Breaking News

Harga Cabai Anjlok, Petani Terseok

Spread the love

Oleh: Anita Ummu Taqillah (Komunitas Menulis Setajam Pena)

MuslimahTimes.com–Cabai merupakan salah satu kebutuhan bumbu bagi masyarakat Indonesia. Sebab mayoritas kuliner masyarakat Indonesia memiliki cita rasa pedas, atau kalaupun tidak pedas, pasti akan ada sambal pendampingnya. Tentu hal ini menjadikan kebutuhan cabai harus diperhatikan oleh pemerintah. Apalagi jika harga cabai anjlok, petani pun terseok.

Tahun ini, Kementrian Pertanian melansir data bahwa produksi cabai mengalami surplus. Sebagaimana dilansir dari mediaindonesia.com (25/8/2021), Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha menyampaikan bahwa per Juli 2021, produksi cabai mengalami surplus 4.439 ton, dari selisih hasil produksi sebanyak 163.293 ton dan kebutuhan masyarakat sebanyak 158.855 ton.

Namu, kondisi tersebut menjadikan harga cabai turun di pasaran. Apalagi ditambah dengan kabar akan adanya impor cabai, tentu hal ini akan menjadikan harga cabai semakin anjlok. Jika sudah demikian, petanilah yang dirugikan. Bagaimana tidak, sudah biaya produksi tak murah, harga jual hasil panen pun tak seberapa. Ditambah jika impor masuk, maka harga di pasaran akan terjun drastis sebab setok melimpah.

Impor untuk Industri, Lebih Mementingkan Korporasi daripada Petani dalam Negeri

Pemerintah beralasan bahwa impor cabai yang dilakukan di tengah produksi mengalamai surplus adalah untuk kepentingan industri. Dikutip dari bisnis.com (25/8/2021), Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan, Bambang Sugiharto, menjelaskan bahwa impor cabai sebesar 27.851 ton sepanjang semester I/2021 adalah untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai yang diimpor tersebut dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk dan bukan cabai segar konsumsi.

Meski demikian, faktanya berakibat pada anjloknya harga cabai dan merugikan para petani. Jika memang yang dibutuhkan untuk industri adalah cabai kering atau cabai yang berupa serbuk, seharusnya bisa memanfaatkan hasil panen petani negeri. Sehingga hasil panen tersalurkan dan harga tetap terjaga.

Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Slamet, mengatakan bahwa harga cabai yang anjlok di pasaran, menandakan adanya masalah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah, yakni seharusnya pemerintah melindungi para petani cabai, jangan hanya impor terus tetapi membuat rakyat sengsara (Parlementaria, 27/8/2021).

Senada dengan itu, pakar ekonomi, Prof. Dr. H. Haryadi SE, MMS, menyampaikan bahwa impor cabai memungkinkan dilakukan jika ada faktor-faktor pendukung yang memang mengharuskan impor. Meskipun begitu tetap ada aturannya. Jika memang produksi dalam negeri mencukupi, maka tidak bisa impor. Namun, begitulah wajah kepemimpinan ala kapitalisme. Dimana kepentingan rakyat seolah bukanlah yang utama. Faktanya, impor cabai tetap dilakukan dengan alasan industri yang mana para pemilik perusahaan lah yang lebih diutamakan. Jika pemerintah lebih mengutamakan rakyat, maka bagaimana pun akan mengusahakan agar harga cabai tetap stabil dan memenuhi kebutuhan industri dari hasil petani negeri. Sungguh, kebijakan yang membuat bingung dan geram rakyat sendiri.

Kebijakan Impor dalam Islam

Hubungan antarnegara dalam Islam adalah tanggungjawab Departemen Luar Negeri. Termasuk di dalamnya urusan perdagangan ekspor dan impor. Fokus utama dalam perdagangan dengan negara lain adalah dengan siapa bertransaksi, sebab kebijakannya pun akan berbeda.

Dalam hal ini dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, negara kafir harbi fi’lan atau negara-negara yang memusuhi Islam secara nyata dan terang-terangan, baik dalam keadaan sedang berperang atau tidak. Maka, dengan negara tersebut tidak diperbolehkan melakukan jual beli apa pun, baik persenjataan, makanan dan lain sebagainya. Mereka pun tidak diperkenankan memasuki wilayah negara Islam, kecuali dengan izin khusus dari negara (paspor khusus).

Kedua, negara kafir mu’ahid, yaitu kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan negara Islam. Maka, mereka akan diperlakukan sesuai dengan isi perjanjian tersebut, baik terkait ekspor maupun impor. Hanya saja, mereka tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis negara. Namun, mereka diperbolehkan memasukkan komoditas perdagangannya ke dalam negeri.

Ketiga, warga negara Islam baik muslim ataupun nonmuslim. Dengan mereka maka diberi keleluasaan untuk berjual beli. Misal, untuk dijual/ekspor, maka barang tersebut bukan barang yang dibutuhkan rakyat atau jumlahnya terbatas. Bukan pula barang yang mengancam kekuatan dalam negeri, misal ekspor bahan kimia pembuat senjata atau sejenisnya. Begitu pula untuk impor, jika kebutuhan rakyat melimpah, maka tidak boleh mendatangkan barang yang bisa merugikan rakyat. Apalagi jika dalam negeri mampu memproduksi sendiri.

Demikianlah kebijakan yang sungguh mulia dalam Islam. Seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan peduli akan nasib rakyat, tentu akan menerapkan kebijakan tersebut. Sebab, yang utama bagi pemimpin dalam Islam adalah yang cinta dan peduli dengan kepentingan rakyat. Sebagaimana kecintaan Rasulullah saw terhadap umatnya, yang Allah gambarkan dengan kalimat, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan, sangat menginginkan (keinginan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah [9]: 128).

Wallahua’lam bishowab.