Membaca Arah Kebijakan Biden untuk Masalah Palestina-Israel

Spread the love

Oleh: Fety Andriani S.Si

 

MuslimahTimes.com – Kemenangan Joe Biden dalam Pilpres AS diharapkan akan membawa harapan baru bagi umat muslim baik di AS ataupun di belahan dunia lain termasuk di Timur Tengah. Sebab pada masa kepemimpin Trump, secara vulgar ditampilkan kebencian pada umat muslim khususnya di Palestina. Sedangkan Israel diperlakukan sebagai anak emas. Akankah kemenangan Biden mampu membawa angin segar bagi Palestina ataukah Israel tetap menjadi anak emas AS?

Sejumlah negeri Islam ikut berkomentar tentang harapan baru untuk Palestina setelah Biden dilantik. Indonesia diwakili oleh menteri luar negeri RI Retno Marsudi menyampaikan selamat kepada presiden dan wakil presiden AS. Retno juga menyampaikan harapan pada wajah baru AS untuk memberikan kontribusi positif bagi Palestina dan membantu menyelesaikan masalah Israel-Palestina.
(republika.co.id)

Begitu pula dengan negara-negara di Timur Tengah, mereka turut memberikan ucapan selamat dan menaruh harapan pada Biden untuk berkontribusi menciptakan perdamaian di kawasan Timur Tengah.

Nabil Shaath yang merupakan wakil khusus Presiden Mahmoud Abbas, seperti yang diberitakan Aljazeera mengatakan bahwa Palestina tidak berharap banyak atas terpilihnya Biden. Tersingkirnya Trump dan bahaya yang diciptakannya adalah keuntungan bagi Palestina karena selama ini Trump terlalu tunduk pada Israel dan kebijakannya banyak merugikan Palestina. Sebagian rakyat Palestina juga kecewa karena tim Biden mengatakan tidak akan memindahkan kedutaan Israel dari Yerusalem.

Sebagai mercusuar kapitalisme, AS adalah negara yang paling gencar menyebarluaskan kapitalisme. Tentunya dalam rangka menjaga eksistensinya sebagai ideologi nomor satu di dunia. Maka kebangkitan ideologi yang menjadi pesaing atau bahkan menghilangkan eksistensi kapitalisme akan dicegah oleh AS. Bersama dengan sekutunya, AS akan memerangi kekuatan politik Islam yang diyakini oleh mereka menjadi ancaman terbesar bagi kapitalisme.

Oleh karenanya, kemenangan Biden tidak akan membawa perubahan mendasar bagi politik luar negeri AS. Termasuk kebijakannya terhadap permasalahan Israel-Palestina. Sebab AS adalah negara yang mencerminkan kekuatan sistem dan ideologi bukan kekuatan personal. Jika pergantian pemimpin terus terjadi namun kapitalisme yang menjadi asasnya maka perubahan atau harapan baru untuk Palestina hanyalah angan-angan semata. Baik Trump, Biden dan presiden terpilih untuk periode selanjutnya tetap berpegang teguh pada asas kapitalisme, yakni sekularisme. Juga berpegang teguh pada turunan kapitalisme seperti demokrasi dan liberalisme.

Metode politik luar negeri negara demokrasi AS adalah penjajahan (imperialisme). Dunia Islam menjadi targetnya. Negeri-negeri muslim dipetakan dan dijajah dengan strategi stick and carrot. Sebagian negeri muslim ditundukkan dengan cara-cara kasar berupa serangan militer atau menciptakan konflik dengan sengaja di negeri tersebut. Sebagian lainnya diperlakukan dengan cara-cara lunak berupa serangan budaya barat dan jeratan ekonomi.

Imperialis AS menjajah Palestina dengan cara kasar. Memang bahwa Palestina konflik dengan Israel, namun eksistensi penjajah Yahudi Israel tidak terlepas dari peranan AS yang menjadikan Israel seperti anak emasnya. Bagi, AS menjaga eksistensi Israel dan mendukungnya terus berekspansi atas tanah Palestina yang diberkati adalah harga mati. Sebab pengaruh kelompok lobi pro-Israel yang sangat kuat dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri AS atas Palestina. Keberadaan Yahudi juga sangat penting bagi AS untuk menciptakan instabilitas permanen di Palestina khususnya dan di Timur Tengah umumnya. Tujuannya adalah menjaga kepentingan AS di wilayah tersebut dan menghambat kebangkitan ideologi pesaing yang selama ini ditakutinya, yakni Islam.

Biden memiliki sejarah dengan Israel sejak awal terjun ke politik. Pada Oktober 1973 Biden sebagai Senator Delaware mengunjungi Israel. Kunjungan tersebut menandai awal dari dukungan Biden yang tidak tergoyahkan untuk Israel. Menurut Biden “Jika tidak ada Israel, AS harus menciptakan Israel untuk melindungi kepentingannya di wilayah tersebut”. Biden pun mengaku dirinya Zionis dan sudah menghadiri banyak pertemuan kelompok lobi pro-Israel, seperti Komite Urusan Publik Israel Amerika (AIPAC) dan J Street (republika.co.id).

Terkait masalah Palestina-Israel Biden akan menggeser kebijakan Trump sebelumnya. Aneksasi Israel atas Tepi Barat akan ditangguhkan. Biden juga mendorong normalisasi regional guna membangun harmonisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab (bbc.com).

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu berkomentar tentang penangguhan aneksasi Tepi Barat dan normalisasi dengan negara-negara Arab. Menurutnya, pendudukan Tepi Barat tetap menjadi ambisinya walaupun sekarang ditangguhkan sebagai bagian dari kesepakatan normalisasi dengan UEA. Netanyahu setuju menunda aneksasi Tepi Barat tapi dia menyatakan rencana itu tetap ‘di atas meja’. Dia juga mengatakan ”tidak akan pernah menyerahkan hak kami atas tanah kami”.

Dari sini kita bisa membaca bahwa Biden tengah menggunakan ‘topeng’ yang sewaktu-waktu bisa dibuka. Kecondongan dan keberpihakannya tetaplah kepada Israel. Israel berada dalam posisi yang sangat diuntungkan. Aneksasi Tepi Barat hanya ditangguhkan/ ditunda. Israel hanya perlu sedikit bersabar hingga akhirnya wilayah Tepi Barat sukses dicaplok. Menangguhkan aneksasi juga bukan bencana bagi Israel. Justru ini membuka peluang memperbaiki dan menjalin hubungan kerjasama dengan negara-negara Arab. Kerjasama politik dan ekonomi dengan negara-negara Arab juga membawa keuntungan bagi Israel. Sehingga mutlak bahwa terpilihnya Biden tidak akan membawa perubahan signifikan terhadap nasib rakyat Palestina. Yang ada hanyalah permainan kebijakan yang berakhir keuntungan bagi anak emasnya, Israel.

Tidak layak bagi muslim mengharap dikasihani oleh imperialis AS. Pantang mengharapkan perubahan lewat tangan-tangan yang berlumuran darah kaum muslimin. Perubahan harusnya diperjuangkan. Hanya dengan Islam lah perubahan revolusioner itu dapat terwujud. Wallahua’lam bishshawwab.