Breaking News

Ilusi kesejahteraan di Rezim Neoliberal

Spread the love

Oleh : Finanzi Raizah

(Anggota Komunitas Penulis Peduli Umat)

#MuslimahTimes — Euforia pelantikan presiden periode ini telah usai, saatnya kabinet kerja memulai melaksanakan tugasnya dan periode ini rupanya di prediksi bakal menjadi periode terberat bagi masyarakat Indonesia kalangan menengah ke bawah, karena diperkirakan di tahun 2020 ada beberapa barang dan jasa yang mengalami kenaikan harga dan tarif, diantaranya  adapenyesuaian tarif jalan tol sekitar 6-7 %, BPJS kesehatan yang tak tanggung-tanggung dalam kenaikan hingga naik 100 %, selain itu juga plastik dan produk hasil tembakau, dan tarif ojek online serta tarif listrik 900 VA yang akan dihapus subsidinya.(www.cnbcindonesia.com)

Di sisi lain, nasib para pencerdas bangsa di daerah pedalaman juga 3T (tertinggal, terluar dan terdepan)  pun tak kalah mengiris hati kita, seperti kisah pilu guru honorer Maria Marseli (27) yang hanya bergaji Rp 75 ribu per bulan selama 7 tahun di salah satu sekolah di Flores. “Saya sudah 7 tahun mengajar di sini. Honor saya di sini Rp75.000 per bulan,” ucap Maria. Maria menceritakan, dirinya mulai mengajar di sekolah itu sejak tahun 2013 silam. Kala itu, ia diberi honor Rp 50.000 per bulan. Besaran honor setiap guru itu diberikan tergantung masa kerja. Ia melanjutkan, ada tahun 2013, SDN Kepi ketik masih status kelas jauh dari SDN Pigang Bekor. Kemudian, pada tahun 2014, status sekolah itu menjadi definitif jadi SDN Kepipetik. Sejak tahun 2014 hingga sekarang, ia tetap diberi honor Rp 75.000 per bulan (www.kompas.com).

Seperti diberitakan Kompas.com, Upah tidak sesuai dengan beban kerja dan keringat yang dikucurkan demi mencerdaskan anak bangsa. Itulah nasib yang dialami para guru honorer di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kepiketik, Desa Persiapan Mahe Kalen, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores, NTT.

“Ini keprihatinan kita yang kesekian kali soal kesejahteraan guru. Saya kira Mas Nadiem harus bergerak cepat, khusus soal isu kesejahteraan guru ini. Saya sarankan untuk bikin Tasfos khusus untuk menangani soal kesejahteraan guru ini,” pungkas Syaiful Huda Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB (www.tribunnews.com).

Hal tersebut hanya salah satu contoh betapa nasib guru di Indonesia ini masih belum bisa dikatakan sejahtera, alih-alih fokus mencerdaskan anak bangsa, tugas mereka pun terbagi untuk mencari pemasukan tambahan. Untuk mensejahterakan keluarganya.

Dan yang tak kalah mencengangkanya itu ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Kementerian PPN/Bappenas mengeluarkan sebuah publikasi bertajuk ‘Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045’. Dalam riset tersebut terungkap pada era 2016-2018 ternyata sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis. “Banyak dari mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting, membuat mereka dalam lingkaran setan kemiskinan selama beberapa generasi. Pada 2016-2018, sekitar 22 juta orang di Indonesia masih menderita kelaparan,” jelas laporan tersebut yang dirilis Oktober 2019 kemarin.

Bagaimana bisa, Indonesia yang terkenal dengan sebutan Gemah ripah loh jinawi tapi nyatanya rakyatnya banyak yang mengalami kelaparan kronis? lalu pencapaian kesejahteraan yang bagaimanakah yang sudah dicapai pemerintah sebelumnya, kenapa semakin membuat masyarakatnya menjadi kesulitan untuk mendapatkan sandang, papan dan pangan yang layak, bukankah seharusnya dengan berbagai program yang sudah dicetuskan pemerintah harusnya bisa membuat rakyat mudah mengakses sandang, pangan dan papan dan bukan malah menjadi semakin sempit dan susah di tengah melimpahnya sumberdaya Alam Indonesia.

Inilah yang terjadi ketika sistem ekonomi kita menganut sistem neo liberalisme dimana Kalangan ekonomi kapitalis (liberal) percaya bahwa persoalan ekonomi terletak pada masalah produksi. Maksudnya, persoalan ekonomi terletak pada tidak terbatasnya keinginan manusia, sementara sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhinya terbatas. Untuk menghilangkan gap ini harus dengan peningkatan produksi. Karena itu, hitungan angka rata-rata statistik seperti GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) adalah persoalan penting; tanpa melihat orang-perorang, apakah mereka sejahtera atau tidak.

Dan pula mereka percaya barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya telah habis atau masih banyak. Jika harga murah, berarti persediaan memadai. Sebaliknya, jika harga mahal, berarti produknya mulai langka. Dalam keadaan harga tinggi, orang akan menanamkan modal kesana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang diprodusi.

Begitupun dengan subsidi, bagi mereka para liberalis, subsidi adalah racun bagi rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut. Alasannya, selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan negara dalam perekonomian, subsidi juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula alasan mengapa dalam kebijakan ekonomi neo-liberal harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara agar tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas dalam pasar bebas.

Inilah yang menjadi bukti bahwa rezim ini tidak akan mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, karena derita rakyat tak lagi ikut dirasakan oleh pemerintahnya, sehingga pemerintah ini tak mampu memelihara urusan publik rakyatnya dan menjadi perisai bagi rakyatnya.

Islam adalah agama yang Syamil (menyeluruh) dan Kamil (sempurna), dimana Islam pun juga mengatur cara bagaimana pemimpin memberikan kesejateraan pada rakyatnya, dalam Islam pun masalah pendistribusian kekayaan menjadi hal yang utama dalam perekonomian agar tidak menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan seperti saat ini. Di sinilah peran negara, yang dalam pandangan ekonomi Islam, wajib melakukan pendistribusian kekayaan ini dengan mekanisme tertentu yang sesuai dengan syariat Islam sehingga setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya. Negara juga harus berperan untuk menjamin pendistribusian kekayaan berdasarkan syariah seperti: memungut dan membagikan zakat; melarang penimbunan kekayaan, investasi pada bank ribawi untuk mendapatkan keuntungan dari bunga, penimbunan emas dan perak, penimbunan barang yang mengancam kewajaran harga pasar, pemilikan harta milik umum oleh individu/swasta, dan sebagainya.

Negara juga bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum untuk kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja agar mudah diakses oleh rakyat.

Begitu pun dengan pemenuhan sandang, pangan serta papan rakyat, dalam Islam negara memiliki peran penting untuk memenuhinya karena dalam Islam menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat. Maka wajar bahkan wajib negara memberikan bantuan secara gratis kalau memang ada rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. selain itu tanggung jawab negara juga menyediakan fasilitas kebutuhan masyarakat yang vital seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan secara murah. Karena itu, hasil tambang seperti minyak, emas, perak, dan lain-lain, memang milik umum yang digunakan hasilnya untuk kepentingan rakyat.

Inilah pentingnya mengingat kembali peran penting pemimpin yang tak hanya sekedar menjabat saja namun juga menjadi Raa’in (perisai) yang bertanggung jawab memperhatikan urusan rakyatnya karena ketakutan dirinya pada Allah ketika dipertanggungjawabkan dihadapanNya, jika kelak ia tak mampu mensejahterakan rakyatnya.

Sudah saatnya menyadari bahwa sistem terbaik adalah sistem Islam yang telah terbukti mampu untuk mensejaterakan rakyat. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,…” (TQS Al A’raf: 9)

Wallâhu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published.