Breaking News

Investasi Asing Bukan Segalanya

Spread the love

Oleh: Shafayasmin Salsabila*

Dunia perlu membuka mata, utamanya Indonesia. Negeri gagah dengan 17.560 pulau dan segudang potensi alamnya, kini kejang-kejang. Persoalan ekonomi mendera bertubi-tubi, tak kunjung usai. Dilansir dari detikcom, World Bank dalam materi presentasi kepada pemerintah, menyebutkan jika perekonomian Indonesia akan terus turun. Mengapa hal ini bisa terjadi dan benarkah berkaitan erat dengan kucuran investasi?

Saat ini, mindset ekonomi sebagian besar umat yang lisannya sudah bersyahadat masih berpijak pada kerangka berpikir untung-rugi ala Kapitalis. Terbawa arus pemikiran global. Menitikberatkan pada investasi. Tanpa mampu mengenali watak terselubung dari investasi itu sendiri, yang notabene bernapaskan neo-imperialisme (penjajahan gaya baru).

Berbentuk penanaman modal, kebanyakan investasi asing lebih menyerupai tali kekang bagi kedaulatan sebuah negeri. Jalan masuk bagi penjajahan gaya baru, sangat halus, hampir-hampir tak seorang pun yang mengenali. Bersandar padanya, hanya akan membawa kehancuran dan hilangnya masa depan bangsa dan negara. Sejatinya, investasi asing yang ditawarkan lebih menyerupai utang luar negeri ketimbang modal kerjasama. Tentu transaksi seperti ini tidak akan jauh-jauh dari praktik ribawi yang diharamkan Allah, dan penuh jerat.

No free lunch, alias tidak ada makan siang gratis. Investasi akan disepakati selama syarat dan ketentuannya berlaku. Dengannya, Indonesia menjadi tersandra, ujungnya rakyat lah yang kena getahnya. Alih-alih mampu menggenjot perekonomian negara, faktanya aset-aset berharga negara dijual sebagai ganti rugi kepada asing. Selain itu hujanan tenaga kerja asing kian deras. Satu paket dengan budaya serta ideologi mereka yang amat merusak akidah kaum Muslim. Semuanya akibat dari kesepakatan awal yang telah dibuat demi berlangsungnya investasi.

Islam sendiri sebenarnya tidak menampik keberadaan investor, selama tidak menabrak hukum syara’. Diantaranya, dipastikan investor adalah rekan bagi negara (bukan negara kafir harbi yakni kafir yang memusuhi Islam) serta kondusif bagi penyebaran Islam, maka kerjasama luar negeri ini boleh dilakukan. Ketentuan lainnya, investasi tidak boleh dilakukan pada bidang yang strategis atau sangat vital. Hanya pada bidang yang halal, tidak berbahaya, bukan pada sektor non riil dan bukan pada kepemilikan umum (harta milik rakyat seperti, air, hutan dan sumber daya energi).

Namun demikian, dalam sistem Islam yang diterapkan oleh Khilafah, pendapatan negara justru tidak terpaku hanya pada investasi semata. Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-amwal fi Dawlah Al-Khilafah (sistem keuangan negara khilafah) telah menjelaskan secara lengkap sumber pemasukan negara yang dikumpulkan oleh lembaga negara Islam, yaitu Baitul Mal.

Secara garis besar ada tiga sumber, yang pertama: dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum. Yakni air, padang rumput, api (energi), listrik, barang-barang tambang, jalan raya, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Pada kepemilikan umum ini negara hanya sebagai pengelola, dan wajib menyediakannya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mengurusi kepentingan rakyat. Kedua: dari pengelolaan fa’i, kharaj, ghanimah dan jizyah serta harta milik negara. Dan ketiga: dari harta zakat, mencakup zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat unta, sapi dan kambing.

Khilafah memiliki kebijakan dalam mengatur kepemilikan kekayaan negara sedemikian rupa sesuai dengan aturan Islam, semata untuk kemakmuran rakyat. Pengaturan tersebut kemudian akan masuk dalam Baitul Mal yang menjadi pusat kekayaan Khilafah. Arahnya adalah untuk menjamin kehidupan per-individu rakyat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan dan papan. Serta untuk mewujudkan jaminan bagi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lainnya. Semuanya pernah direalisasikan sepanjang tiga belas abad.

Rekam jejak sejarah mengabadi, tidak mampu disangkal oleh siapapun. Bahkan ditulis sendiri oleh tokoh-tokoh non-Muslim terkait pesona sistem Islam yang tegak di atas pondasi akidah. Saat riba tidak menjadi raja, ketika investasi bukan satu hal yang paling diandalkan.

Sebut saja, Will Durant seorang sejarawan barat. Dalam bukunya berjudul Story of Civilization, Will mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Kemakmuran pun tidak hanya dinikmati oleh negara Khilafah. Bahkan berimbas hingga ke wilayah lainnya. Pada tahun 1847 terjadi bencana kelaparan di Irlandia, yang membuat 1 juta penduduknya meninggal dunia. Negara khilafah, dengan gerak cepat memberikan bantuan. Mary McAleese, Presiden ke-8 Irlandia memberikan pernyataan persnya terkait bantuan itu, Mary McAleese berkata: “Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani) mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini. Selain itu, kita melihat simbol-simbol Turki pada seragam tim sepak bola kita.”

Islam sebagai sebuah aturan hidup yang komprehensif, hadir untuk membawa kebahagian bagi seluruh lapisan masyarakat. Tertuang di dalamnya aturan mengenai pengaturan ekonomi dalam negara yang disebut dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ini menjadi salah satu paket dari sistem lainnya seperti politik-pemerintahan, hukum dan sebagainya yang akan diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Ini sekaligus menjawab kerisauan akan lesunya ekonomi negara saat ini. Saatnya dunia membuka mata, berpaling dari sandaran yang rapuh, beralih kepada satu yang pasti, Islam. []

*Penulis adalah anggota Muslimah Peduli Umat dari Indramayu

Leave a Reply

Your email address will not be published.