Breaking News

Cinta Karena Allah dan Benci Karena Allah

Spread the love

Oleh. Aya Ummu Najwa

Muslimahtimes – Bersatu dan berkumpulnya orang-orang beriman adalah merupakan karunia Allah. Mereka bersatu bukan karena pendapat orang alim ataupun pandangan orang cerdas, akan tetapi karena Allah yang mempersatukan mereka. Karena ikatan aqidah Islam, bukan yang lain, bukan karena persaudaraan darah semata, ataupun kekerabatan yang lain. Karena sesungguhnya kaum muslim adalah bersaudara. Bersaudara dalam ikatan keimanan. Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Surat Al-Hujurat, Ayat 10)

Ikatan iman yang paling kuat tergambar pada diri seseorang yang mencintai sesuatu semata-mata karena Allah dan membenci sesuatu juga semata-mata karena Allah.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ

“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan antipati karena Allah, serta cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. ath-Thabarani, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah)

Keimanan seseorang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah akan terlihat pada sikap ini. Jika keimanannya benar, dia akan mencintai segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan mencintai pelaku-pelakunya. Di samping itu, dia akan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah dan membenci para pelakunya.

Allah subhanahu wa ta’ala memuji Ibrahim ‘alaihissalam dan orang-orang mukmin yang bersama beliau yang menerapkan sikap ini, agar kita meneladani mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian ibadahi selain Allah. Kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian, selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)

Ketahuilah, cinta karena Allah dan benci karena Allah adalah makna yang terkandung dalam kalimat La ilaha illallah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦٓ إِنَّنِي بَرَآءٞ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ ٢٦ إِلَّا ٱلَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُۥ سَيَهۡدِينِ ٢٧ وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِيَةٗ فِي عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٢٨

“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadahi, selain (Allah) yang telah menciptakanku; sesungguhnya Dia akan memberiku petunjuk.’ Dia (Ibrahim) jadikan kalimat tersebut kekal pada keturunannya agar mereka kembali (berpegang teguh pada kalimat tersebut).” (az-Zukhruf: 26—28)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa kalimat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kalimat tauhid, La ilaha illallah. Oleh karena itu, arti ayat tersebut adalah bahwa ucapan Ibrahim ‘alaihissalam terhadap ayah dan kaumnya—yang merupakan makna kalimat tauhid, Laa ilaha illallah—terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi dari keturunan Ibrahim, yaitu para nabi dan orang-orang yang beriman. Di antara keturunan beliau adalah Nabi kita, Muhammad Saw.

Jika kita perhatikan sirah (perjalanan hidup) Rasulullah dan orang-orang yang bersama beliau, yaitu para sahabat, niscaya akan kita dapati bahwa keadaan mereka persis seperti keadaan Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya yang digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala . Mereka mencintai kaum yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali dengan mereka semata-mata karena keimanan. Sebaliknya, mereka membenci dan memerangi kaum yang paling dekat kekerabatannya dengan mereka semata-mata karena kaum tersebut kafir kepada Allah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٢٢

“Tidak akan engkau dapati bahwa suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah mengokohkan keimanan dalam hati mereka, menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Mujadilah: 22)

Ayat ini sangat tegas menunjukkan bahwa tidak akan pernah ada orang yang beriman kepada Allah berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Keimanan seseorang kepada Allah mengharuskan hilangnya kecintaan kepada musuh-musuh Allah. Sebab, kedua hal tersebut saling berlawanan. Jadi, keberadaan salah satu dari keduanya mengharuskan hilangnya yang lain.

Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun orang yang beranggapan bahwa dia beriman kepada Allah dan hari akhir, tetapi berkasih sayang kepada musuh-musuh Allah dan mencintai orang yang meninggalkan iman di belakang punggungnya, keimanannya hanyalah pengakuan, tidak ada hakikatnya. Setiap hal membutuhkan pembuktian akan kebenarannya. Adapun semata-mata pengakuan, tidak ada manfaatnya dan pengucapnya tidak akan dibenarkan.” (Lihat Taisir al-Karimir Rahman)

Yang menunjukkan hal ini dari sirah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah hijrah beliau dari Mekah menuju Madinah. Hijrah tersebut wajib bagi Rasulullah dan para sahabat beliau. Mereka meninggalkan kampung halaman dan sanak kerabat karena Allah. Mereka berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya walaupun masih terhitung kerabat terdekat mereka sendiri. Mereka menuju ke suatu tempat yang banyak penduduknya telah menerima Islam, yaitu kaum Anshar. Kaum Anshar pun mencintai kaum Muhajirin yang datang kepada mereka, bahkan lebih mengutamakan Muhajirin daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka sendiri sangat membutuhkan apa yang mereka berikan kepada Muhajirin. Padahal, kebanyakan kaum Anshar tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan para pendatang tersebut. (Lihat Al-Hasyr: 8—9)

Semua itu mereka lakukan hanya dengan satu alasan, yaitu keimanan. Mereka melakukan semua itu karena Allah. Karena kecintaan mereka kepada Allah.

Hal lain yang menunjukkan sikap cinta dan benci karena Allah adalah sikap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada paman beliau, Abu Thalib, yang meninggal dalam keadaan musyrik. Beliau menyatakan, “Aku akan senantiasa memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.” Lalu turunlah ayat-Nya,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ ١١٣

“Tidak sepantasnya Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun dari kalangan kerabat mereka sendiri, setelah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penduduk neraka Jahim (mati di atas kesyirikan).” (At-Taubah: 113)

Maka dari itu, beliau pun berhenti memintakan ampun untuk paman beliau dan berlepas diri darinya, walaupun semasa hidupnya sang paman sangat sayang kepada beliau dan sangat besar pembelaannya terhadap beliau. Kisah tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.

Sebagaimana halnya sikap antipati dibangun di atas keimanan, demikian pulalah loyalitas dan kecintaan. Allah berfirman,

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ

“Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah wali (pelindung dan penolong) bagi sebagian yang lain.” (at-Taubah: 71)

Allah juga berfirman,

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ ٥٥

“Sesungguhnya wali (pelindung dan penolong) kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan tunduk.” (Al-Maidah: 55)
Banyak sekali ayat yang semakna dengannya di dalam Al-Qur’an.

Prinsip ini akan menjadikan seseorang senantiasa berada di atas al-haq (kebenaran) dan akan selalu berpegang padanya. Dia tidak peduli meskipun yang menyelisihi al-haq tersebut adalah orang yang paling dia sayangi, orang yang paling dekat kekerabatannya dengannya, atau orang yang paling berjasa terhadap dirinya. Dia tetap berlepas diri darinya karena al-haq lebih dia cintai daripada apa pun dan siapa pun. Dia meyakini bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya adalah kebenaran, sedangkan segala sesuatu yang menyelisihinya adalah kebatilan. Prinsip inilah yang disebut al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci karena Allah) di dalam Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab

Leave a Reply

Your email address will not be published.