Breaking News

Kursi Perempuan dalam Kepemimpinan

Spread the love

Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)

Muslimahtimes– Perempuan harus menguatkan posisi kepemimpinannya, sehingga mampu berperan efektif sebagai pengambil kebijakan dalam urusan publik. Hal itu akan menjamin tercapainya kesetaraan gender, karena mewujudkan kesetaraan ini adalah masalah kekuasaan. Demikian rekomendasi dari Sidang ke-65 Commission on the Status of Women (CSW) pada 15—26 Maret 2021 lalu. Sidang ini untuk memantau implementasi dari Konferensi Perempuan Internasional di Beijing 1995 lalu (kompas).

Guna mewujudkan target tersebut, ada lima hal yang harus dilakukan. Pertama, mencabut undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan. Kedua, memastikan keterwakilan perempuan dalam bidang politik. Ketiga, mewujudkan gaji yang setara. Keempat, menangani kekerasan terhadap perempuan melalui peningkatan pendanaan, kebijakan, dan kemauan politik yang lebih efektif. Kelima, dukungan bagi para pemimpin remaja putri.

Indonesia yang notabene pengekor Konferensi Beijing, segera akan mengimplementasikan hasil sidang CSW. Misalnya dengan meningkatkan partisipasi perempuan guna tercapainya kuota 30 persen perempuan dalam lembaga politik yang masih jauh dari harapan. Faktanya, minat perempuan sendiri terhadap kepemimpinan memang tak seramai laki-laki.

Pemimpin di Demokrasi Liberal

Ideologi sekuler dengan sistem politik demokrasi, membebaskan siapa saja menjadi pemimpin, asalkan dikehendaki oleh rakyat mayoritas. Paling-paling hanya dibatasi soal usia, kewarganegaraan dan domisili. Misalnya, untuk menjadi presiden Amerika Serikat, syaratnya adalah berusia minimal 35 tahun, lahir di Amerika Serikat dan minimal tinggal di negara itu 14 tahun belakangan.

Dalam sistem demokrasi terjadi liberalisme politik, di mana siapa saja bebas mengambil peran sebagai pemimpin asal memenangkan suara mayoritas. Orang terkenal, artis, orang adil atau zalim, orang Muslim atau nonmuslim, laki-laki maupun perempuan, bisa menjadi pemimpin. Tidak peduli track record dan kapabilitasnya, asal ada dukungan suara. Tak aneh jika di negara-negara demokrasi kerap dipimpin orang yang tidak mampu, tidak adil dan bahkan zalim.

Proses pemilihan pemimpin dalam demokrasi, sarat dengan kepentingan kelompok. Tentu saja yang paling berpotensi menang adalah kelompok para kapitalis yang bermodal besar. Tak heran jika sudah berkuasa, kebijakan-kebijakan yang keluar mengutamakan kepentingan kelompok kapitalis ini. Artinya, kebijakan politik di negara demokrasi tidak ada hubungannya sama sekali dengan jenis kelamin. Siapapun yang berkuasa, akan selalu mengabdi pada kepentingan para pemodal. Baik yang berkuasa laki-laki maupun perempuan.

Adalah sesat pikir jika beranggapan bahwa jika perempuan lebih banyak duduk sebagai pengambil kebijakan publik, nanti akan lahir regulasi-regulasi yang properempuan. Tuduhan mereka bahwa  pemimpin laki-laki hanya mengeluarkan kebijakan yang bias laki-laki juga tidak sesuai dengan fakta. Buktinya, ketika perempuan menjadi pengambil kebijakan, tetap saja nasib perempuan tidak berubah. Khususnya di negara demokrasi, sudah banyak contoh pemimpin perempuan yang terbukti gagal menyejahterakan kaum perempuan.

Kegagalan ini disebabkan sistem demokrasi liberal memang sistem yang gagal menyejahterakan seluruh umat manusia, bukan semata-mata kegagalan akibat jenis kelamin pemimpinnya. Aneh jika semangat perempuan untuk berkontribusi dalam kepemimpinan sekadar untuk menghilangkan diskriminasi perempuan. Jika pemimpin perempuan menghendaki kebijakan yang properempuan, bagaimana dengan hak laki-laki? Di mana letak keadilan? Seorang pemimpin, memimpin seluruh umatnya tanpa pandang bulu. Tidak boleh mengambil kebijakan berbias gender yang hanya menguntungkan satu jenis kelamin saja.

Inilah sesat pikir soal kepemimpinan dalam Barat. Berbeda dengan Islam yang memiliki aturan yang jelas, yang juga mengatur masalah kepemimpinan. Bahkan, syarat menjadi pemimpin sangat jelas. Misalnya, untuk menjadi pemimpin negara harus laki-laki Muslim yang sudah baligh, mampu, adil, dan merdeka. Syarat ini bersumber dari wahyu Allah Swt, sehingga tentu saja pasti mengandung maslahat.

Apakah syarat ini karena perempuan tidak mampu? Bukankah saat ini banyak perempuan yang cerdas dan mampu menjadi pemimpin? Ini bukan perkara mampu atau tidak, tetapi kepatuhan terhadap syariah. Apakah perempuan sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin di ruang publik? Islam membolehkan, selama bukan duduk di kursi penguasa atau pengambil kebijakan dalam pemerintahan. Seperti, tidak boleh perempuan menjadi khalifah, muawin tafwid, wali (kepala wilayah), dan amil dan mahkamah mazolim. Ketidakbolehan ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan pembagian “kursi”.

Para laki-laki dengan kemampuan logika berpikirnya, didudukkan di kursi pemerintahan agar mampu memimpin dengan cara rasional. Sementara perempuan didudukkan di “kursi” pendidik generasi di rumahnya, agar mampu melahirkan calon-calon pemimpin. Bukankah ini pembagian kursi yang sangat indah?

Beda Kursi

Sesat pikir ala penggiat kesetaraan gender adalah bahwa peran politik perempuan hanya dibatasi pada konsep kekuasaan dan legislasi. Walhasil,  pemberdayaan politik perempuan hanya diarahkan agar menjadi penguasa. Pokoknya kalau masalah perempuan ingin dituntaskan, perempuan harus terjun langsung menjadi penguasa. Jangan puas hanya menjadi “rakyat” yang dipimpin, tapi jadilah pemimpin.

Logika ini jelas keliru. Dalam konteks kepemimpinan, baik penguasa maupun rakyat memiliki kedudukan yang sama-sama penting dalam bermasyarakat. Baik penguasa maupun rakyat punya peran politik masing-masing. Penguasa dengan kebijakannya, rakyat sebagai pelaksana kebijakan. Jika syariah menugaskan laki-laki sebagai pemimpin, itu wujud pembagian peran yang harus dilihat maslahatnya. Tinggal bagaimana mengawasi mereka agar menjalankan pemerintahan sesuai syariah, sehingga hak dan kewajiban semua warga negara terpenuh, baik laki-laki maupun perempuan.

Sekali lagi, tuntasnya persoalan perempuan, tidak tergantung pada berapa banyak perempuan yang berkuasa, tetapi ideologi apa yang dipakai untuk berkuasa. Jika perempuan ingin bangkit, maka harus kembali pada ideologi Islam. Ideologi yang benar, didasari oleh akidah Islamiyah dan aturan berdasar syariah.

Atas dasar ini, demokrasi bukan jalan terbaik bagi penyelesaian persoalan perempuan. Tak layak diadopsi dan diperjuangkan. Perempuan tidak perlu menjadi “Tuhan” yang memiliki kedaulatan, sebagaimana gagasan demokrasi yang menganggap suara terbanyak adalah suara Tuhan. Perempuan tunduk pada syariah, di mana sistem Islam menjadikan kedaulatan di tangan syara’. Bukan yang lain. Kursi kepemimpinan laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa, agar kedua jenis manusia ini dapat saling bekerjasama dan merasakan maslahatnya.(*)