Breaking News

Korupsi Sistemik di Alam Demokrasi

Spread the love

Oleh. Tri Wahyuningsih, S.Pi

(Pegiat Literasi & Media)

Muslimahtimes– Kasus korupsi di Indonesia bak sampah yang terus menggunung, menyebarkan aroma busuk dan memenuhi seluruh sel-sel kehidupan umat. Mulai dari korupsi skala kecil hingga megakorupsi, mewarnai halaman-halaman berita konsumsi publik, media cetak maupun elektronik. Tak dipungkiri, korupsi di Indonesia bagai gerbong kereta api yang susul menyusul tiada henti, belum selesai kasus korupsi yang satu telah muncul korupsi yang lain.

Masyarakat tentu belum lupa bagaimana mega skandal korupsi Asuransi Jiwasraya yang menyita perhatian masyarakat luas, belumlah tuntas kasus Jiwasraya, masyrakat pun gempar dengan korupsi Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, kasus Garuda dan yang masih hangat kasus suap di KPU libatkan petinggi-petinggi partai penguasa.

Sebagaimana yang dikutip dari halaman Rmol.id, “kasus dugaan suap yang menimpa Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, menunjukkan perilaku koruptif yang tidak hanya merusak demokrasi, tapi juga mengkhianati kedaulatan politik rakyat.”(Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi).

Begitu mengguritanya korupsi di Indonesia, setiap saat ‘pasien’ KPK terus bertambah. Wajar bila banyak kalangan yang semakin sangsi korupsi akan benar-benar bisa diberantas habis meski lembaga pemberantasan korupsi telah lama dirilis. Belakangan, penanganan korupsi oleh KPK pun ditengarai kental akan aroma politk. Tebang pilih kasus korupsi pun tak terelakkan. Semakin dekat dengan kepentingan kekuasaan akan selamat dari status tersangka korupsi. Selain itu, undang-undang KPK revisi terbaru, yang mengharuskan penyidik KPK meminta izin terlebih dahulu sebelum menggeledah rumah ataupun kantor target terduga ‘maling’ uang rakyat, menjadikan masyarakat kian sangsi. Mampukah skandal korupsi negeri ini diberantas dengan kerja KPK yang lebih berorientasi penindakan dan sanksi ?

Demokrasi Lahan Subur Korupsi

Korupsi di lingkaran kekuasaan adalah penyakit bawaan sistem sekuler dan mustahil diberantas dengan kerja lembaga semacam KPK. Sebab, sistem demokrasi-Kapitalis hanya melahirkan pemimpin atau penguasa berintegritas rendah. Mendapatkan kekuasaan dalam demokrasi membutuhkan modal besar, baik modal sendiri (individu) ataupun sponsor yang tentunya tidak gratis. Maka, wajar ketika kekuasaan berhasil diraih, pertama kali pekerjaan yang harus dilakukan adalah mengembalikan modal. Jangankan berpikir memenuhi kebutuhan hidup rakyat, memenuhi janji-janji kampanye saja tak mampu. Belum lagi gaya hidup hedonis yang telah tertancap kuat di dalam benak penguasa, dan juga diperparah dengan hal yang paling mendasar yaitu sistem kehidupan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan inilah menjadi pemicu budaya korupsi di Indonesia.

Sistem demokrasi memang tak mengenal baik-buruk, apalagi halal-haram. Satu-satunya standar baku yang dijadikan pedoman dalam berbuat adalah kepentingan dan manfaat. Jadi, tak masalah korupsi, suap-menyuap ketika berkuasa asal tak ketahuan, jika pun terciduk juga oleh lembaga anti rasuah, itu nasib saja yang salah. Karenanya, berharap korupsi tak ada dalam sistem Demokrasi ibarat pepatah mengatakan: bagai hendak menegakkan benang basah. Dan itu adalah sebuah ilusi penuh kemustahilan semata.

Islam Solusi Tuntas Korupsi

Islam sebagai agama yang paripurna tentu tak diragukan lagi pasti mampu memberikan solusi tuntas bagi semua persoalan hidup manusia. Termasuk persoalan korupsi yang menggurita saat ini. Islam dengan sistemnya yang khas, bukan saja mampu mengikis habis praktek korupsi di semua level, tapi juga akan mampu menutup rapat peluang-peluang yang berindikasi korupsi.

Pencegahan dan penanganan tindak korupsi di dalam sistem Islam yakni:

Pertama, keimanan sebagai kontrol internal para politisi dan pejabat penyelenggara pemerintahan. Keyakinan bahwa segala aktivitas manusia harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, menjadikan mereka tercegah untuk melakukan korupsi, suap serta semua perbuatan yang bertentangan dengan aturan Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua, gaji dan santunan yang mencukupi. Dengan filosofi bahwa setiap jabatan adalah amanah, maka para pejabat penyelenggara pemerintahan dalam sistem Islam senantiasa berusaha untuk melaksanakan tugas yang menjadi amanahnya sebaik mungkin. Hal ini tidak mungkin terlaksana jika mereka masih memikirkan segala keperluan hidupnya dan keluarga yang juga menjadi kewajibannya. Untuk itu, agar mereka bisa bekerja dengan tenang, Islam memberikan santunan atau gaji yang layak dan mencukupi. Ketiga. Sistem Pembuktian Terbalik Harta Pejabat.

Rasulullah ﷺ, pernah bersabda: “Wahai manusia, siapa saja diantara kamu yang diangkat menjadi pegawai kami untuk melakukan pekerjaan tertentu, kemudian menipu kami terhadap penghasilannya, maka ketahuilah sesungguhnya apa yang lebih dari penghasilannya adalah harta haram(ghullu) yang akan dibawanya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab tidak segan-segan menyita kelebihan harta pejabat yang begitu mencolok dibandingkan santunan dan gaji yang layak baginya.

Keempat, sanksi yang setimpal. Dengan sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi akan mampu memberikan efek jera dan mencegah terjadinya tindak korupsi yang lain. Serta memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Sanksi ta’zir akan dikenakan para koruptor dan semisalnya dengan mempertimbangkan jumlah uang yang dikorup. Bahkan jika uang yang dikorupsi mencapai jumlah yang membayakan ekonomi negara, koruptor pun bisa dijatuhi hukuman mati.

[Wallahu’alam bi ash shawwab]

Leave a Reply

Your email address will not be published.