Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Praktisi Pendidikan)
Muslimahtimes.com– Kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak marak terjadi di sistem kehidupan saat ini. KPAI mencatat sepanjang tahun 2023 ini terdapat 37 kasus bunuh diri anak. Kasus tersebut terjadi pada usia rawan, yakni kelas 5-6 SD, kelas 1-2 SMP, kelas 1-2 SMA. (tribunnews.com/01-12-2023)
Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu di Pekalongan, Jawa Tengah, seorang siswa SD nekat gantung diri di kamarnya karena dilarang main HP oleh orangtuanya. (Detik.com/24-11-2023)
Sementara itu, seorang remaja berusia 17 tahun di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat juga gantung diri karena sakit hati dimarahi sang ibu saat dirinya bertengkar dengan sang adik. Sungguh memprihatinkan! Di tempat lain masih banyak kasus serupa yang mungkin tidak terungkap oleh media.
Atas maraknya kasus bunuh diri anak, Diyah Puspitarini sebagai anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun meminta pemerintah ketat dalam membatasi akses internet pada anak. Karena banyak anak yang terinspirasi cara bunuh diri dari internet. Diyah juga mendorong Kementerian Sosial (Kemensos) untuk dapat melakukan penguatan kesehatan mental anak dan orang tua. Hal ini akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan dan komunikasi di dalam rumah.(Medcom.id/30-11-2023)
Menelisik Akar Masalah
Bunuh diri merupakan perbuatan tercela dalam ajaran Islam. Namun hari ini mirisnya, langkah bunuh diri malah banyak diambil sebagai penyelesaian masalah, tak hanya oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Oleh karena itu, fenomena ini wajib menjadi perhatian kita bersama. Ada hal yang harus kita benahi demi menyelesaikan persoalan ini agar tak kembali berulang.
Dengan demikian, kita perlu menelisik akar masalah di balik mudahnya anak-anak mengambil langkah bunuh diri ketika menghadapi persoalan. Jika melihat dari fakta bunuh diri yang ada, maka sangat jelas bahwa mental anak-anak zaman sekarang sangatlah rapuh. Emosional mereka juga begitu labil, sehingga ketika merasa tertekan oleh suatu keadaan, maka mudah mengambil jalan instan yang dianggap sebagai solusi cepat menyelesaikan masalah.
Kondisi psikologis demikian tentu dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan pengaruh lingkungan, serta sistem kehidupan yang diterapkan. Sebagaimana kita tahu bahwa sistem kehidupan hari ini mengadopsi sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan, sehingga seringkali abai dalam penanaman akidah Islam secara totalitas ke dalam diri seorang anak, baik oleh kaluarga maupun sekolah. Hal ini karena agama dianggap urusan privat individu, sehingga agama dibatasi sekadar mengatur soal ibadah ritual saja. Maka, tak heran jika lembaga pendidikan yang ada sekarang pun hanya mengajarkan agama sebatas teori saja, tetapi tidak membentuk kepribadian Islam anak. Anak diajarkan salat dan tata caranya, namun tidak dipahamkan bahwa salat adalah konsekuensi atas keimanan seorang muslim. Begitupun anak diajarkan menghafal rukun iman dan rukun Islam, tetapi tidak ditancapkan kesadaran bahwa setiap muslim wajib terikat dengan syariat Islam sebagai konsekuensi atas keimanannya.
Adapun kepribadian Islam dibentuk dari pola pikir islami dan pola sikap islami. Oleh karena itu, generasi berkepribadian Islam akan memiliki kecerdasan mengelola konflik, karena ia memiliki fondasi baku dalam menimbang benar salah, yakni sesuai syariat saja. Di sisi lain, tayangan dan tontonan di televisi maupun internet tidak mampu mengokohkan kepribadian anak, melainkan membentuk anak-anak bermental rapuh dan mudah menyerah. Betapa tidak, tayangan yang disuguhkan kebanyakan seputar percintaan yang menyeret pada angan-angan dan lemahnya jiwa. Tidak ada tayangan yang memberi penguatan mental generasi sehingga melahirkan generasi bervisi akhirat.
Tuntaskan dengan Sistem Islam
Sungguh jelas bahwa maraknya bunuh diri pada anak hari ini merupakan buah dari diterapkannya sistem rusak sekularisme. Oleh karena itu, sejatinya sistem itu harus dibuang sejauh-jauhnya karena akan menghancurkan generasi dan juga secara otomatis menghancurkan masa depan peradaban. Betapa tidak, generasi hari ini merupakan calon pemimpin di masa depan. Bagaimana jadinya jika generasi hari ini justru bermental lembek dan mudah putus asa? Padahal yang diharapkan untuk membangun sebuah peradaban adalah generasi bermental baja dan mampu menjadi problem solver di tengah masyarakat.
Islam memiliki langkah-langkah strategis dalam mewujudkan generasi demikian, di antaranya:
Pertama, memastikan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara berbasiskan pada akidah Islam. Dalam berkeluarga, Islam memiliki aturan agar kedua orang tua mendidik anak-anak dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu, maka orang tua harus memiliki bekal agama yang cukup. Karena bagaimana mungkin akan mendidik anak dengan Islam, jika kedua orang tuanya saja tak paham Islam? kemudian, para ibu wajib menjalankan fungsi utamanya yakni sebagai ummu wa rabbah al bayt dan madrasatul ‘ula bagi anak-anaknya. Sehingga tidak muncul fenomena motherless yang menjadi penyebab anak kurang perhatian dan bermental rapuh.
Kedua, dalam sistem pendidikan Islam, kurikulum dan pengajaran akan berbasis pada akidah Islam. Sehingga output yang tercipta adalah generasi berkepribadian Islam, bukan generasi pemburu materi. Maka, Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar tiap individu karena dengan pendidikan itulah akan terwujud generasi faqih fiddien yang bervisi besar dalam membangun bangsa.
Ketiga, suasana keimanan dan ketakwaan akan menyelimuti kehidupan bernegara. Sistem sanksi pun akan ditegakkan dengan adil pada para pelaku maksiat, meski masih usia sekolah. Sebab dalam Islam, ukuran seseorang sudah terkena taklif hukum adalah saat sudah baligh. Dengan inilah, takkan ada yang berani menyepelekan kejahatan atau kemasiatan, karena akan ada sanksi tegas yang akan dijatuhkan oleh negara.
Demikianlah persoalan bunuh diri pada anak akan selesai jika sistem Islam diterapkan secara sempurna dalam kehidupan. Karena sejatinya Islam adalah rahmat bagi semesta alam, bukan hanya untuk umatnya saja. Tidakkah kita tergerak untuk memperjuangkannya?