Breaking News

Menundukkan Naluri Sesuai Perintah Illahi

Spread the love

Oleh: Intan H.A
(Aktivis Remaja Tangerang)

Muslimahtimes – “Terimakasih, ya. Maaf, baru sempat ngembaliin hari ini. Soalnya kemarin-kemarin sibuk dengan pekerjaan, jadi baru sempat sekarang nganterinnya,” ujar sesosok wanita tanggung, sembari menyodorkan bingkisan kecil ke arah Gina (nama samaran).

Gina, si gadis mungil berparas cantik dan berkulit putih itupun langsung menyambut bingkisan dari sahabat kecilnya itu. Ia pun menyunggingkan senyuman dan wajah berbinar-binar, tatkala memandang sebuah bingkisan yang dibalut plastik berwarna merah muda.

Selepas menyerahkan bingkisan tersebut, wanita muda itu bergegas pamit dari hadapan sahabatnya. Tak menunggu waktu lama, tangan lincah Gina langsung menyambar benda kecil di dalam kantongan kresek itu. Alangkah terkejutnya, ketika ia dapati benda kesayangannya kembali dalam kondisi tidak membaik. Ia pun membatin, “Astaghfirullah, kok malah hancur begini?” gumamnya dalam hati. Tersebab rasa geram telah membelenggu benaknya. Ia pun bersumpah untuk tidak lagi memberikan pinjaman apapun pada sahabatnya itu.

Sepenggal kisah di atas mungkin pernah juga kita alami. Dimana saat kita memiliki niat baik pada seseorang, entah itu ingin meringankan bebannya, atau mau memberikan pinjaman baik materi atau non materi pada teman kita. Namun sebaliknya, terkadang kita malah mendapatkan perlakuan yang kurang berkenan yang mampir menyapa kebaikan yang telah kita lakukan.

Rasa marah, kecewa, sedih, senang, bahagia, dan lain sebagainya, adalah sifat naluri yang dimiliki manusia. Allah menganugerahi sifat yang demikian disertai dengan panduan bagaimana menyalurkannya. Dikarenakan, ketika manusia tidak mampu mengendalikan naluri yang dimilikinya, maka akan menimbulkan persoalan baru dikemudian hari.

Islam sebagai agama sekaligus ideologi, memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana mengontrol dan menyalurkan potensi yang ada pada manusia ini agar terarah sebagaimana mestinya.

Ada beberapa panduan yang bisa kita lakukan, ketika rasa geram mulai mencuat di dalam dada. Pertama, kita bisa mengingat akan pesan dari Rasulullah. Dalam riwayat Abu Darda ra disebutkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku sebuah amal perbuatan yang dapat memasukkanku ke surga.” Dengan singkat beliau berkata, “Jangan marah, engkau pasti masuk surga.”
Ketika kita mengingat-ingat kembali akan pesan ini, setidaknya mampu meredam amarah agar tidak melampaui batas.

Kedua, perbanyaklah beristighfar dan ambillah air wudhu. Sebab, sifat marah itu datangnya dari setan, dan setan diciptakan oleh Allah dari api. Sehingga, untuk memadamkannya kita membutuhkan air, yakni dengan cara berwudhu untuk memadamkannya agar tidak semakin berkobar dan membinasakan diri kita sendiri.

Ketiga, luruskan niat karena Allah. Mengingat kembali bahwa kebaikan yang kita lakukan dalam rangka mengharap ridho dan pahala dari Allah Swt.

Keempat, mencontoh sifat Rasulullah dalam menyalurkan amarah. Rasulullah sebagai seorang yang mulia nan agung, tidaklah beliau sekali-kali marah kecuali ketika agamanya dihinakan. Di saat itulah beliau menampakkan raut wajah kemerahan, menandakan kegeraman beliau terhadap seseorang atau perbuatan yang dilakukannya. Para sahabat memahami betul akan sikap beliau ini. Sehingga siapapun yang berani mengolok-olok agama dan rabb-Nya, maka ia akan berhadapan langsung dengan murkanya Rasulullah.

Inilah penyaluran sifat marah yang dicontohkan Rasulullah. Marah dan bencinya didasari hanya karena Allah. Beliau akan marah, manakala ada seseorang melanggar syari’atnya, dan ia akan mencintainya, manakala umatnya taat pada Rabb-Nya.

Beginilah aturan penyaluran emosi yang diajarkan di dalam Islam. Dimana Islam memandang bahwa naluri berupa sifat emosional yang ada dalam diri manusia tidaklah dapat dihilangkan. Namun, ia bisa dialihkan dan disalurkan sebagaimana mestinya. Allah Swt memahami betul bahwa manusia memiliki sifat lemah dan terbatas. Oleh sebab itu, Allah memberikan tuntunannya berupa Al-Qur’an dan mengutus RasulNya sebagai teladan bagi umatnya yang mau mengambil pelajaran darinya.

Di samping itu, kita pun perlu untuk mengintrospeksi diri. Mungkin kita pernah melakukan suatu tindakan yang pada akhirnya mengecewakan seseorang. Dengan demikian, kita pun mampu untuk mengadakan perbaikan atas tindakan kita pribadi. Karena, ketika kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain, maka kita lah terlebih dahulu yang harus memperlakukan orang lain dengan baik.

Selain itu, perlu juga kita pahami bahwa ketika seseorang berlaku baik atau telah menaruh kepercayaannya kepada kita. Maka, kita pun harus menjaganya dengan semampu mungkin. Jangan sampai persahabatan yang terjalin sedemikian lamanya rusak hanya “karena nila setitik rusak susu sebelanga.”[]
Wallahu’alam

Leave a Reply

Your email address will not be published.