Breaking News

Menimbang Urgensitas Sertifikasi Pra Nikah

Spread the love

Oleh: Ifa Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Muslimahtimes– Belum sebulan kabinet baru dilantik, ternyata kebijakan-kebijakan yang kontroversial terus ditelorkan. Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menggelontorkan program sertifikasi pra nikah. Beliau mengatakan pasangan yang belum lulus mengikuti bimbingan pranikah atau sertifikasi siap kawin tak boleh menikah. Muhadjir mengatakan, tujuan sertifikasi perkawinan agar para pasangan memiliki persiapan yang matang untuk membangun pernikahan.
Materi yang harus dikuasai antara lain adalah tentang kesehatan reproduksi, tujuannya agar pasangan yang menikah nanti memiliki keturunan yang sehat. Keturunan yang tidak membawa cacat bawaan atau mengalami gangguan pertumbuhan (stunting). Selain itu, Muhadjir menyebut pembekalan dalam sertifikasi perkawinan meliputi pengetahuan masalah ekonomi rumah tangga. Menurut beliau, perekonomian menjadi salah satu hal yang memicu masalah dalam rumah tangga, hingga menyebabkan kepada tingginya perceraian.
Muhadjir mengatakan, selama ini pembekalan pranikah yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di bawah Kemenag belumlah cukup. Menurut beliau, pembekalan harus lintas kementerian, tidak hanya soal pemahaman dan soal aspek-aspek keagamanan, tetapi juga kesehatan reproduksi dan juga ekonomi rumah tangga (Republika.co.id).

Meskipun belum jelas bagaimana bentuk dan jenis sertifikasi pernikahan ini, tetapi Pak Muhadjir mengatakan bahwa program ini akan dimulai pada tahun 2020.

Cukup menggelitik, sebab sertifikasi pranikah pastinya akan menjadikan pasangan di negeri ini semakin dipersulit untuk melaksanakan pernikahan. Setelah sebelumnya, ada revisi usia pernikahan oleh DPR bahwa batasan usia yang dibolehkan melakukan perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, usia 19 tahun. Hal ini pun berkebalikan dengan program yang dicetuskan oleh presiden berkenaan dengan himbauan untuk memudahkan peraturan dan sistem birokrasi. Namun di sisi lain, justru pernikahan yang merupakan hal fitrah dan menyangkut hajat orang banyak justru terus dipersulit.

Di beberapa kalangan mungkin menganggap tujuan sertifikasi pra nikah ini sangat baik, sebab ditujukan untuk membangaun keluarga yang sehat dan sejahtera, serta mencegah adanya kehancuran dalam rumah tangga. Namun, benarkah demikian? Mari kita cermati satu per satu.

Berkenaan dengan pengetahuan reproduksi, harusnya hal ini menjadi program yang terintegrasi dengan pelajaran agama. Sebab pengetahuan reproduksi tidak bisa didapatkan secara instan. Butuh pembelajaran yang bertahap berdasarkan usia dan tentunya dengan landasan keimanan. Kenapa harus dengan landasan keimanan? Sebab pengetahuan reproduksi yang dilepaskan dari agama justru memicu adanya seks bebas dan LGBT di kalangan remaja. Lebih jauh dari itu, adanya upaya aborsi dari janin hasil hubungan seks di luar nikah telah menyebabkan banyaknya bayi yang lahir dengan cacat bawaan atau meninggal sebelum dilahirkan. Meski tidak dipugkiri bahwa cacat bawaan juga disebebkan oleh faktor genetik, tapi pola hidup sehat saat kehamilan sangat berperan besar. Sedang orang yang hamil di luar pernikahan faktanya justru abai akibat adanya tekanan pikiran dikarenakan malu dan penolakan terhadap kehamilannya.

Sedangkan berkenaan dengan pengetahuan perekonomian keluarga termasuk permasalahan stunting sejatinya bukanlah permasalahn individu yang akan bisa terselesaikan dengan sekedar training dan sertifikasi. Namun, hal tersebut adalah permasalahan sistemik. Stunting contohnya, kebanyakan terjadi dikarenakan kondisi keluarga yang memang berada di bawah garis kemiskinan, hingga akhirnya hanya untuk sekedar makan saja mereka kesulitan. Jika untuk sekedar makan saja sulit, bagaimana mereka harus memenuhi standar gizi untuk bayi-bayi mereka yang notabennya membutuhkan makanan empat sehat lima sempurna. Padahal harga makanan tersebut sangat mungkin tidak bisa mereka jangkau.

Maka, yang lebih urgen lagi adalah bagaimana pemerintah berupaya untuk memastikan bahwa masing-masing individu dalam masayarakat bisa terpenuhi kebutuhan pokok mereka. Bukan sekedar menilai pendapatan perkapita seperti sistem kapitalisme saat ini. Sebab jika hanya dinilai dari pendapatan per kapita bisa dipastikan pemerintah akan “buta” adanya ketimpangan kekayaan yang terjadi di negeri ini. Dimana sebagaian besar prosentase kekayaan nyata hanya dikuasi oleh segelintir orang, sedangkan mayoritas penduduk negeri ini masih berada di bawah garis kemiskinan.

Oleh karena itu, patutlah dipertanyakan sebenarnya sertifikasi pra nikah ini ditujukan untuk kepentingan siapa? Apakah memang ini untuk kepentingan pasangan yang akan melakukan pernikahan, ataukah malah akan menjebak mereka di dalam banyak masalah. Justru yang patut dikhawatirkan adalah permasalahan yang lebih besar lagi terjadi jika sertifikasi pra nikah ini diberlakukan.

Permasalahan yang paling gampang dilihat antara lain adanya keengganan dari pasangan yang saling tertarik untuk melakukan pernikahan karena berbelitnya sistem yang ada. Mereka bahkan, dikhawatirkan akan lebih memilih untuk menjalani kehidupan bersama tanpa ikatan pernikahan. Sebagaimana hal ini cukup nge-trend di negara barat seperti amerika dan sebagian eropa. Na’udzubillahi min dzalik.

Bisa juga, kondisi yang berbalik. Dengan adanya sertifikasi pernikahan ini banyak pula pasangan yang tidak mau repot mendaftarkan pernikahan mereka di catatan sipil, namun cukup menikah sesuai dengan ajaran agama mereka (misal sesuai syariat Islam). Namun, tetap saja akan ada korban di sana. Korbannya adalah antara lain anak-anak hasil pernikahan ini yang mereka akhirnya akan dipersulit untuk mengurus akte, mendapatkan fasilitas pendidikan ataupun kesehatan. Semakin banyak masalah. Ironis!

Oleh karena itu, semoga ada pencermatan lebih jauh digodognya program ini. Sangat mengkhawatirkan jika program ini justru ditunggangi mereka yang berkepentingan. Sebab justru akan merusak tatanan kehidupan masyarakat di negeri ini. Di sisi lain, ada permasalah yang lebih urgen lagi yang butuh solusi cepat dan tepat yakni seks bebas dan LGBT. Dua virus ini telah nyata sudah menginfeksi generasi negeri ini bahkan terus menularkan perilaku dan bahayanya. Namun, seolah hal ini terus dibiarkan atas nama hak asasi manusia.

Oleh karena itu, membangun keluarga yang sehat dan sejahtera tidak tiba-tiba akan terbentuk dengan adanya sertifikasi pernikahan. Tetapi butuh adanya penguatan yang kokoh berkenaan dengan keyakinan dan keimanan, terkhusus untuk keluarga Muslim. Penguatan akidah (keimanan) ini haruslah diproses sedari kecil sebab tidak bisa dibentuk secara instan. Butuh adanya pembentukan proses berpikir dan pengenalal dalil dari Alquran dan Al-Hadist terhadap anak sedari kecil. Pendidikan ini dilakukan oleh keluarga dan oleh pendidikan di sekolah. Pendidikan yang berlandaskan akidah ini pula yang akan memberikan keberhasilan pendidikan reproduksi. Karena dengan keimanan, mereka tidak akan hanya menghindari LGBT dan seks bebas karena khawatir terkana infeksi menular seksual, namun lebih dari itu karena takut melanggar apa yang telah dilarang Allah SWT. Hal ini lah yang akan menjadi modal pembentukan keluarga sehat.

Selain itu, pasangan yang bertakwa akan memiliki pandangan bahwa anak adalah amanah maka akan senantiasa berusaha memberikan asupan makanan yang bergizi dan halal untuk anak-anak mereka. Seorang wanita ataupun laki-laki juga akan memiliki pandangan yang benar tentang tugas dan fungsi mereka. Seorang perempuan memahami bahwa tugas utama mereka adalah sebagai ibu dan pendidik utama anak-anak mereka. Seorang ibu akan berusaha memberikan ASI ekslusif dan makanan pendamping ASI yang sehat dan bergizi. Sedang seorang laki-laki adalah sebagai ayah yang berkewajiban memberikan nafkah untuk keluarga mereka. Dengan demikian, keluarga akan memiliki konsep ekonomi keluarga yang benar sehingga mereka pun terjauhkan dari sebuah keretakan.

Namun, memang hal tersebut butuh usaha yang cukup besar untuk bisa mewujudkan di sistem kapitalis-sekular saat ini. Sebab, saat ini untuk mencari pekerjaan untuk seorang ayah cukup susah. Pasar lebih menyukai tenaga perempuan karena tenaganya bisa dibayar murah. Efeknya banyak anak dan rumah yang tidak terurus sehingga tak sedikit yang berakhir kepada perceraian. Hal ini pula yang menyebabkan anak-anak mengalami stunting dan penyakit yang membahayakan. Semua bersumber dari adanya ketimpangan ekonomi akibat sistem kapitalisme yang diterapkan.

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim kita harus mewaspadai setiap program yang seolah cantik tetapi ternyata justru memberikan banyak permasalahan bahkan melanggengkan kerusakan. Kepada pemerintah yang memegang amanah, semoga juga bisa memberikan solusi yang terbaik untuk setiap problematika yang ada di dalam masyarakat. Lebih dari itu, solusi yang sesuai untuk setiap permasalahan manusia adalah ketika solusi tersebut bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari pemikiran manusia yang serba terbatas.

Maka solusi tuntas untuk membangun keluarga yang sehat dan sejahtera adalah dengan menerapkan Islam secara totalitas di seluruh aspek kehidupan. Syariat Islam lah yang akan memberikan jaminan kesejahteraan dan keberkahan di dunia ataupun di akhirat. Sebagaiman firman Allah SWT, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S. Al-A’raf 96).
Wallahu A’lam Bi Showab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.