Breaking News

Menjawab Referendum Papua

Spread the love

Oleh :Shela Rahmadhani

(Penulis Artikel dan Pemerhati Dinamika Masyarakat)

 

#MuslimahTimes — Tuntutan referendum Papua menggema, utamanya pada demo mahasiswa Papua di Jakarta dengan tema ‘Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Mengakhiri Rasisme dan Penjajahan di West Papua’ (m.cnnindonesia.com, Kamis, 22/08/2019).

Tuntutan tersebut kemudian direspon oleh pemerintahan Indonesia, bahwa referendum Papua tidak dapat dilakukan. Alasannya, berdasarkan peraturan internasional, Papua tidak memiliki hak untuk melakukan referendum, karena referendum hanya untuk wilayah yang belum merdeka (m.liputan6.com, 03/09/2019). Sedangkan Papua sudah jelas tercatat sebagai bagian integral daripada Indonesia di Internasional.

Berbagai sumber mengemukakan bahwa masalah Papua adalah masalah multidimensi. Mulai dari masalah ketidakadilan, kebodohan, rasisme, hingga campur tangan asing. Ketidakadilan yang dialami oleh papua menjadi pendorong kuat untuk menuntut otonomi (merdeka). Walaupun pembangunan di Papua mulai digalakkan, namun tingkat kemakmurannya masih rendah, sebagaimana anggota VI BPK, Harry Azhar Azis mengatakan dalam konsinyering Penyusunan Hasil Pemeriksaan atas Implementais Dana Otonomi Khusus (otsus) di Provinsi Papua dan Papua Barat ( bpk.go.id, 25/07/2019). Berdasarkan Badan Pusat Statistik pada Maret 2019 angka kemiskinan Provinsi Papua 27,53 %. Sejumlah dana yang digelontorkan untuk membangun Papua agar mencapai kemakmuran hidup tidak jarang banyak terpakai untuk sesuatu yang tidak efektif dan efisiensi dikalangan pemangku kekuasaan.

Demikian pula mutu pendidikan yang sangat rendah turut menjadi perkara. Data dari United Children’s Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswaSMP memilih untuk putus sekolah (beritasatu.com, Selasa 18 Oktober 2016).

Asumsi bahw aIndonesia adalah penjajah juga menjadi faktor pendukung tindakan separatis, sehingga menimbulkan rasa kebencian. Narasi provokatif bahwa Papua dijajah oleh NKRI terus dikembangkan sebagaimana penuturan Kapendam XVII/Cendrawasih Letkol Inf Muhammad Aidi (m.detik.com, Kamis, 17 Agustus 2017). Akhirnya tidakjarang sejumlah pekerja jalan menjadi korban pembunuhan seperti yang terjadipada 31 pekerja jalan Trans Papua di Nduga Papua  (m.tribunnews.com, Selasa, 4/12/2018), karena berasumsi bahwa tanah mereka akan  dicaplok dengan adanya pembangunan tersebut.

Namun, referendum Papua juga tentu tidak lepas dari campur tangan asing untuk tujuan pecah belah. Keterlibatan asing tersebut bahkan diakui oleh mantan wakil presiden Indonesia yakni Jusuf Kala ketika ditanya perihal tersebut. Dimana Jusuf menjawab “asing mungkin iya. Bukan negara. Bedakan asing dan  negara”, ujar Jusuf. Jusuf menyebut salah satunya adalah keberadaan empat warga negara Australia yang dideportasi lantaran mengikuti unjuk rasa orang asli Papua (OAP) menuntut kemerdekaan Papua di depan Kantor Wali Kota Sorong beberapa waktu lalu.

Selain itu, aktivis Benny Wenda diduga terlibat dalam sejumlah kerusuhan di Papua dan Papua Barat  yang mendapatkan suaka politik dari  sejumlah LSM Eropa dan pindah ke Inggris tahun 2003. Benny terus melakukan langkah-langkah untuk mendorong kemerdekaan Papua meski tinggal di benua berbeda (m.cnnindonesia.com, Rabu, 04/09/2019, 10.03). Sementara kepala staf kepresidenan Moeldoko menyatakan kondisi Papua yang semakin panas tak terlepas dari kegusaran poros politik dan bersenjata (m.cnnindonesia, Rabu, 04/09/2019, 15.47). Sebuah hal wajar campur tangan terjadi mengingat Papua adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Adanya otonom Papua akan menjadikan bangsa tersebut lebih mudah dikendalikan dan dikeruk kekayaannya oleh penjajah.

Strategi pecah belah dan separatis telah dilakukan Eropa dahulu di dalam sejarah Ustmaniyah terhadap bangsa Armenia, sebagaimana Papua. Gesekan dan provokasi terus dilakukan antara pemerintahan Ustmaniyah yang beretnis Kurdi dengan otonom Armenia. Dibentuklah dua masyarakat nasionalis Armenia yakni Hunchak dan Dashnak. Hunchak adalah sekelompok mahasiswa Armenia di Swiss dan Prancis. Dashnak adalah sekelompok aktivis Armenia di kekaisaran Rusia. Melihat keberadaan berdirinya Hunchak dan Dashnak maka gerakan ini tidak lepas dari campur tangan penjajah sekuler kapitalis Prancis dan Rusiaketika itu. Bahkan Eugene Rogan  dalam buku The Fall of The Khilafah mengatakan bangsa Armenia takkan pernah berharap untuk mencapai status negara kecuali tentu saja jika mereka mendapatkan dukungan dari sebuah negara besar untuk mencapai tujuannya (Rogan, Eugene, 2018).

Hingga pada 17 Oktober, dikeluarkan dekrit yang menjanjikan referendum di enam provinsi Anatolia Timur yang dihuni masyarakat Armenia : Erzurum, Van, Bitlis, Diyarbakir, Harput, dan Sivas. Gejolak Armenia menjadi faktor dalam negeri yang melemahkan Ustmaniyah, hingga pada akhirnya Ustmaniyah runtuh akibat dari akumulasi faktor.

Berkaca dari runtuhnya Ustamaniyah maka upaya referendum Papua harus dijawab dengan mewujudkan kesatuan dengan sistem yang berkeadilan. Papua tidak boleh lepas dari negara Indonesia, namun keadilan terhadap Papua wajib ditegakkan tanpa ada diskriminasi. Adil akan terwujud tatkala  Islam diterapkan secara menyeluruh dalam aspek kehidupan. Dalam Islam tidak ada diskriminasi rasial dan diskriminasi spasial. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang dijamin syariat. Sistem Islam tidak membedakan ras, suku, dan bangsa dalam melayani kebutuhan publik sehingga tidak terlintas upaya separatis.

Pencerdasan dilakukan secara merata, sehingga penduduk tidak terprovokasi dan dieksploitasi. Dengan sistem Islam yang adil itulah peradaban Islam tegak selama 13 abad. Hanya saja, melemahnya pemahaman Islam di tengah-tengah umat yang menjadikan Ustmani pada akhirnya masuk pada pusaran konflik yang tidak berujung, tindakan separatis dimana-mana, hingga peradaban itu runtuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published.