Breaking News

Buruh Ditendang, Tenaga Asing Diundang; Begini Pandangan Islam

Spread the love

Oleh: Kholda Najiyah

MuslimahTimes– Tujuh bulan sejak pandemi, jutaan rakyat telah kehilangan pekerjaan. Akibat wabah penyakit ini pekerja di Indonesia yang dirumahkan atau di PHK mencapai 3,5 juta orang. Jumlah tersebut menambah angka pengangguran terbuka di Tanah Air hingga mencapai 10,3 juta. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah (Detik, 29/9/20).

Perihnya, di saat jutaan rakyat negeri ini menganggur, pemerintah menggelar karpet merah untuk tenaga kerja asing. Inilah salah satu pasal menyakitkan UU Cipta Kerja. Pasal 42 UU tersebut memberi kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA). Mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pakai UU Omnibus Law, perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.

Sepanjang 2020 ini, jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia mencapai 98.902 orang. Dari data tersebut TKA asal China menduduki peringkat pertama, yaitu 35.781 orang atau setara 36,17 persen. Disusul oleh Jepang 12.823 orang, Korea Selatan 9.097, India 7.356 orang, Malaysia 4.816 orang, Philipina 4.536 orang, Amerika Serikat 2.596 orang, Australia 2.540 orang, Inggris 2.176 orang, Singapura 1.994 orang dan, 15.187 dari negara lainnya (Kontan, 12/5/20).

KEPENTINGAN ASING

Tak menunggu waktu lama, investor asing dikabarkan siap masuk. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memastikan ada 153 perusahaan yang bakal berinvestasi setelah sahnya UU ini. ”153 perusahaan ada relokasi dari beberapa negara dari Korea (Korsel), Taiwan, Jepang, AS, kemudian China. Ada beberapa dari Eropa dan beberapa negara,” kata dia dalam konferensi pers virtual, Kamis (8/10/2020) seperti dilansir Detik.

Tampaknya, investor-investor ini sudah lama menanti di pintu gerbang untuk dibukakan pintu masuk. Sehingga muncul kesan kuat, UU Cipta Kerja sengaja dipercepat disahkan untuk membuka gembok gerbang ini. Aroma bahwa UU ini memang pesanan para pengusaha atau investor asing tak bisa dielakkan. Rendahnya keberpihakan pada buruh dan lebih mementingkan pengusaha adalah buktinya.

Tentu saja di masa mendatang akan semakin deras kedatangan TKA berkat kemudahan investasi dan syarat TKA ke Indonesia. Dampaknya, persaingan rakyat dalam mengakses lapangan pekerjaan semakin ketat. Tak lagi berdaya ketika investor-investor asing berduyun-duyun datang membawa serta para pekerja asingnya.

KETIMPANGAN PEKERJA

Selama ini rakyat sudah nelangsa menjadi buruh di negeri sendiri. Gaji rendah, jauh dari kesejahteraan. Semakin diamputasi dengan aturan UU Cipta Kerja yang menjadikan mereka buruh kontrak abadi. Tuan-tuan mereka adalah para kapitalis borjuis yang tak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan rakyat kecil, kecuali memikirkan kekayaan sendiri. Kini, bahkan menjadi buruh pun ditendang.

Investor asing diundang membawa serta tenaga kerjanya untuk menempati kursi strategis, sementara penduduk lokal hanya kebagian kuli kasar. Itupun jika terpakai. Adapun tenaga terampil dalam negeri tak diberdayakan, terbukti dengan tidak dibukanya lowongan. Ketika investor asing masuk, mereka hanya menyerap sedikit buruh kasar, sedangkan tenaga terampil diabaikan. Akibatnya, terjadi ketimpangan kesejahteraan.

Seperti diungkapkan Minister Counselor Kedutaan Besar China di Indonesia Wang Linping. Para TKA China mengisi pos-pos manajer dan tenaga ahli dan terampil. Sedangkan para pekerja lokal berada di posisi bawah, sehingga jarak pendapatannya sangat kontras.
Pekerja lokal menerima gaji satu dibanding sembilan dari upah yang diterima TKA asal China.

“Seorang pekerja terampil China pada umumnya dibayar US$30 ribu per tahun (Rp434,5 juta). Sementara seorang pekerja lokal Indonesia dibayar 10 persen dari total biaya pekerja China,” kata Wang. Menurutnya, hal itu karena Indonesia tak mampu menyediakan tenaga terampil yang dibutuhkan (Detik, 2/6/20).

Dalih ini, jelas mengada-ngada. Yang terjadi, tidak adanya transparansi pihak investor dan pemerintah terhadap kebutuhan tenaga kerja. Tidak diumumkan secara terbuka, apa dan berapa kebutuhan tenaga kerja terampil tersebut. Rakyat Indonesia tidak semuanya bodoh. Tidak semuanya kuli. Banyak sarjana yang menganggur.

Semua ini bermula dari goodwill pemerintah yang lemah dalam melindungi kepentingan tenaga kerja Indonesia. Lebih luasnya, lemah dalam memperjuangkan nasib rakyatnya sendiri. Bahkan mungkin tidak ada niat memperjuangkannya sama sekali, melainkan tunduk pada kepentingan investor asing.

TOPENG DEMOKRASI

Demikianlah corak negara berbasis sistem kapitalisme, dimana mengurus rakyat didasari filosofi rugi-laba, bukan atas dasar melayani rakyat. Negara seperti ini akan terus mengutamakan kepentingan pihak-pihak yang mendatangkan keuntungan secara material bagi kas negara. Tak peduli jika hal itu menzalimi rakyat.

Demokrasi yang digembar-gemborkan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, hanya isapan jempol. Keberatan rakyat atas disahkannya UU Cipta Kerja tidak didengar. Hal ini menunjukkan dengan nyata bahwa UU ini bukan kehendak rakyat. Demokrasi hanya topeng untuk menutupi kepentingan para pemodal. UU dibuat dari penguasa untuk pengusaha.

Rakyat dalam sistem demokrasi sudah lama tertindas dengan berbagai sistem UU yang mementingkan para korporat. Pengangguran kian menggunung. Yang sudah bekerja pun tak kunjung sejahtera. Lihat saja, tuntutan buruh dari tahun ke tahun tak beranjak dari isu soal kesejahteraan. Bahkan mereka selalu was-was dengan ancaman PHK.Kini,keberadaan mereka kian terancam dengan tenaga kerja asing yang siap-siap berdatangan.

NEGARA PENOPANG KESEJAHTERAAN

Faktor kesejahteraan buruh, bukan semata tanggungan individu rakyat. Benar, kadar rezeki bukan ketetapan negara. Benar, rezeki tidak diberikan oleh UU. Tetapi, negara adalah sistem yang menopang kesejahteraan itu. Penguasa adalah pemegang amanah untuk membuat regulasi. Termasuk, urusan ketenagakerjaan. UU inilah yang seharusnya mensupport terwujudnya kesejahteraan rakyat. Misal, adanya kewajiban bagi negara untuk menjamin tidak ada rakyatnya yang kelaparan alias terpenuhinya kebutuhan pokok.

Di dalam sistem Islam, negara akan membuat UU yang mengatur iklim usaha yang adil, baik bagi pengusaha besar maupun kecil. Tidak diskriminatif, hanya berpihak pada pengusaha kelas kakap. Sementara sistem penggajian, ditetapkan secara adil berdasar jasa atau keahlian yang diberikan, berdasar penelitian oleh ahlinya. Tidak memberatkan pengusaha, tapi juga tidak menzalimi pekerja.

Negara mengatur perekrutan tenaga kerja, baik lokal maupun asing, baik Muslim maupun non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Penempatan mereka sesuai dengan ketetapan syariat, di sektor-sektor yang dihalalkan saja.

Adapun tenaga asing, hanya direkrut ketika tenaga rakyat benar-benar tidak lagi ada yang bisa diberdayakan sama sekali. Itupun jika ada perjanjian dengan negara asing yang tidak memusuhi Islam (Darul Harbi Hukman). Seperti negara Jepang atau Korea, jika mengikat perjanjian yang isinya mencakup aspek perdagangan dan jasa, boleh mereka berdagang dan bekerja di wilayah negara Khilafah. Jika tidak, maka dilarang. Yang terpenting, perjanjian itu tidak membahayakan kedaulatan bangsa.

Haram merekrut tenaga kerja dari Darul Harbi Fi’lan atau negara yang memusuhi Daulah Islam. Warga negara kafir harbi fi’lan, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Israel, dilarang berdagang, berinvestasi atau bekerja di Darul Islam. Kalaupun mereka boleh masuk ke negara Khilafah, hanya sebatas izin belajar, bukan yang lain.

Filosofi negara Islam sebagai pelayan umat, akan mencegah penguasaan negara dari gerombolan korporat. Negara tidak boleh tunduk dan berpihak kepada kaum kapitalis dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Penguasa dalam Islam bertanggungjawab langsung kepada Sang Pencipta, bukan bertanggungjawab kepada para pengusaha. Rasa takutnya akan menjadi rem, sehingga hanya menjadikan syariat saja sebagai pedoman dalam mengatur urusan rakyat.

Keberadaan UU Cipta Kerja, hendaknya menyadarkan kita, betapa lemahnya hukum buatan manusia. Perjalanan hingga UU tersebut disahkan, sarat dengan dorongan syahwat akan kepentingan dunia yang sesaat. Itulah sebabnya, rakyat yang notabene mayoritas Muslim ini sudah seharusnya menegakkan sistem Islam yang bersumber dari wahyu Allah Swt.

Leave a Reply

Your email address will not be published.