Breaking News

Bayi Peluk Jasad Ayahnya, Potret Keluarga Mati Merana

Spread the love

Oleh : Kholda Najiyah

Pimred www.muslimahtimes.com

Muslimahtimes– Nisa, bayi 14 bulan ditemukan menangis dalam rumah terkunci. Memeluk jasad ayahnya yang telah membusuk. Diperkirakan, sang ayah, Fauzi (40) sudah wafat tiga hari. Artinya si bayi tiga hari pula tak terurus. Sebab, ia hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Sang ibu bekerja ke Taiwan.

Kejadian di Perumahan Kaliwining Asri Blok C6, Dusun Bedadung Kulon, Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jatim Jawa Timur, di dalam kamar rumahnya, Rabu (14/8/2019).

Polisi yang menemukan si anak pun menitikkan airmata, melihat kondisinya yang memprihatinkan. Terbayang kan, tiga hari ia bertahan hidup. Bagaimana dengan makan minumnya? Bagaimana buang hajatnya? Apakah tak pernah sekalipun ia menangis? 😭

Sebelum wafat, apakah sang ayah tak sempat menghubungi siapapun untuk meminta pertolongan? Apakah teman kerja, relasi, bos, sesama jamaah salat, atau yang sering berhubungan dengannya tak pernah berkomunikasi bertanya kabar? Tak curigakah kawannya “menghilang” tiga hari tanpa menjawab WA misalnya? 😭

Ah, nalar ini tak sadar berkelana. Ingin rasanya menggugat, mengapa selalu ada kejadian yang terlalu memilukan. Seorang suami diserahi mengurus batita, apakah dia sendiri tidak bekerja? Istri yang terpaksa mengadu nasib ribuan kilometer jauhnya. Meninggalkan darah daging yang masih harus disusuinya, demi apa?

Yakinlah, hati sang istri juga teriris sembilu. Mana ada seorang ibu yang tega meninggalkan bayinya. Alasan uang hanyalah karena keadaan. Keterpaksaan. Begitu susahnya mencari sesuap nasi di negeri ini, hingga harapan tak bisa digantungkan pada suami. Istri lantas pasang badan. Mencoba tampil terdepan. Siap sisingkan lengan. Mengatasi kesulitan yang menghadang.

Ia hanya ingin menjamin kelangsungan hidup anaknya. Meski hatinya gerimis meninggalkan keluarga kecilnya. Jiwanya merana. Sepi dalam kesendirian, jauh di perantauan. Tapi, rayuan pengerah tenaga kerja akan kesejahteraan instan, telah menaklukkannya. Toh hanya sementara. Satu-dua tahun saja. Biarlah ia berkorban. Begitu pikirnya.

Tekanan yang sama melanda suami. Siapa yang tak jatuh harga diri ketika terpaksa melepas istri menjadi TKI? Hati kecilnya menjerit tak tega. Bisakah ia hidup tanpa belahan jiwanya? Rumah terasa sunyi. Dinding terasa dingin. Kopi terasa pahit. Tanpa sentuhan tangan sang istri. Jiwa pun terasa mati. Merana dalam sepi.

Ini sungguh lingkaran setan. Bukan salah suami, bukan pula salah istri. Bukan salah takdir. Bukan salah bunda mengandung. Inilah buah busuk kehidupan dunia yang tidak dikendalikan oleh aturan Sang Pemilik Dunia. Dunia diperbudak oleh sistem kapitalisme sekular. Sistem yang turut bertanggungjawab menghancurkan institusi keluarga. Mengapa?

Sistem sekular kapitalis tidak punya mekanisme dalam menjamin kebutuhan pokok warga negaranya. Semua diserahkan kepada individu-individu masing-masing. Sistem ini tak peduli, apakah warganya kelaparan atau kesakitan. Apakah para suami bekerja atau tidak. Apakah para istri dan anak-anaknya tercukupi kebutuhannya atau tidak. Apakah keluarga itu mampu menjalankan fungsinya atau tidak. Seolah institusi keluarga bukan tanggung jawab sebuah negara.

Sistem sekular kapitalis menegakkan hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang mampu bertahan. Siapa yang lemah, dia bakal punah. Apa sumber kekuatan itu? Uang. Mereka yang mampu mengakses sumber ekonomi dengan mudah, akan semakin kaya. Seperti pengusaha-pengusaha kelas kakap, yang kekayaannya menggurita namun tak banyak membantu kemaslahatan sesama.

Sementara di kalangan kelas bawah, begitu sulitnya mengais rupiah. Pekerjaan sulit didapat, jika kerja penghasilan pun pas-pasan. Sementara harga-harga kebutuhan pokok tak terkendali. Negara pun minim andil mengendalikan semua ini.

Tak ada keluarga yang dijamin sumber keuangannya, kecuali mereka harus berupaya sendiri. Negara tak tahu menahu, apakah kebutuhan pokok warganya tercukupi atau tidak. Terbukti, aneka subsidi dikebiri. Dianggap terlalu memanjakan rakyat. Seolah ingin berkata: “Sana, carilah pekerjaan sendiri. Kalau mau kaya, ya usaha sendiri. Kalau perlu pergilah ke luar negeri.”

Terguncanglah bangunan keluarga. Suami terpaksa mengizinkan istri bekerja. Sebab tenaga wanita lebih laku di bursa kerja. Tangannya lebih terampil, sementara gaji bisa diperkecil. Apalagi menjadi tenaga kerja asing di negara tetangga. Ah, tenaga kerja asing? Itu istilah terhormat untuk ekspatriat di negeri ini. Yang terjadi, para istri; para ibu mulia; yang notabene peletak dasar pendidik generasi ini; dieksploitasi sebagai buruh kasar di rumah tangga-rumah tangga orang kaya di luar negeri. Negara dapat devisa, tak peduli hati kaum ibu yang merana. Menjadi buruh migran bukanlah cita-citanya.

***

Hakikat berkeluarga adalah bersatu. Bersama bahu membahu saling membantu. Bukan hanya hadirnya uang, tapi juga kehadiran fisik dan kasih sayang. Kasarnya, petuah kuno “mangan ora mangan sing penting kumpul” (makan tidak makan yang penting kumpul) pas untuk sebuah keluarga inti. Keluarga kecil yang baru saja membangun rumahtangga. Sedang masa pertumbuhan bersama. Suami tumbuh sebagai ayah, istri tumbuh sebagai ibu dan bayi tumbuh sebagai anak. Semua butuh kebersamaan. Walau bersahaja.

Nah, negara seharusnya memastikan kebersamaan mereka. Menjamin setiap pasangan yang sudah menikah agar tak kesulitan ekonomi. Memberi pekerjaan layak para suami. Menyerahkan pengasuhan bayi-bayi pada ibu kandungnya sendiri. Jangan negara malah memfasilitasi keluarga agar terserak. Dengan alasan menggenjot devisa negara, tapi abai menggenjot devisa sebuah keluarga.

Ketika seorang istri memutuskan menjadi TKI, seharusnya negara bertanggung jawab untuk melakukan cegah-tangkal. Korek dulu data para istri ini, apa motifnya sampai harus bekerja. Ke mana suaminya, apa pekerjaannya. Apakah suaminya sehat atau tidak. Apakah tak mampu menafkahi. Apakah istri meninggalkan anak atau tidak. Dan seterusnya. Dari sini akan ketahuan bagaimana profil keluarga-keluarga calon TKI. Hingga dapat dicari solusi.

Demikian seharusnya negara bertindak sebagai perisai. Melindungi, bukan mengeksploitasi. Menjaga, bukan membiarkan keluarga merana. Perisai seperti ini hanya ada jika sistem hidup berdasar aturan Allah Swt. Seperti ketika masa-masa kekhilafahan dahulu kala. Ingatkah kita, bagaimana Khalifah Umar memanggul sendiri sekarung gandum untuk seorang ibu pemasak batu, demi meredakan tangis sang buah hati.

Sungguh kita rindu pemimpin seperti ini. Maka, mari ganti sistem hidup sekular kapitalis dengan sistem Ilahi. Supaya terjamin kebersamaan keluarga secara hakiki.

Jangan biarkan keluarga-keluarga Muslim mati merana. Bukan hanya mati dalam makna harfiah seperti ayah Nisa, tapi juga mati jiwanya karena hidup dalam keterasingan dari syariat-Nya. [nb]

 

*Sumber gambar : Google

Leave a Reply

Your email address will not be published.