BPJS Naik Terus, Kapan Turun Kesejahteraan?

Spread the love

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

(Institut Literasi dan Peradaban)

Muslimahtimes. Tak pernah muncul, tak pernah komentar, bahkan tak pernah beri solusi, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tiba-tiba mengisyaratkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Ada apa? Padahal pada tanggal 1 Juli 2020, BPJS sudah ditetapkan iurannya naik.

Terawan berdalih ada penyesuaian iuran sebagai amanat Peraturan Presiden 64 Tahun 2020 atas kelas standar dan kebutuhan dasar kesehatan (KDK). “Adanya amanat dalam Perpres 64/2020 tentang peninjauan ulang iuran Jaminan Kesehatan Nasional, rawat inap kelas standar, konsekuensinya pada perubahan besaran iuran” terang dia saat rapat bersama Komisi IX DPR, 24 November 2020.

Penetapan iuran, sambung Terawan, tentunya dengan pertimbangan Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, termasuk juga kementerian yang dipimpinnya, Kementerian Kesehatan (CNNIndonesia, 24/11/2020).

Dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang sudah disahkan per 1 Juli tersebut, ada perubahan cukup signifikan terjadi bagi peserta mandiri, yakni peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Iuran yang sebelumnya hanya dibayarkan oleh peserta, kini turut dibantu oleh pemerintah, baik melalui pemerintah pusat maupun daerah.

Pada waktu itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menjelaskan putusan kembali menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) demi menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan.”Terkait BPJS Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, tentunya ini untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan,” ujar Airlangga (Kompas.com,1/7/2020).

Mengapa besaran iuran harus ditinjau kembali? Padahal peraturan yang ditetapkan 1 Juli tersebut sudah memuat informasi bahwa pemerintah akan memberi subsidi bagi pembayar iuran BPJS 2020 untuk kelas III periode iuran Juli-Desember 2020 sebesar Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

Namun pada 2021 subsidi yang dibayarkan pemerintah akan berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000. Jika kemudian akan benar-benar ditinjau kembali apakah itu berarti subsidi akan dikurangi lagi, yang berarti ada kebaikan pembayaran dari kantong kelas III sendiri.

Pengurangan subsidi secara bertahap ini jelas menyakiti hati rakyat, sebab artinya sama saja rakyat membayar sendiri jaminan kesehatannya sejak awal. Negara “membantu” ala kadarnya. Itupun secara bertahap dikurangi. Apa alasannya? Masalah kesehatan rakyat sebetulnya kita tak hanya bicara biaya, namun juga sarana dan prasarana serta kemudahan rakyat mengaksesnya. Tanpa strata apalagi tanpa subsidi apapun.

Fakta hari inilah yang sangat bertentangan dengan hadis Rasulullah yang berkaitan dengan fungsi pemimpin. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Semua mufasir dan Imam Mazhab sepakat, bahwa yang dimaksud dengan raa’ in adalah mengurus sekaligus pemelihara urusan rakyatnya. Rakyat lapar, tak berpakaian layak, tak memiliki tempat berteduh layak, tak memiliki pekerjaan agar mereka bisa menafkahi keluarganya hingga jika muncul gangguan hingga menghilangkan rasa aman dan tentram penguasalah yang bertanggung jawab.

Allah melaknat pemimpin yang mati dalam keadaan berdusta dan abai terhadap rakyatnya. Lantas bagaimana bisa pemimpin hari ini selalai itu hingga tega mengurangi subsidi, yang mana seharusnya menggratiskan, sebab kesehatan adalah salah satu dari enam kebutuhan pokok yang harus dipenuhi negara, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Pemimpin lalai dan abai hanya ada dalam sistem selain Islam, dimana sistem itu landasannya adalah sekuler, yaitu mengutamakan hukum positifnya adalah buatan manusia. Jelas tak akan sampai pada tujuan akhir yaitu kesejahteraan hakiki, melainkan kesengsaraan. Sejak kesehatan diserahkan pada sektor swasta, sejak itu pula kesehatan rakyat kian terpuruk.

Ada saja keluhan yang muncul, baik dari BPJS sendiri dengan defisit anggaran yang terus menerus hingga rakyat yang dituduh penyebab tunggakan iuran menumpuk. Karena sistem BPJS menafikan fitrah manusia. Pembayaran iuran tak mungkin bisa disamakan, selain profesi beda, kemampuan fisik beda dan pengaruh pengaturan ekonomi kapitalis makin membuat rakyat sengsara, peran negara minim sementara kebutuhan hidup kian tinggi.

Hari ini diperparah dengan pandemi Covid-19. Gelombang PHK susul menyusul namun lapangan pekerjaan kian sempit. Maka selama kapitalisme masih menjadi sandaran selama itu pula tak ada perbaikan keadaan yang signifikan. Sekali lagi kesehatan adalah salah satu hak pokok yang harus dipenuhi oleh negara. Tak pelak kita hanya butuh sistem Islam yang sudah terbukti kebenaran metodenya.
Wallahu a’lam bish showab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.