Breaking News

Lumbung Singkong dan Masa Depan Kemandirian Pangan

Spread the love

Oleh: Eni Imami, S.Si (Pendidik, Pegiat Literasi)

 

MuslimahTimes.com – Singkong, salah satu bahan baku makanan pokok masyarakat pedesaan kini menjadi komoditas prioritas dalam program Food Estate. Food Estate atau lumbung pangan merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024 yang digagas oleh Presiden Jokowi.
Dikutip dari walhi.or.id (17/2/2021), ada 3 tujuan Food Estate yang disampaikan Jokowi dalam Rapat Terbatas pada 23 September 2020, yakni; (1) mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19, (2) mengantisipasi perubahan iklim, (3) mengurangi ketergantungan impor.

Pada tahap awal, Food Estate akan digarap di Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Lahan yang disiapkan seluas 30 ribu hektar pada tahun 2021. Selanjutnya akan ditingkatkan hingga mencapai 1,4 juta hektar pada tahun 2025.

Adapun pemilihan singkong sebagai komoditas prioritas karena mudah ditanam dan dinilai banyak menghasilkan produk turunan, seperti mie, tapioka, bahan untuk roti, nasi dari singkong, dan mocaf. Jika dahulu Indonesia terkenal dengan lumbung beras, akankah berganti menjadi lumbung singkong? Akankah lumbung singkong menjadi solusi kemandirian pangan di masa depan?

Persoalan pangan memang krusial. Bagian dari sistem pertahanan negara. Kekuatan pasukan dan strategi militer bisa luluh lantak lantaran ketahanan pangan bermasalah. Krisis pangan diprediksi oleh Lembaga Pangan dan Pertanian dunia (FAO) bakal menimpa dunia lantara pandemi Covid-19. Program Food Estate dijadikan harapan sebagai penangkalnya. Jokowi secara khusus menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk menyukseskan program Food Estate. Dengan harapan ketahanan pangan Indonesia di masa depan bisa diandalkan.

Program Food Estate bukanlah konsep baru. Pernah digagas pada tahun 1995, dengan program 1 juta hektar lahan gambut. Pada tahun 2012 ada Food Estate di Bulungan. Pada 2013 ada di Ketapang. Ada juga ada Food Estate bertajuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Semua itu mengalami kegagalan.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudoi sangat menyayangkan kenapa pemerintah tidak belajar dari kegagalan tersebut. Salah satu penyebab kegagalannya adalah pola kemitraan korporasi-petani selalui diwarnai konflik kuasa atas tanah, dan janji hasil yang tidak sesuai kenyataan. (Republika.co.id, 26/10/2020)

Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak Food Estate. Karena dinilai tak dapat menjadi solusi atasi krisis pangan. Menurut Ketua Umum SPI Henry Saragih, Food Estate membutuhkan dana besar. Petani kecil tak akan sanggup mengelolanya.

Untuk mengatasi masalah pembiayaan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo akan menggandeng para korporat. Syahrul menegaskan bahwa korporasi petani merupakan prioritas dari program Food Estate. Namun konsep ini ditentang oleh SPI. (nasional.kontan.co.id, 25/10/2020)

Lalu, sebenarnya program Food Estate dibangun untuk kepentingan siapa?

Tampak antara tujuan dan realita tak sejalan. Krisis pangan memang tengah menjadi ancaman. Sudah waktunya negara mandiri menyiapkan kebutuhan pangan di masa depan. Negara dengan hamparan lahan yang luas dan dengan keanekaragaman sumberdaya alam pasti mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri tanpa bergantung pada negara lain.

Pilihan singkong menjadi komoditas utama program Food Estate juga sangat disayangkan. Karena pangan pokok mayoritas rakyat Indonesia adalah padi. Maka lumbung pangan semestinya diprioritaskan padi. Bila terkendala kurangnya lahan untuk produksi padi karena alih fungsi menjadi infrastruktur, seperti perumahan, pusat perbelanjaan atau kawasan indutri pabrik maka negara harus mengambil kebijakan tegas menghentikan alih fungsi tersebut. Lahan yang subur harus dioptimalkan sebagai lahan pertanian. Bukan malah membuka lahan baru tapi di atas tanah gambut dan beralih komoditas dengan alasan mudah ditanam.

Jika demikian rasanya mimpi negeri ini bisa mandiri pangan di masa depan. Karena kebijakan yang diterapkan bertolak belakang dengan kebutuhan rakyat. Pun pembangunan Food Estate ini patut diwaspadai. Melibatkan korporasi rawan didomplengi kepentingan segelintir investor tanpa bisa mencapai target kedaulatan pangan di masa depan.

Kemandirian pangan bisa dicapai jika selaras dengan arah kebijakan dan sistem pangan sebagai bentuk kedaulatan. Di mana negara harus mengerahkan kemampuan memproduksi pangan yang beraneka ragam untuk menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Dengan pemanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, tanpa bergantung pada luar negeri.

Negara dengan sistem Islam memiliki pandangan yang jelas terkait pengelolaan pangan. Upaya mewujudkan kemandirian dan jaminan pangan direalisasikan dalam berbagai upaya. Di antaranya, meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian. Semua menjadi tanggung jawab negara tanpa campur tangan para korporat.

Islam menetapkan kepemilikan lahan pertanian sejalan dengan pengelolaannya. Hal ini terlihat dari aturan terkait lahan. Ada aturan terkait menghidupkan tanah mati, larangan menelantarkan lahan lebih dari tiga tahun, dan larangan menyewakan lahan pertanian. Dengan demikian lahan akan senantiasa produktif dan terhindar dari banyaknya lahan kosong.

Terkait dengan produksi pertanian. Negara akan memberikan dukungan penuh agar hasilnya berlimpah. Berbagai bantuan diberikan kepada petani seperti sarana produksi, infrastruktur penunjang, modal, teknologi, dan sebagainya. Selain itu, negara juga memberikan dukungan riset untuk menghasilkan bibit unggul dan berbagai inovasi yang dibutuhkan dalam pertanian.

Dalam distribusi produk pangan diserahkan pada mekanisme pasar. Negara sebagai pengawasan memastikan tak ada unsur penipuan, penimbunan, praktik tengkulak, kartel, dan sebagainya yang merugikan rakyat. Selain itu, penegakan hukum yang tegas juga dilakukan saat terjadi pelanggaran.

Sungguh luar biasa aturan Islam mulai dari aktivitas di tingkat produksi, distribusi, bahkan sampai konsumsi berupa layanan bukan komersialisasi. Hal ini sangat berbeda dengan sistem sekuler-kapitalis yang diterapkan saat ini. Alih-alih program dibuat untuk rakyat, nyatanya keterlibatan korporat sangat erat. Negara seakan tak memiliki taring menghadapi mereka. Jika dibiarkan maka negara tak akan pernah mandiri baik dari aspek pangan, ekonomi, politik, maupun ketahanan negara.

Jika demikian, tak ada solusi lain kecuali kembali pada sistem Islam. Sistem yang telah terbukti menyejahterakan hampir tiga belas abad lamanya dalam institusi Kekhilafahan. Rakyat jauh dari kelaparan maupun kemiskinan. Salah satu buktinya di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak ada para mustahik yang akan diberikan zakat. Alhasil, negara surplus dengan pendapatan dan rakyat hidup berkecukupan.
Allahu a’lam bisshowwab.