan memaklumi diri “gak papalah, sedikit kok, besok nggak lagi”. *Kondisi ini merupakan sebuah kezaliman seseorang pada dirinya sendiri, yakni pada saat dia sudah memahami sesuatu namun membiarkan dirinya terjerembab pada jalan yang justru mengarahkan pada jalan yang tidak diridai Allah. Kondisi ini seringkali terjadi pada lemahnya nafsiah/jiwa/ketaatan kepada Allah Swt. *

Kedua, kebodohan, ketidaktahuan. Poin kedua ini sangat terkait dengan kewajiban menuntut ilmu bagi seorang mukmin. Di sinilah relevansinya, bahwa kewajiban menuntut ilmu ini bagi seorang mukmin adalah persiapan agar amalnya benar.dalam konsep Islam dinal “Al ilmu qabla ‘amal” (ilmu itu sebelum beramal).

Ketiga, Godaan Syaiton yang berhasil mengarahkan perilaku. Sangat masyhur dalam banyak dalil bahwa syaiton sudah minta izin kepada Allah Swt agar mengajak manusia kepada ketidaktaatan. Syaiton sangat gigih dalam mengajak manusia membangkang atau menyalahi perintah Allah Swt. Syaitan sangat tidak suka dan tidak rida pada orang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt.

Agar Tidak Ringan Bermaksiat

Pemahaman atas sebab sebuah kemaksiatan terjadi menjadi hal yang sangat penting dan harusnya akan mengarahkan seseorang untuk mendeteksi posisi diri. Ketika sadar begitu banyak ketidaktahuan akan petunjuk-petunjuk amal dari Allah, maka pastinya akan mendorong dirinya serius dan memprioritaskan untuk menuntut ilmu. Kewajiban menuntut ilmu dalam Islam tidak dibatasi usia, atau apapun. Masyhur sebagaimana disampaikan Rasulullah bahwa “Menuntut Ilmu dari buaian sampai liang lahat”. Jangan pernah malu menuntut ilmu karena usia tak lagi muda atau lambatnya dalam memahami sesuatu. Niatkan semua karena Allah Swt dan kencangkan doa agar Allah Swt rida atas kesungguhan kita, dan beri kemudahan dalam pelaksanaan dan keberkahan ilmunya.

Begitupula terkait dengan poin 1 dan poin 3. Hal ini sangat membutuhkan kuatnya iman dan kedekatan kepada Allah Swt. Terus hadirkan di pelupuk mata akan iman kepada surga dan neraka, renungi kembali informasi-informasi dari Allah Swt tentang kenikmatan surga dan pedihnya neraka. Serta keburukan orang yang menjadi pengikut syaiton. Nabi Adam sekali mengikuti arahan syaiton, hal tersebut menjadi jalan dikeluarkannya beliau dari kenikmatan kehidupan surga. Maka pantaskah diri kita yang berulangkali mengikuti ajakan syaiton?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini layak untuk terus kita hidupkan agar menjadi penyemangat kita bersegera dalam memenuhi segala perintah Allah. Optimal dalam semua perintah wajib, dan berusaha melaksanakan amalan-amalan yang dianjurkan oleh Allah Swt.

Kesadaran akan terbatasnya waktu hidup di dunia seharusnya juga sangat ampuh untuk mendorong dalam ketaatan dan berat dalam melakukan kemaksiatan. Kesadaran bahwa maut yang bisa datang sewaktu-waktu juga cukup penting. Kesadaran ini menyadarkan diri bahwa kita tidak pernah menjamin bahwa kesempatan kita beramal shalih atau memperbaiki kesalahan itu masih ada. Kesadaran ini juga seharusnya bisa menjadi rem yang ampuh saat diri akan bermaksiat. Karena seseorang yang beriman memahami betul bahwa menjadi musibah yang sangat besar jika meninggal dalam kemaksiatan.

Hal yang penting pula dalam membangun suasana ketaatan adalah menciptakan lingkungan atau komunitas yang menguatkan kepada ketaatan. Perkara ini disampaikan oleh Rasulullah bahwa kawan-kawan dan lingkungan akan potensial mempengaruhi kita. Beliau menyampaikan berkawan dengan penjual minyak wangi, kita akan wangi. Dan berteman dengan pandai besi kita akan kena abu dan baunya juga. Karenanya mendekatlah dengan komunitas yang kita kenal istiqamah dalam ketaatan. Komunitas yang akan saling menjaga dan meningkatkan dalam ketaatan.

Allahu A’lam bishshowab