Dinginnya Peraduan, Pecahlah Pernikahan

Spread the love

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

 

MuslimahTimes.com – Dampak Pandemi Covid-19 ternyata tak hanya pada lesunya perekonomian, namun merambah kepada pernikahan, ketika peraduan dingin, pecahlah pernikahan. Komitmen indah di awal tak lagi mampu meluluhkan hati yang mengeras sehingga dengan mudahnya mengatakan “cerai” kepada pasangan.

Dilansir dari Berita Jatim.com, 30 Maret 2021, Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Magetan mencatat ada 1.254 kasus perceraian selama satu tahun pandemi Covid-19 mulai Maret 2020 hingga Februari 2021. Siti Marfu’ah, Panitera Muda Hukum PA Magetan mengatakan,“Angka perceraian di Magetan sebanyak 1.254 kasus itu merupakan data total cerai gugat dan talak.”

Cerai gugat dan talak mencapai angka tertingginya pada September 2020, yaitu sebanyak 155 kasus cerai gugat dan cerai talak 46 kasus. Latar belakang pemicu perceraian sebagian besar soal ekonomi seperti PHK, sehingga kewajiban memberikan nafkah kepada istri tidak bisa terpenuhi, sementara kasus yang lain karena istri tidak tahan dengan perilaku suami yang tidak bertanggungjawab, terlibat perjudian hingga KDRT.

Dari data itu, ada beberapa kasus perceraian yang diajukan oleh tenaga kerja wanita (TKW) yang sedang bekerja di luar negeri. Mereka merasa suaminya tidak bertanggung jawab hingga akhirnya mengajukan perceraian.

Kita tidak bisa diam begitu saja melihat fakta ini, hancurnya rumah tangga adalah bencana bagi masyarakat. Terlebih saat ini keluarga adalah benteng pertahanan terakhir bagi generasi dari serangan pemikiran dan gaya hiduop yang merusak.

Pernikahan bukan sekadar menyatukan dua fisik yang berbeda, namun juga menyatukan dua kekuatan untuk misi dan visi yang diberikan Allah Swt, yaitu beribadah.

Pernikahan tak sekadar roman dua insan manusia berbeda jenis, namun bentuk akad yang berisi saling, saling membantu, saling menasihati, saling meringankan dan saling-saling lainnya.

Pernikahan sebagai sarana beribadah, maka segala sesuatu yang terjadi seperti kewajiban menafkahi, kelahiran, pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok keluarga akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Maka butuh penggambaran yang utuh tentang pernikahan.

Namun patut diketahui, keluarga juga rentan roboh karena cobaan, sebagaimana individu yang keimanannya naik turun. Butuh penjagaan negara.

Covid-19 yang berkepanjangan memang memorakporandakan tatanan masyarakat, termasuk kondisi perekonomian. Ketidakjelasan penanganan pemerintah menambah parah dampak yang diterima rakyat. Alih-alih fokus pada penanganan, yang terjadi malah sebaliknya. Yang dihadirkan pemerintah bukan ri’ayah (pengurusan) tapi pengabaian, buktinya rakyat dibiarkan menghadapi dampak pandemi sendirian, tanpa adanya jaminan dari pemerintah.

Bantuan sosial, kartu prakerja dan jaring pengaman lainnya tidak berjalan efektif sebab selain nominalnya sedikit, banyak salah sasaran, juga banyak syarat yang harus diserahkan. Untuk kartu prakerja, setelah memegang kartunyapun belum tentu bekerja, sebab pemerintah hanya memberikan program pelatihan, pemberian modal diarahkan pada kredit usaha dengan basis riba. Maka, bisa dibayangkan nasib rakyat bak jatuh tertimpa tangga pula.

Biaya hidup yang tak ringanpun masih dibebankan kepada rakyat.

Ketika kesempatan kerja para pria semakin sempit, mau tak mau para istri turun tangan guna menyambung hidup. Terlebih saat ini kesempatan memang lebih terbuka bagi wanita, seperti misalnya menjadi TKW, namun tentu konsekuensinya tak ringan. Di antaranya terganggunya peran ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).

Dalih “perempuan adalah pihak yang paling rentan terkena dampak pandemi” justru disikapi dengan kebijakan pemberdayaan perempuan. Kaum perempuan disibukkan dengan mencari nafkah, dilalaikan dari tanggung jawab utama.

Sementara kaum pria juga terlena dan tergerus rasa tanggung jawabnya. Akhirnya semakin kacaulah peran dan fungsi dalam keluarga.

Bukankah seharusnya kaum pria yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga? Sebagaimana firman Allah QS an-Nissa: 34 yang artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”

Kekacauan peran ini terjadi karena sistem dan kebijakan yang salah, ditambah kurangnya pemahaman agama terkait hak dan kewajiban suami-istri. Akhirnya rusaklah pernikahan. Hancur berkeping tak lagi menampakkan romansa keindahan janji antara dua insan untuk saling berbagi dan menguatkan.

Semakin banyak pelanggaran syariat Allah Swt maka semakin sempit hidup dan hilang keberkahan, maka bagi seorang mukmin tak ada jalan lain kecuali kembali, berserah diri secara totalitas kepada pengaturan Allah zat yang Maha Menguasai alam semesta. Wallahu a’ lam bish showab.