Breaking News

Misteri Proyek Pemerintah di Desa Siluman

Spread the love

Oleh: Rahma Syahidah

Muslimahtimes– Fenomena ‘desa hantu’ pertama kali diungkapkan Sri Mulyani Indrawati saat melaporkan evaluasi kinerja APBN Tahun Anggaran 2019 di ruang rapat Komisi XI DPR RI. Dia menyebut ada desa baru karena dana desa. Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar membantah adanya ‘desa hantu’. Dia pun bingung dengan adanya kabar desa fiktif yang menyedot anggaran dana desa.

Menkeu menemukan adanya dugaan aliran dana desa ke desa fiktif/desa hantu. Mendes menolak anggapan adanya kesengajaan menciptakan desa fiktif tersebut karena menganggap hanya ada bbrp kekeliruan akibat kurangnya akurasi data lapangan. Misal, data beberapa desa yg sudah tidak ada lagi wujudnya akibat bencana lumpur Lapindo Jatim dan sejenisnya.

Sebenarnya kucuran dana di setiap ada proyek besar pemerintah atau aliran aliran dana besar (seperti dana desa ini) adalah lahan bagi lingkar kekuasaan untuk menciptakan peluang menyedot sebagian anggaran negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Tak dapat dipungkiri, tindak penyelewengan dana desa di Indonesia termasuk di Sidoarjo merupakan penyakit kronis yang tak kunjung terobati. Meskipun berbagai upaya pemberantasannya sudah dilakukan, namun pada faktanya kasus ini malah semakin menggurita.

Proyek infrastruktur baik yang ada di pusat hingga daerah kerap kali menjadi lahan “basah” bagi para koruptor. Padahal, sudah jelas korupsi disektor infrastruktur tentu saja akan menimbulkan berbagai kerugian. Korupsi bukan hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi dalam praktiknya juga akan membuat masyarakat menderita. Bagaimana tidak, modus yang kerap dilakukan dalam korupsi infrastruktur yakni dengan mengurangi spesifikasi bahan dan bangunan. Sehingga tak heran, hal tersebut akan berdampak pada buruknya kualitas jalan, lamanya waktu pengerjaan, hingga bangunan yang terancam mangkrak. Atau bahkan memanipulsi data seperti kasus proyek desa siluman.

Demikianlah kerusakan yang diakibatkan oleh tindak penggelapan dana infrastruktur desa. Sejatinya, penyebab korupsi berpangkal dari penerapan Demokrasi yang merupakan buah dari sistem Kapitalis Sekuler. Sistem ini tidak peduli baik buruk, apalagi halal haram.

Masalah ini bukan masalah teknis yang bisa diatasi dengan perbaikan/akurasi data dan verifikasi penyalurannya. Namun permasalahannya adalah karakter kuat yang melekat pada birokrasi tanpa ruh takwa.

Dalam sistem Islam, korupsi termasuk tindakan khianat dan pelakunya disebut khaa’in. Termasuk dalam hal ini penggelapan uang yang diamanahkan kepada seseorang. Adapun untuk mencegah tindak korupsi maka Islam memiliki sistem pengawasan yang bagus. Pertama, pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok dan ketiga, pengawasan oleh negara.

Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini, tentu peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil. Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam akan berdampak pada bergairahnya aktivitas amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.

Selain itu, Islam juga memberlakukan seperangkat hukuman pidana yang keras. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan mencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.

Ditambah lagi, Islam pun sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud).

Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.

Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam akan melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.

Sedangkan upaya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).

Inilah cara Islam mengatasi gurita korupsi. Cara seperti ini patut diyakini akan mampu memberantas korupsi secara tuntas. Maka dari itu, penerapan Islam Kaffah demi kemashlahatan kaum muslim haruslah disegerakan. Sedangkan sistem Demokrasi yang menyuburkan korupsi hingga menimbulkan berbagai kerusakan harus segera ditinggalkan. Wallahu a’lam bish shawab

Leave a Reply

Your email address will not be published.