Breaking News

Antara Boikot dan Birokrat

Spread the love

Oleh Henyk Nur Widaryanti

Muslimahtimes– Pembicaraan tentang LGBT selalu menjadi topik menarik. Antara pro dan kontra tak pernah pupus menyelimuti istilah ini. Tak perlulah saya menjelaskan panjang lebar apa itu LGBT. Karena semua pasti sudah tahu kepanjangannya. Pada intinya istilah ini dipakai untuk sekelompok orang yang memiliki perbedaan perilaku dari orang umumnya.

Bagi negara di luar sana. Kebanyakan telah melegalkan perilaku ini. Bahkan banyak di antara negara tersebut telah membolehkan pernikahan sejenis. Setidaknya dari data Pew Research Center di tahun 2019 ada 30 negara yang telah melegalkannya. Bisa jadi tahun 2020 saat ini sudah bertambah. (tirto, 24/10/19)

Berbeda dari negara-negara tersebut. Di Indonesia sendiri, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, perilaku seperti ini adalah tabu. Walaupun belum ada aturan yang jelas melarang tingkah polah mereka. Setidaknya, secara norma agama dan norma sosial sangat bertentangan.

Beberapa waktu yang lalu isu ini sempat mencuat ke permukaan. Setelah adanya pemberitaan akan diadakannya kontes waria di Bali. Namun, karena banyak penolakan akhirnya kontes ini ditiadakan. Beberapa waktu telah berlalu, isu ini tetap menjadi tabu. Dan melahirkan reaksi besar dari bangsa ini. Setelah perusahaan penguasa pasar mengunggah icon perusahaannya dengan warna pelangi.

Sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang menggemparkan. Sebelum perusahaan berlogo U ini mengeluarkan statement pro LGBT, perusahaan lain sudah lebih dulu mengusungnya. Nampak beberapa perusahaan dunia telah terang-terangan mendukung aktivitas mereka atas nama keberagaman. Setidaknya ada 200 perusahaan dunia menurut laman huffingtonpost yang sudah secara terang-terangan mendukung. (hops.id,26/6/20)

//Beragam Reaksi//

Akibat munculnya pernyataan-pernyataan dari perusahaan tersebut, akan memunculkan beragam reaksi. Bagi negara mayoritas penganut paham kebebasan keputusan macam ini akan sah-sah saja. Pasalnya, perilaku LGBT merupakan bentuk ekspresi kebebasan tingkah laku.

Tentu hal ini berbeda dengan negeri mayoritas muslim. Contohnya Indonesia. Jagad media sosial sempat gempar dengan ajakan boikot yang lahir dari para netizen. Tak terkecuali Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua Komisi Ekonomi MUI, Azrul Tanjung, mengajak bangsa Indonesia untuk beralih ke produk lain. Meninggalkan produk U, sebagai aksi boikot atas pernyataan perusahaan global tersebut.

//Hitung-hitungan Keberhasilan//

Aksi boikot ini memang reaksi secara spontan karena ungkapan ketidaksenangan atas unggahan perusahaan berlogo U. Tapi sampai kapan hal ini bisa berlanjut? Satu tahun, dua tahun atau hanya hitungan bulan, aksi ini tidak akan bertahan lama. Karena para Emak pastinya berat meninggalkan produk kesayangannya. Sudah kadung jatuh “cintrong”.

Apakah menjamin dengan aksi ini perusahaan tersebut akan bangkrut? Semua tergantung siapa yang boikot. Separuh kaum muslim di Indonesia? Atau seluruh kaum Muslim di negeri ini? Atau seluruh kaum muslim dunia? Tak bisa dipungkiri jika tak semua kaum muslim kontra dengan isu ini. Karena meski mereka Muslim, masih banyak juga yang belum memahami Islam secara mendalam. Umat Muslim dunia menurut data 2015 yang diambil oleh wikipedia hanya sekitar 24% penduduk dunia. Maknanya, kalaupun seluruh umat muslim boikot, perusahaan tersebut belum tentu langsung kolaps. Apalagi hanya bangsa Indonesia saja, masih kurang pasukannya untuk sekadar boikot.

Namun, bukan berarti boikot itu salah. Hanya kalau tujuannya untuk merugikan perusahaan atau memperlihatkan ketidaksukaan kita terhadap cara mereka mendukung LGBT, bolehlah dilakukan. Tapi kalau sampai menutup mulut mereka dan membuat jera agar tidak mempromosikan perilaku penyimpangan ini, rasanya akan sia-sia saja. Apalagi boikot bukanlah aktivitas yang terorganisir. Mudah sekali menguap jika isu ini tenggelam.

//Perlu Peran Birokrat//

Boikot produk secara mandiri jelas tak akan membuahkan hasil yang signifikan. Berbeda halnya jika yang boikot itu para birokratnya. Artinya para birokrat memberikan kebijakan memboikot produk dari perusahaan pendukung LGBT. Sekitar 200 perusahaan berarti. Termasuk Instagram, Google, Starbuck, Apple, Microsoft dll. Seluruh perusahaan tadi tidak boleh masuk ke negara karena mengkampanyekan ide yang bertentangan dengan Islam. Tapi, melihat ketergantungan kita terhadap produk perusahaan tersebut, kuat kah kita hidup tanpa fasilitas itu? Dan adakah negara yang berani melakukannya?

Maknanya, untuk membungkam kampanye pendukung aktivitas ini, tak sekadar boikot atau kebijakan birokrat. Butuh kekuatan lain, yang tegas, digdaya dan ditakuti para korporator dunia. Jika birokrat saja tak cukup, berarti butuh kekuatan kedaulatan negara. Meskipun negara itu kecil, penduduknya masih minoritas, tapi jika ia punya taring untuk melawan para kapital. Maka, dijamin para kapital itu tak akan berani bersuara.

//Birokrat Berdaulat//

Jika ini berhubungan dengan negara yang berdaulat yang menghasilkan birokrat yang taat, maka landasan kedaulatannya tak sekadar mainan. Bukan hanya akal-akalan. Tapi butuh kedaulatan yang besar. Dari mana lagi kita bisa dapatkan kedaulatan yang kuat jika bukan dari Sang Pembuat Kehidupan?

Melalui Rasulullah Saw, lahirlah sebuah negara kecil disebut Madinah. Dari Madinah, berkembang merambah Jazirah Arab. Tak lama setelah itu sampai ke negeri Persia, Benua Afrika hingga Benua Eropa. Dari negara kecil, tapi digdaya. Memiliki Islam sebagai tuntunannya. Bisa membungkam kejahatan, penindasan dunia. Hingga merubah kebudayaan kotor menjadi peradapan yang unggul.

Hanya Islam yang dipegang oleh para birokrat taat yang mampu membungkam para korporat dunia. Apalagi jika seluruh birokrat Muslim bersatu dan bersama-sama membungkam mereka. InsyaAllah tidak akan ada lagi perusahaan level dunia yang meski berbeda pemahaman akan berani mempromosikan perilaku menyimpang ini. Wallahu a’lam bidhowab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.