Breaking News

Jumlah Kementerian Bertambah, Tepatkah?

Spread the love

Oleh.  Asha Tridayana

Muslimahtimes.com–Beberapa waktu lalu, masyarakat mendapat bocoran dari ketua MPR RI sekaligus politikus senior Golkar, Bambang Soesatyo, bahwa saat pemerintahan Prabowo Subianto akan menambah Kementerian atau Lembaga menjadi 44 dari yang sebelumnya 34. Hal ini disampaikan saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR di GOR Kompleks Parlemen, Jakarta. (cnbcindonesia.com 15/09/24)

Hal senada juga dibeberkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, yang mengatakan pemerintahan Prabowo-Gibran akan membentuk kabinet gemuk yakni menambah nomenklatur kementerian. Dengan maksud agar lebih efektif karena fokus kementerian lebih tersentral. Beberapa kementerian akan terjadi penggabungan dan pemisahan. Kabinet pun akan diisi oleh tenaga profesional yang dapat berasal dari nonpartai politik atau partai politik, diantaranya kader Gerindra sendiri dan partai koalisi yang lain. (antaranews.com 17/09/24)

Sementara Direktur Riset & Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI, Ibnu Dwi Cahyo, menilai pemerintahan Prabowo-Gibran memang layak membentuk susunan kabinet gemuk yang diisi oleh tenaga profesional sesuai kebutuhan dan memiliki latar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian. Harapannya dapat memberikan kinerja nyata dan membuktikan kaderisasi partai politik dapat menghasilkan tokoh berkualitas. Di samping itu, penting mengusung menteri muda agar kabinet tidak kehilangan ide kreatif dan inovatif. Kemudian menjadi perpanjangan tangan kalangan muda untuk berkontribusi sebagai upaya memanfaatkan bonus demografi (https:/antaranews.com 18/09/24).

Berbeda dengan Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ beranggapan kabinet gemuk hanya upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto atau dapat dikatakan terjadi over coalition. Hal ini membutukan legitimasi sehingga disahkan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang. Terdapat enam poin perubahan di antaranya jumlah kementerian ditetapkan sesuai kebutuhan Presiden. Padahal jumlah kementerian 34 sebelumnya saja sudah terlalu banyak berdasarkan logika keefektifan dalam pemerintahan.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, juga menilai bahwa tidak seharusnya menambah pos kementerian justru yang dibutuhkan kantor dinas di tingkat provinsi. Berdasarkan kultur masyarakat dan geografis negara ini, kementerian atau pusat sebagai wilayah administratif bertugas mengawal regulasi sementara implementasinya lebih ke kedinasan di daerah. (cnnnindonesia.com 20/09/24).

Sudah menjadi rahasia umum, bergantinya Presiden akan berganti pula susunan kementerian. Sebagai bentuk balas budi telah berkoalisi maka kursi-kursi di kementerian sepatutnya diberikan. Termasuk kursi di jajaran wakil rakyat juga telah diprosentasi sesuai kepentingan. Begitulah sistem politik demokrasi, terang-terangan mencurangi pemilihan dan menormalisasinya seolah menjadi tradisi yang mesti dilestarikan.

Miris, namun demikianlah demokrasi sehingga bukan mustahil jika resmi dilantik Presiden baru akan membentuk kabinet baru dengan jumlah kementerian yang baru pula. Padahal bertambahnya kementerian seperti yang diisukan pastinya akan membutuhkan lebih banyak orang. Konsekuesinya bertambah pula kebutuhan anggaran untuk menggaji para menteri yang tentunya bernilai fastastis. Dampaknya utang negara semakin membengkak karena pendapatan negara saja tidak mungkin cukup. Pada akhirnya terjadi kenaikan pajak sebagai upaya meningkatkan pemasukan kas negara.

Parahnya lagi, bertambahnya kementerian tidak menjamin kinerja akan semakin baik justru dapat terjadi ketidakjelasan jobdes. Bahkan kemungkinan besar terjadi tumpang tindih, termasuk dalam membuat kebijakan dan aturan. Imbasnya hasil kerja tidak efektif dan efisien, masyarakat pun menjadi korban dari kerancuan yang dihasilkan, seperti dalam hal administratif menjadi lebih berbelit.

Disamping itu, lebih berisiko memperbesar celah korupsi dengan pertimbangan kementerian baru belum memahami kinerja secara utuh sehingga lebih mudah mencari celah dengan berbagai pengajuan anggaran. Sementara kepentingan rakyat tidak ada jaminan menjadi pusat perhatian, justru semakin ditelantarkan karena mereka sibuk dengan mekanisme kerja baru yang perlu banyak penyesuaian.

Kondisi negara yang semakin mengkhawatirkan ini terjadi karena demokrasi kapitalis masih langgeng diterapkan. Padahal sudah jelas sekali fakta yang menunjukkan kebobrokannya, menjadi biang segala persoalan dan menjadikan kehidupan masyarakat semakin sengsara. Sistem pemerintahan yang hanya berpihak pada pemilik modal dan elit politik yang saling bekerja sama mengamankan kekuasaan dan kekayaannya. Sementara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilihan suara, setelah itu kembali pada setelan awal. Janji tinggal janji, mereka menduduki kursi dan rakyat gigit jari.

Oleh karena itu, tidak cukup hanya berganti Presiden tetapi juga diperlukan perubahan sistem untuk mengakhiri ketidakjelasan pemerintahan dan kesengsaraan masyarakat. Satu-satunya sistem yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan dan mekanisme pemerintahan yang profesional tidak lain sistem khilafah. Sistem yang menerapkan Islam di segala aspek kehidupan termasuk menjadikan Islam sebagai standar dalam membuat kebijakan.

Kemudian khalifah sebagai pemimpin negara akan bertanggungjawab atas amanah kepemimpinannya. Dalam menjalankan amanah tersebut, khalifah diperbolehkan mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya. Dalam memilih pejabat, khalifah akan melakukannya dengan efektif dan efisien sesuai kebutuhan tidak berlebihan. Sehingga jobdesk dan tanggungjawabnya jelas tidak mengada-ada, baik dalam urusan kekuasaan maupun non kekuasaan.

Disamping itu, para pejabat yang dipilih oleh khalifah juga menyadari tugas yang diberikan merupakan amanah yang juga mesti dipertanggung jawab sehingga akan sungguh-sungguh dalam melaksanaanya. Bukan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk semena-mena terhadap rakyat atau mencari celah untuk memperkaya diri.

Dengan begitu dalam menjalankan pemerintahan, khalifah dan pembantu/pejabat akan bersinergi mensejahterakan kehidupan umat yang merupakan prioritas dan senantiasa berpegang pada hukum Islam. Rasulullah saw bersabda, “Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.” (HR. Bukhari, Muslim)

Wallahu’alam bishowab.