Breaking News

Gaya Baru dari Orde Baru

Spread the love

Oleh: Suci Hati

(Alumni UMSU Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen)

MuslimahTimes– Rentetan tudingan bahwa rezim Joko Widodo identik dengan zaman Orde Baru alias Orba di era Presiden ke-2 RI Soeharto terus terdengar di momen satu tahun di dua periode kedua pemerintahannya bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Hal tersebut bukan baru terdengar namun Tim hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pernah menyinggung soal gaya otoriter orde baru Jokowi dalam dalil permohonan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan bahwa rezim Jokowi identik dengan Orba dilihat dari cara pemerintah merespons kritik publik, baik dari langkah mengondisikan media massa hingga mengkriminalisasi aktivis. “Karena saya dengar media yang sengaja ditahan dalam arti membatasi pemberitaan. “Kemudian, bagaimana kriminalisasi terhadap jurnalis, respons aparat terhadap masyarakat sipil mulai dari NGO, akademisi, kampus”. Kemudian pemerintah memanfaatkan aparat penegak hukum untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik.

Indikator terakhir, menurut Khoirul, terlihat dari ‘perselingkuhan’ antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar terjadi. Menurutnya, perselingkuhan itu telah terlihat terjadi sejak pengesahan revisi UU KPK hingga pengesahan UU Minerba dan UU Ciptaker. (cnnindonesia.com, 21/10/2020). Yang terbayang publik tentang Orde Baru yakni kodisi kelam dan sulit. Rakyat tidak boleh menyampaikan pendapat/kritikan kepada penguasa, yang hanya presiden dan kelompoknya saja yang memiliki kekuasaan penuh secara otoriter dan represif serta setiap kebijakan yang dibuat identik dengan kekerasan di masa itu.

Namun kini masa kelam terulang kembali jika interpretasikan rentetan dari masa ke masa sejak orde lama, orde baru dan era reformasi yang menunjukkan negeri ini belum mampu mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan. Di masa rezim Jokowi telah menggambarkan orde baru yang kontradiksi kian menuai pergejolakan di tengah masyarakat. Enam tahun sudah masa dua periode kepemimpinan Jokowi namun setiap kebijakan-kebijakannya yang ditampilkan adalah oligarki kekuasaan. Pemerintah dengan mudah menggunakan kekuasaanya dengan otoriter.

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari menilai gugatan ke MK oleh publik terkait UU Omnibus Law akan berakhir hampa bila kondisinya seperti itu terkait konflik kepentingan sedangkan MK tidak akan menguji UU Omnibus Law sebab telah mendapatkan suap (Republika.co.id, 11/10/2020).

Bukti empirisnya dari pengesahannya UUD Ciptaker/Omnibus Law walaupun ditentang oleh kalangan masyarakat namun UUD tersebut tidak bisa terbantahkan. Di balik gugatan ke MK hanyalah batu lemparan saja namun untuk keputusannya hak mutlak kembali kepada pemimpin negeri.

Kemudian antara rakyat dan pemimpin ibarat musuh negara, berperan represif bila suara-suara kritis rakyat menyinggung rezim ini. Suara rakyat hanya dianggap suara sumbang bermakna provokator, pemecah belah ataupun penyebar hoax hingga kritikan di sosial mediapun bisa berujung pada penangkapan. Bila kita telaah kembali negeri ini yang menganggap musyawarah adalah dasar demokrasi Indonesia nyatanya kini sudah mencederai makna musyawarah yang dianut sistem demokrasi itu sendiri yakni dengan tidak lagi memihak kepada suara rakyat, namun lebih memihak kepada suara pemilik modal. Ironinya suara rakyat hanya akan dipergunakan untuk memilih kandidat-kadidat negeri saja, setelahnya suara rakyat ibarat suara sumbang, tidak didengar.

Inilah sistem demokrasi melahirkan negara korporasi dan negara polisi (represif). Faktanya, sikap kritis rakyat terhadap pemerintah dibungkam bila mengganggu kepentingan korporasi. Terbukti banyak standar ganda dalam menyikapi kritik rakyat. Dengan itu upaya memanfaatkan pihak keamanan dan politik untuk ajang berkuasa serta dengan mudah mengkriminalisasi orang-orang yang tidak sejalan dengan pemerintahan dan juga mewadahi perbedaan hanya retorika semata tanpa menyadari berupa bentuk koreksi untuk perbaikan. Padahal di dalam politik Islam, negara bukan anti kritik. Islam menetapkan standar dan batasan yang baku dalam menyikapi perbedaan pandangan antara rakyat dengan penguasa tidak ada standar ganda dalam melihat perbedaan pendapat.

Maka jelas peran dan fungsi negara secara utuh untuk mengurusi urusan rakyatnya sesuai dengan hukum-hukum Allah. Sedangkan peran umat/rakyat melakukan koreksi kepada penguasa (muhasabah lil hukkam) agar tidak lari dari koridor syari. Bahwa Rasulullah bersabda. “Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim (HR. al-Hakim).

Hadist tersebut menunjukkan adanya kewajiban dalam mengatakan kebenaran kepada penguasa dengan melakukan koreksi terhadap tindakannya yang telah mengabaikan kepentingan dan urusan rakyat. Maka untuk itu dianjurkan bagi rakyat terus berjuang mengungkapkan yang jelas dan terus mengkoreksi penguasa dan berani mengambil risiko, diantaranya ancaman atas keselamatan jiwanya.

WalLahu alam bi ash-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.