Breaking News

“Bisa Kok Jadi Orang Baik Tanpa Agama?”

Spread the love

Oleh : Alga Biru

#MuslimahTimes –– “Makan aja yang pengen lo makan, it’s OK, selagi itu baik menurut lo dan nggak merugikan siapa-siapa. Untuk jadi orang baik, kita nggak butuh agama.” Kalimat itu terdengar mudah dan mengalir dari sebuah wawancara penyuka kuliner Panggangin, makan suka-suka alias memakan apa saja, termasuk sesuatu yang dinilai tabu oleh ajaran tertentu (agama). 

Pekan lalu bahkan sempat viral dan kontroversial bagaimana respon warganet perihal ditutupnya sebuah restoran di Mall Phinisi Point (Pipo) Makassar yang konon menjual minuman keras dan makanan haram (olahan babi). Melalui akun instagram @dasadlatif1212 milik Dasad Latif selaku bagian dari Aliansi jaga moral Makassar memberikan pernyataan terkait. “Beberapa waktu lalu, masyarakat kota Makassar dan Sulawesi pada umumnya dihebohkan oleh penjualan daging babi secara terang-terangan di public space. Ini tentu tidak menjadi kelaziman bagi masyarakat bugis makassar, karenanya kami komunitas jaga moral, aliansi jaga moral Makassar datang ke tempat ini, bertemu dengan Bang Billi dan manajemen Pipo, Alhamdulillah direspon dengan baik,” ujarnya. Video singkat ini direspon oleh ribuan warganet, ada yang merespon positif dan tak sedikit pula yang kritis. Sebagian besar dari komentar-komentar di postingan ini menyinggung tindakan kelompok ini yang dianggap mencederai toleransi keberagamaan. 

Kalau dipikir-pikir, apa sih yang dimaksud baik? Kita bisa menemukan belasan bahkan puluhan definisi “baik” tentang satu objek perkara. Pakaian sopan menurut orang Minang atau orang Melayu tempo dulu, bisa jadi dengan memakai baju kurung dan kain tudung. Sedangkan bagi suku pedalaman Papua, memakai koteka atau baju adat yang terbuat dari pelepah pohon yang menutupi sebagian kecil tubuh sudah terkategori santun. Itu baru satu perkara, baru soal cara berpakaian, belum lagi definisi baik lainnya. Artinya, kalau kita serahkan definisi kebaikan pada manusia, mustahil tidak ditemukan perbedaan. Dengan kata lain, mustahil tidak ditemukan pertentangan satu sama lainya. Artinya kebaikan menjadi sesuatu yang sangat relatif dan tak pernah kita temukan ujungnya. Padahal, penentuan baik dan buruk ini sangat berperan bagi manusia membuat keputusan di dalam hidup. Keputusan tentang apa yang kita pakai hari ini, apa yang dimakan, apa yang tidak boleh dimakan, apa yang boleh dimasuki dan seterusnya.

Apa jadinya jika kerelatifan ini tidak diatur dalam satu segmen yang rigid atau baku? Maka, satu manusia dengan sangat mungkin mencederai kepentingan orang lain, dengan alasan “ini kan menurutku boleh-boleh saja, ini kan perbuatan baik”. Jika ini langgeng dalam kehidupan kemanusiaan, maka sangat mudah untuk kita tersulut dalam peperangan yang tak berkesudahan.

Contoh kecil saja, dalam berlalu lintas sehari-hari. Semua orang menaati satu definisi yang sama, bahwa lampu merah untuk berhenti, dan lampu hijau saatnya kendaraan boleh berjalan. Apa jadinya jika ada satu orang atau sekelompok orang yang ngotot punya pandangan sebaliknya? Atau tidak mau menuruti aturan lalu lintas dan berkendara sesuka hati, seenak kemauannya. Orang semacam ini akan dikucilkan masyarakat karena berbuat keonaran dan biang keladi pembawa petaka.

Agama membawa peran besar dalam penentuan baik-buruk (hasan-qabih). Allah Swt, selaku Al Khaliq yang menciptakan makhluk pasti lebih tahu tentang makhluk-Nya dibanding makhluk itu sendiri. Dengan segala kemuliaan dan kebijaksaan yang melekat atas sifat-Nya, Dia memberi aturan dan batas-batas demi kebaikan dan keseimbangan kehidupan. Salah satunya adalah apa yang dipandang sebagai kebaikan maka akan diganjar pahala. Sebaliknya, segala bentuk keburukan dan pelanggaran mendapat konsekuensi dosa. Dengan pemikiran ini, maka secara logis, terhapuslah segala bentuk kerelatifan tentang kebaikan menjadi satu definisi saja yakni definisi Sang Pencipta. Allah Swt selaku Sang Pembuat Hukum menghapus segala kerelatifan hingga satu kiblat saja, yaitu hak prerogatif Allah semata. Ini pun sangat logis, karena tidak ada yang setara dengan-Nya dari sisi sifat dan kekuatan. Maka, jika ada manusia atau makhluk, yang mengambil “tugas” dan “hak” ini, maka secara tidak langsung ia menyombongkan diri di hadapanNya atau bahkan tidak menganggap Tuhan ada sama sekali.

Adapun fakta bahwa terkadang manusia yang beragama pun kerap berbuat dosa dan kerusakan, tidak serta merta agama menjadi objek persalahan. Atau seolah-olah kita menganggap, ada dan tiadanya agama sama saja, ada dan tiadanya agama seseorang bisa buruk dan baik sekaligus. Tidak, tidaklah demikian. Orang yang mengetahui kebaikan dan nilai-nilai saja bisa berbuat salah, apalagi yang tidak mengenalnya (agama). Sehingga, kalaupun ada orang yang tanpa agama dinilai lebih baik dibanding orang yang beragama, maka kebaikan yang dia perbuat biasanya dimotivasi atas hal lain dengan sandaran temporal, dan lagi-lagi, atas definisi kebaikan yang relatif. Entah atas dasar adat setempat, etika moral, atau kepentingan fisik. Dan kerelatifan ini bertentangan dengan pokok-pokok dasar agama yaitu beriman dan menisbatkan perbuatan dalam rangka nilai dan keridhaan Allah Swt. Jika bukan lillahi ta’ala alias demi Allah Swt, boleh jadi manusia berbuat untuk dorongan syahwatnya (kepentingan pribadi). Kehendak semacam ini, tidak dianggap di hadapan Allah Swt, ibarat debu-debu tak bernilai yang berterbangan di gurun pasir.

”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (Qs. Al-An’am : 57)

Maka, menjawab pertanyaan : bisa kok orang jadi baik tanpa agama? Jawabnya, dia mungkin baik untuk dirinya dan orang lain, tapi tidak pernah baik di hadapan Allah Swt. Orang semacam ini, hanya menunggu waktu untuk dirinya melanggar definisi absurd yang dia ciptakan sendiri. Sebab akal manusia, tidak mampu menjangkau hakikat atas apa-apa yang dia perbuat. Uniknya, jika manusia itu hidup dalam kebaikan yang Allah Swt tetapkan, niscaya dia baik untuk keselamatan diri dan orang sekitarnya. Cukup memilih definisi Allah, kita mendapat tiga kebaikan. Bandingkan jika kita memilih definisi sendiri, dengan konsekuensi dua keburukan atau bahkan seluruhnya? Akankah kita berjudi (mengundi nasib) untuk sesuatu yang pasti kalah? Logislah, pilih yang pasti-pasti saja.

“Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah?” (TQS. al-Baqarah/2:140) [] 

Leave a Reply

Your email address will not be published.