Breaking News

Kriminalisasi Intelektual Kampus itu Nyata

Spread the love

Oleh: Nisrin Walida

(Aktivis Muslimah)

#MuslimahTimes –– Keluarnya SK Nomor 586/UN7.P/KP/2018 oleh Rektor UNDIP pada 28 November 2018 menandai pemberhentian Prof. Suteki secara tetap dari 3 posisi yaitu Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum UNDIP, Ketua Senat Fakultas Hukum UNDIP, dan Anggota Komisi IV Senat Akademik Universitas. SK tersebut ditembuskan kepada Ketua Senat Akademik UNDIP; Wakil Rektor di UNDIP; Dekan Fakultas Hukum UNDIP; Kepala Biro di UNDIP; dan Kepala Bagian Keuangan BAUK UNDIP. Anehnya, Prof. Suteki sendiri menerima surat tersebut pada 24 Mei 2019.

Saat ini Prof. Suteki menemui Polda Jateng untuk mengadukan Rektor UNDIP yang mencemarkan nama baik beliau dengan tudingan radikal, yang ternyata belum pernah diperiksa oleh penyelidik. Tudingan tersebut dimunculkan sebelum ada pembuktian di persidangan. Selain itu, pengeluaran SK yang ditembuskan ke beberapa pejabat kampus telah membuka celah fitnah dan penilaian sepihak terhadap Prof. Suteki. Akibatnya timbul kebencian, ketidakpercayaan, dan penghilangan hak beliau dalam memberikan kontribusi pemikiran untuk masyarakat.

Prof. Suteki adalah seorang Guru Besar di Fakultas Hukum UNDIP sebagai dosen Pengampu mata kuliah Pancasila dan Filsafat Pancasila serta Hukum dan Masyarakat. Pada 23 Oktober 2017, beliau hadir sebagai Ahli dalam persidangan permohonan Judicial Review terhadap Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ORMAS. Kemudian beliau hadir pada persidangan PTUN pada tanggal 1 Februari 2018 perkara pencabutan Badan Hukum ormas HTI di Jakarta Timur. SK tersebut dikeluarkan dengan anggapan bahwa Prof. Suteki bersikap anti-Pancasila dan anti-NKRI.

 

Stigmatisasi Radikal, Upaya Membungkam Orang-orang yang Kritis

Jargon anti-Pancasila, anti-NKRI dan radikal kerap disematkan pada orang-orang yang kritis. Sebut saja partai politik ideologis seperti HTI yang konsisten berdakwah dan selalu mengajak masyarakat untuk bersama menegakkan syariat secara komprehensif dalam bingkai Negara Khilafah. Secara administratif, HTI terdaftar sebagai Ormas Islam di Indonesia sejak puluhan tahun lalu.

Pada 5 Mei 2017, status badan hukum HTI dicabut melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang ORMAS. Bila ditarik dari frasa “…atau paham lain yang bertujuan mengganti pancasila dan UUD 1945” pasal 59 ayat 4 huruf c dari Perppu tersebut menimbulkan multitafsir.  Orang dapat beranggapan bahwa HTI yang menyuarakan khilafah akan menggantikan kedudukan Pancasila, sehingga sifatnya radikal dan harus ‘dibubarkan’ dengan berbagai alasan. Sepanjang sejarahnya, HTI tak pernah melakukan cara-cara kekerasan.

Akibat Perppu tersebut, kebebasan rakyat untuk berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat menjadi terbatas. Padahal demokrasi memberikan kebebasan pada individu untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Definisi radikal yang dipakai masih tak definitif dan tak protektif. Di dalam KBBI telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan radikal adalah ‘secara mendasar (sampai pada prinsip)’; ‘amat keras menuntut perubahan’; dan ‘maju dalam berpikir atau bertindak’.

Stigma radikal sengaja disulutkan agar masyarakat takut dengan penerapan syariah dan khilafah. Pihak-pihak yang menyuarakan dan membelanya juga sering mengalami persekusi. Masalah ini merupakan buah dari kemunduran berpikir yang terjadi akibat pemisahan agama dari kehidupan, sehingga ummat tak percaya atau bahkan tak mengakui bahwa khilafah sejatinya bagian dari ajaran Islam.

Renungan

Membenturkan Pancasila dengan khilafah adalah suatu kesalahan fatal. Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam pernah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saat menjalankan pemerintahan di Madinah. Umat dari berbagai golongan bisa bersatu dan hidup rukun di dalamnya tanpa ada pemaksaan akidah. Seluruh peraturannya bersumber dari Islam karena Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual bagi kaum muslim saja tetapi memancarkan sistem peraturan yang membawa rahmat bagi alam semesta.

Prof. Suteki telah membenarkan bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, dan ia tidak bertentangan dengan Sila Pertama. Dan stigma radikal yang ditujukan pada Prof. Suteki adalah salah satu bukti kriminalisasi yang nyata pada intelektual pemikir di lingkungan kampus. Bagaimana mungkin orang yang berkapabilitas tinggi dalam memahami seluk beluk Pancasila bisa dikatakan anti-Pancasila?

Leave a Reply

Your email address will not be published.