Breaking News

Lonceng Kematian Lembaga Anti Rasua

Spread the love

Oleh : Hafidhah Silmi S.AP
(Alumni kebijakan publik Universitas Brawijaya Malang)

MuslimahTimes– Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan peristiwa penyegelan ruangan kerja Wahyu Setiawan, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan KPK pada Kamis (9/1/2020). Selain ruangan kerja, rumah dinasnya juga disegel. KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka terkait dugaan penerimaan suap penetapan anggota DPR terpilih 2019-2020.

Tak hanya Wahyu Setiawan, KPK juga menetapkan 3 tersangka lainnya dalam kasus tersebut. Yakni mantan Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, mantan Caleg PDIP Harun Masiku, dan Saeful pihak swasta.

Pemberian suap untuk Wahyu itu diduga untuk membantu Harun Masiku dalam Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP yang meninggal dunia yaitu Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Namun dalam pleno KPU pengganti Nazarudin adalah caleg lainnya atas nama Riezky Aprilia.

Komisioner KPU Wahyu diduga sudah menerima Rp 600 juta dari permintaan Rp 900 juta. Dari kasus yang bermula dari operasi tangkap tangan pada Rabu, 8 Januari 2020 ini, tim penindakan KPK menyita uang Rp 400 juta.

Anehnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum melakukan pengeledahan terhadap Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski diketahui beberapa penyidik KPK sudah mendatangi Kantor DPP PDIP pada Kamis (10/1/2020) kemarin, namun tindakan penggeledehan ini tak berhasil dilakukan lantaran ada penolakan dari petugas keamanan termasuk belum adanya izin Dewan Pengawas KPK. Ironisnya, KPK akhirnya dijadwalkan untuk melakukan penggeledahan baru pekan ini.

Kasus ini menjadi kasus pertama pasca berlakunya UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sejak awal dinilai cenderung melemahkan KPK daripada menguatkan KPK. Sebagian kalangan mengkritik peristiwa gagalnya KPK menggeledah kantor tersebut terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisoner KPU Wahyu Setiawan karena diduga menerima uang suap sebesar Rp 400 juta dari Caleg PDI Perjuangan Harun Masiku dan pihak swasta bernama Saeful yang diduga staf Sekjen PDI Perjuangan (Hasto).

Hal ini membuktikan bahwa KPK menjadi lemah akibat materi muatan UU 19/2019 yang tidak bagus. Semestinya, kewenangan menangkap, menggeledah, dan menyita barang bukti dikembalikan ke Komisioner KPK.

Gagalnya KPK menggeledah kantor DPP PDIP karena panjangnya alur perizinan penggeledahan. Ujungnya, KPK tak mampu menggeledah institusi partai yang sedang berkuasa ini.

meski akhirnya Dewan Pengawas KPK memberi izin kepada penyidik pada Jumat (10/1/2020), namun masalahnya penggeledahan diumumkan bakal dilakukan pada pekan ini. Sudah tentu substansi penggeledahan tentang barang bukti boleh jadi sudah dihilangkan. Kalau seperti ini tidak terselesaikan, maka jangan berharap lagi dengan KPK.

Mempersulit KPK

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan menilai implementasi UU 19/2019 dalam kasus dugaan suap Wahyu Setiawan membuktikan mempersulit kinerja KPK. Terdapat dua peristiwa penting yang harus dicermati dalam peristiwa OTT Wahyu Setiawan ini.

Pertama, KPK faktanya terbukti lambat melakukan penggeledahan di kantor PDIP. Ini disebabkan adanya Pasal 37B ayat (1) UU KPK baru yang menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas. Padahal, dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak manapun.

Logika sederhana saja sebenarnya, bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas? Belum lagi persoalan waktu, yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan, bahkan menghilangkan bukti-bukti.

Kedua, tim KPK diduga dihalang-halangi saat menangani perkara tersebut(obstruction of justice). Padahal, menghalang-halangi proses hukum dapat diancam pidana penjara 12 tahun dengan menggunakan Pasal 21 UU 31/1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Semestinya, setiap pihak bersikap kooperatif dengan proses hukum yang dilakukan KPK.

Melihat kondisi ini dapat disimpulkan narasi penguatan yang digadang-gadangkan Presiden dan DPR hanya bualan semata. Pasalnya, berlakunya UU 19/2019 justru mempersulit penegakan hukum yang dilakukan KPK dalam pemberantasan korupsi.

Seharusnya pemerintah buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK yang baru. Selain itu, penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama Presiden untuk menyelamatkan KPK. KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum.

Fenomena maraknya kasus korupsi seakan telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang politik sistem demokrasi hari ini. Korupsi telah menjadi penyakit sebagian besar demokrasi yang sudah mengakar dari strukturnya. Birokrasi dan jabatan seakan memberikan ruang kenyamanan dan peluang “lahan basah” untuk bebas melakukan apapun yang di inginkan demi eksistensi diri, sekalipun harus mnggadaikan harga diri terhadap amanah yang telah dikhianati.

Tingkah polah para elit politik di negeri ini mengisyaratkan mental korup yang sulit dihilangkan. Saat tersangka sudah ditangkap, dihukum dan dipenjara tidak pula menimbulkan efek jera, bahkan yang terjadi justru praktik korupsi tersebut malah semakin menggurita.

Sosok pemimpin yang sangat diharapkan mampu membawa perubahan kebaikan, pada akhirnya fakta lah yang harus bicara, rakyatlah yang selalu dikecewakan dengan manisnya slogan dan jargon-jargon yang mereka ucapkan.

Sejatinya, kekuasaan dalam islam bukan tujuan tapi hanya sebuah amanah yang harus dijalankan untuk menerapkan aturan-aturan dari Allah SWT, agar kehidupan manusia selalu diliputi dengan suasana keimanan. Jika ingin menjadi pemimpin tapi pijakan utamanya adalah sekularisme (Pemisahan agama dalam kehidupan) maka yang terjadi hanyalah sebuah kebinasaan. Karena, bagi seorang pemimpin ketakwaan adalah mutlak bukan sekedar slogan.

Sistem demokrasi yang menganut paham sekuler-kapitalis, standar baik buruk dan terpuji tercela sangat ditentukan oleh rasa manusia, benar salah hanya berdasarkan hawa nafsu. Tujuan mulia dibalik kursi jabatan dan kekuasaan yang katanya ingin bekerja demi rakyat terkadang harus terkotori oleh egoisme pribadi dan golongan.

Banyaknya kasus korupsi yang berhasil disingkap KPK saat ini, tentu telah semakin merusak citra wakil rakyat. Satu persatu bangkai busuk yang selama ini berusaha ditutup-tutupi akhirnya terbuka nyata dan diketahui publik. Tentu saja, semua layak mengapresiasi langkah KPK memberantas koruptor.

Antikorupsi dan tata pemerintahan yang baik hanya slogan. Birokrasi yang bersih masih bisa tidak efektif bertugas. Tata pemerintahan yang baik membutuhkan kapasitas negara, manusia, material, manajemen dan sumber daya organisasi yang baik.

Semua itu sangat diperlukan bagi pemerintah untuk melaksanakan amanah secara efektif dan efisien. Terkait dengan keterampilan dan pengetahuan pejabat publik yang harus diberi otonomi dan kewenangan yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas. Karena praktik korupsi cenderung merusak kehidupan bernegara.

Ada banyak upaya pemerintah untuk memberantas korupsi, meskipun beberapa kebijakan tidak efektif. Untuk mencapai tingkat korupsi rendah, Pemerintah harus membentuk dan menguatkan lembaga antikorupsi independen untuk mengawasi transaksi bisnis dan memastikan transparansi lembaga-lembaga pemerintah bersih untuk meminimalisir transaksi yang mencurigakan. Karena korupsi terkait erat dengan sistem hukum, disarankan untuk meningkatkan kompetensi setiap bagian dari sistem hukum, termasuk polisi dan pengadilan. Mempekerjakan orang-orang yang punya integritas dan profesional untuk mengurangi peluang pejabat karbitan. Tidak hanya meningkatkan kinerja sektor, tetapi juga mengurangi dampak korupsi itu sendiri.

Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian nyata, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat.

Solusi Islam Berantas Korupsi

Sudah ada niat Pemerintah yang cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan telah dibuat satu Tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan tidak sungguh-sungguh. Ini terlihat dari tak adanya keteladanan dari pemimpin dan lemahnya pengungkapan kejahatan korupsi sementara masyarakat tahu bahwa korupsi terjadi di mana-mana.

Fenomena korupsi yang terus menggurita, hanya bisa diberantas tuntas dengan sistem Islam, ada beberapa upaya yang harus dilakukan.

Pertama, dengan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Karena para birokrat tetaplah manusia biasa.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.

Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Kelima, hukuman setimpal. Agar orang takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, bila ditetapkan hukuman yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi.

Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupatasyhir atau pembeitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi.

Dalam Islam, syarat yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat. yakni, sifat adil terhadap siapa saja, senantiasa memelihara wibawa dan nama baik (muruah), pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara dan ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk menerima amanah) dengan berbagai ketentuan, wawasan luas dan kebijaksanaan.

Syarat-syarat tersebut mutlak diperlukan karena diharapkan para wakil rakyat akan dapat mewakili kemauan dan kehendak rakyat yang diwakilinya. Rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena keikhlasan, kekonsekuenan, ketakwaan, keadilan, kecemerlangan pikiran, dan kegigihan mereka dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Wallahu’alam.

Leave a Reply

Your email address will not be published.