Breaking News

Eksploitasi Perempuan, di Balik Isu Gender 

Spread the love

Oleh. Widi Yanti 

(Tim Redaksi Muslimahtimes. Com) 

Muslimahtimes.com– Perempuan Indonesia dengan warisan budaya patriarkinya, memberi kesan bahwa dirinya sulit berkembang dalam mencapai ambisinya. Hal itu karena adanya anggapan bahwa laki-laki mempunyai peran sebagai kontrol utama di ranah publik, berbeda dengan perempuan yang dibatasi perannya di tengah masyarakat. Memaknai gender lebih pada sifat yang melekat pada masing-masing jenis kelamin sesuai dengan lingkungan sosial masyarakat, sehingga tercipta karakteristik gender maskulin dan feminim. Laki-laki dianggap kuat, rasional, dan tegas, sedangkan perempuan lembut, emosional, keibuan dan irrasional. Namun, seiring waktu kesetaraan gender menjadi sesuatu yang gencar diperjuangkan.

Menurut hasil riset Google, selama pandemi berlangsung, kesadaran soal isu-isu sosial mulai dicari tahu oleh orang Indonesia. Berdasarkan data Google, kata kunci “gender equality” meningkat 25%. Selain itu, semangat dari perempuan Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Saat ini, semakin banyak perempuan-perempuan Indonesia yang hebat dan menginspirasi. Keterlibatan dan eksistensi mereka dalam mengambil peran di ranah publik semakin tampak.

Disadari atau tidak, perempuan menjadi sosok yang terlibat aktif memberikan sumbangsih bagi kesejahteraan keluarga dan bangsanya. Melalui roda perekonomian, menjadi pasar potensial produksi barang dan jasa. Dengan mengatasnamakan pemberdayaan perempuan dan pasar tenaga kerja, para perempuan telah terjebak dalam pusaran kapitalisme. Mereka menjadikan makna kebahagiaan diukur dari besaran materi. Selain itu, tuntutan kebutuhan ekonomi menjadikan perempuan harus berkiprah di dunia kerja. Mereka meninggalkan rumah dan anak-anak untuk berperan sebagaimana laki-laki untuk mencari nafkah. Pemikiran bahwa perempuan akan berharga bila mandiri secara finansial. Sehingga peran mengurus rumah dan anak bisa diserahkan kepada orang lain.

Hal ini kerap menjadi pemicu perselisihan dalam rumah tangga. Dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perlakuan buruk terhadap anak. Posisi laki-laki sebagai qawwam (pemimpin) tidak terjadi. Dikarenakan istri merasa mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya hingga seakan tidak menganggap perlu sosok laki-laki pendamping. Wajar jika keputusan untuk bercerai dianggap solusi atas permasalahan yang ada. Bahkan bagi perempuan lajang, akan memilih tidak menikah demi mengejar karier.

Era kapitalis dengan asas sekularisme telah menjadikan individu berperilaku tanpa pertimbangan agama. Menjadikannya terjerumus pada kecintaan semu gemerlap duniawi. Semua hal diukur dengan materi, bahkan tidak mampu mengendalikan diri dalam membedakan kebutuhan dan keinginan. Jiwa konsumtif dan hedonis, mendorong untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah tanpa henti. Terlupa bahwa bekerja itu hanyalah kemubahan saja bukan kewajiban.

Perlu dipahami bahwa qawwamah suami atas istri bukan didasarkan pada kemampuan kepemimpinan suami dalam arti jika kemampuan ekonomi istri lebih baik, maka qawwamah beralih ke istri. Atau adanya anggapan bahwa kepemimpinan keluarga menjadi tanggungjawab bersama sebagaimana diaruskan oleh kaum feminisme. Selayaknya kita mengembalikan hakikat maknanya pada ketetapan Allah, berdasar Al-Quran dan As-Sunnah.

 Firman Allah Swt,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)”. (QS. An-Nisa’: 34)

Kepemimpinan (al-qawamah) di dalam ayat di atas merupakan kepemimpinan yang mengatur dan melayani (ri’ayah), bukan kepemimpinan instruksional dan penguasaan. Menurut bahasa Arab, makna kepemimpinan seorang laki-laki atas perempuan (qawamah ar-rijal ‘ala an-nisa`) adalah al-infaq ‘alayha wa al-qiyam bi ma tahtajuhu yaitu menafkahi istri dan memenuhi apa yang ia butuhkan. Makna literal ini digunakan pula pada makna syar’i dari kata al-qawamah. Atas dasar itu, makna kepemimpinan seorang laki-laki atas perempuan adalah kepemimpinan yang menegakkan urusan-urusan wanita.” (Al Waie.id)

Tafsir arrijaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa-i (“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”) dalam QS. An-Nisa’: 34 di atas,menurut Imam Ibnu Katsir yaitu laki-laki adalah pemimpin kaum wanita dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik wanita jika ia menyimpang (Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal. 397).

Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Allah Swt telah menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyadah al-bayt) berada di tangan suami. Dan Allah telah menjadikan suami sebagai qawwam (pemimpin) atas istrinya (Taqiyuddin an Nabhani, Nizham ijtima’i fil Islam, hal.246). Kepemimpinan suami terhadap istri adalah kepemimpinan yang bertanggung jawab, bukan kepemimpinan layaknya seorang penguasa diktator terhadap rakyatnya. Kemudian seorang istri juga diwajibkan taat kepada suami dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariat. Jika istri melakukan perbuatan dosa, maka suami berwenang memberi sanksi.

Namun, semua menjadi sulit terlaksana karena kaum kapitalis terus-menerus mengeksploitasi perempuan. Ada peran oligarki sebagai pengendali Multi Nasional Corporation (MNC) yang telah menguasai sumber daya alam vital dan bisnis global. Untuk itu, butuh kekuatan institusi untuk melawannya. Bukan hanya individu, melainkan negara Khilafah sebagai pelaksana hukum Allah. Islam telah menetapkan hukum sesuai jenisnya bagi laki-laki dan perempuan, sehingga menjamin perwujudan peran masing-masing sesuai kodratnya. Islam juga menetapkan negara sebagai pengurus masalah umat dalam pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu hingga terwujud keadilan dalam pendistribusian harta. Semua bersumber pada aturan Allah Al Mudabbir.