Breaking News

Gotong Royong Kembali Digagas, Solusi Tarik Ulur ala Kapitalisme

Spread the love

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih

(Institut Literasi dan Peradaban)

MuslimahTimes.com – Satgas COVID-19 menyampaikan hasil evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di 73 kabupaten dan kota selama satu minggu ini. Hasilnya, 46 daerah masih mengalami peningkatan kasus.
“Berdasarkan evaluasi 1 minggu, berdasarkan kasus aktif sebanyak 46 kabupaten/kota mengalami peningkatan, 24 kabupaten/kota menurun, 3 kabupaten/kota tidak mengalami perubahan,” papar Juru Bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito melalui siaran YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (21/1/2021).

Sementara, berdasarkan indikator kematian, sebanyak 44 kabupaten dan kota masih mengalami peningkatan. 29 daerah mengalami penurunan angka kematian. Hasil evaluasi inilah yang digunakan pemerintah untuk memperpanjang PPKM hingga 8 Februari. Namun kebijakan gas dan rem yang diterapkan ini dianggap belum memberikan hasil yang maksimal, malah lebih efektif jika warga disiplin seperti saat PSBB awal.

Wiku menjelaskan, dampak positif penerapan PPKM memang memakan waktu lebih lama dibanding dampak dari penyebaran COVID-19. Karena itu, dia meminta semua daerah untuk menerapkan PPKM secara serius. Evaluasi lain menunjukkan perlunya penambahan strategi penanganan pandemi. Salah satunya dengan memanfaatkan budaya gotong-royong masyarakat sekaligus sebagai kekuatan negara. (detikNews.com,21/1/2021)

Sikap pragmatis memang seringkali menghasilkan kegagalan, itulah yang saat ini dihadapi oleh negara. Jika gotong royong dianggap sebagai kekuatan negara, lantas apa artinya negara bagi rakyatnya? Fakta kegagalannya sudah cukup banyak, misal BPJS, dikatakan sebagai lembaga penjamin kesehatan namun nyatanya cara kerja mereka adalah gotong-royong, yakni pendanaannya berasal dari premi yang rutin dibayarkan masyarakat sesuai kelasnya.

Namun apa yang didapat masyarakat? Sejak dialihkan pengelolaannya kepada pihak ketiga , BPJS tak sekalipun berpihak pada rakyat yang sakit, rumah sakit selalu dikatakan penuh, antrean pasien membludak, bahkan setiap tahun preminya naik. Dan yang mengenaskan beberapa penyakit berat tidak dapat dicover. Lantas pembangunan rumah sakit internasional dengan peralatan tercanggih di dalamnya yang kini getol digagas Presiden Joko Widodo untuk siapa?

Banyak lagi program pemerintah yang jika dilihat secara fakta tak berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Padahal adanya negara adalah dalam rangka memudahkan masyarakat dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Jika kepengurusan itu selalu dijiwai dengan gotong-royong maka hal itu terkatagori zalim, sebab ada pengalihan kewajiban negara kepada warga masyarakat.

Pemimpin yang baik tentu akan mengedepankan pengurusan urusan rakyatnya. Ketakwaannya sangat ia kedepankan. Dengannya ia sadar bahwa tampuk kepemimpinan tidak sekadar menjadikannya sebagai orang nomor satu, namun pemikiran dan tenaganya lah yang paling dibutuhkan. Maka Islam telah mewajibkan setiap pemimpin untuk mengatur setiap urusan rakyat yang dipimpinnya dengan syariat Allah. Kaffah tanpa ada yang tertinggal.

Semua hal, termasuk urusan pandemi. Tak perlu hingga berjilid-jilid, sebab kita bicara nyawa manusia dan hidup selanjutnya bagi yang sehat. Adalah kezaliman jika membiarkan keadaan ini tak berubah dan enggan menerima masukan. Jikalau boleh pemimpin mengambil pendapat manusia adalah untuk urusan teknis, maka diutamakan bermusyawarah bukan gotong-royong, kewajiban tetap ada di pundak pemimpin.

Kapitalisme sungguh kejam, terlebih jika membaca pendapat para tokoh yang kini sudah “disingkirkan”, seperti mantan Menteri Jesehatan era SBY, Siti Fadilah Supari, saat diwawancarai Deddy Corbuzier di kanal Youtubenya. (Kumparan.com,27/5/2020)

Dalam video berdurasi 25 menit, Siti Fadilah menjawab pertanyaan Deddy seputar pengalaman mengatasi wabah flu burung saat menjabat Menkes pada 2004-2009. Deddy meminta tanggapan Siti soal bagaimana ia akan bertindak jika diberi kesempatan menangani pandemi virus corona di Indonesia. “Indonesia harus mandiri, bikin vaksin sendiri kalau memang perlu vaksin. Kalau tidak, ya, tidak perlu dibuat, orang Indonesia antibodinya tinggi. Saat flu burung, antibodi orang Indonesia luar biasa,” kata Siti menanggapi.

Siti juga mengaku telah menentang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan flu burung adalah pandemi. Saat itu, Siti berkukuh flu burung bukan pandemi karena tak ada transmisi antarmanusia sehingga tak perlu ada vaksin. Inilah yang kemudian menamatkan karier beliau sebagai menteri kesehatan yang vokal. Tak ada kebenaran pasti jika berada dalam sistem kapitalisme. Segala sesuatu diukur dengan manfaat materi. Termasuk urusan nyawa dan kesehatan manusia.

Bukan Indonesia tak memiliki ahli yang mampu memproduksi vaksin ataupun mengadakan satu teknik penghambat penyebaran virus ini hingga bermutasi menjadi varian baru yang lebih ganas, namun semua itu terganjal dengan kepentingan penguasa untuk melindungi korporasi. Sudah terikat dengan perjanjian, sudah dibayar segala kepentingan penguasa hingga kelu lidah mengucapkan kebenaran bahkan mati hati untuk menerima Islam sebagai sebuah sistem aturan. Padahal mereka adalah Muslim. Wallahu a’lam bish showab