Breaking News

Negara ‘tanpa’ Pemimpin

Spread the love

Oleh : Tri Cahya Arisnawati

(Ibu rumah tangga, penulis dan pemerhati umat)

 

#MuslimahTimes — Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Pemimpin atau Imam adalah pengurus dan pelindung bagi rakyat. Pengurus berarti Ia berkewajiban mengurus segala kebutuhan primer rakyatnya mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan serta memudahkan rakyatnya untuk memenuhi kebutuhan sekunder guna menunjang kebutuhan primernya. Pelindung berarti Pemimpin atau Imam harus menjadi garda terdepan dalam melindungi rakyatnya dari hal-hal yang dapat mengancam aqidah, nyawa, harta dan kehormatan rakyatnya. Baik ancaman tersebut datangnya dari dalam maupun dari luar negeri. Seorang Pemimpin juga diharamkan menyulitkan apalagi menzalimi rakyatnya termasuk dalam menentukan suatu kebijakan. Sesungguhnya pemimpin adalah pelayan dan rakyat adalah tuannya, jadi sebagai seorang pelayan (pemimpin) harus melayani tuannya dengan sebaik-baiknya dan sigap jika sewaktu-waktu tuannya (rakyat) memanggil karena membutuhkan bantuannya.

Namun, apa jadinya jika hal itu justru berkebalikan dari hal yang seharusnya?

Pemimpin yang melalaikan amanahnya dan justru menzalimi rakyatnya, bahkan tega membahayakan aqidah, keselamatan nyawa, harta dan kehormatan rakyatnya. Dia tidak amanah dan tidak berhati-hati dalam mengemban tugasnya. Segala kebijakannya cenderung menzalimi rakyatnya. Selain itu, pemimpin yang seharusnya melindungi dan membuat rasa aman rakyatnya justru malah mengancam keamanan dan keselamatan rakyatnya hingga rakyat merasa takut dan was-was terhadap pemimpinnya. Rakyat pun hidup di bawah bayang-bayang ketakutan.

Dilansir dari kompas.com, awal tahun ini tepatnya 1 Januari 2020 pemerintah menaikkan tarif BPJS. Atas usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani kenaikan iuran sebesar dua kali lipat. Artinya peserta JKN kelas 1 yang tadinya harus membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000. Kemudian peserta JKN kelas 2 membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000. Sebenarnya pemerintah juga mengusulkan kenaikan peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanan menjadi Rp 42.000 per bulan. Dalam pemaparan pemerintah iuran BPJS kesehatan saat ini masih underpriced  atau di bawah perhitungan aktuaria, hal itulah yang menjadi salah satu akar masalah defisit berkepanjangan BPJS kesehatan yang ditemukan dalam audit BPKP terhadap JKN. Dirut BPJS kesehatan Fachmi Idris menyebut bila iuran tidak dinaikkan, defisit BPJS kesehatan akan tembus Rp 77,9 triliun pada 2024.

Fakta di atas merupakan salah satu kebijakan zalim yang dirasa sangat mencekik rakyat, bagaikan bom waktu, kebijakan zalim lainnya tak menutup kemungkinan akan meledak. Tak hanya mencekik rakyat dengan kebijakan zalimnya, penguasa saat ini secara perlahan-lahan menunjukkan wajah aslinya. Penampilan sederhana dan selalu menebar senyum kepada siapa saja hingga tutur katanya yang lembut ternyata itu semua hanyalah bungkus untuk menutupi kediktatorannya.

Dilansir dari CNN Indonesia, Direktur Eksekutif LSI (Lembaga Survei Indonesia) Djayadi Hanan mengatakan memburuknya kebebasan sipil seiring penurunan sejumlah indikator demokrasi. Djayadi merujuk survei SMRC pada bulan Mei-Juni 2019, dalam menyampaikan pendapat misalnya dia berkata 43 persen responden mengaku takut, persentase itu meningkat signifikan jika dibandingkan tahun 2014 yang hanya sebesar 24 persen. Selain itu, dia menyampaikan 38 persen responden atau meningkat 14 persen merasa takut dengan penangkapan semena-mena oleh aparat di era Jokowi. Sementara itu, responden yang menyatakan bahwa sekarang warga takut berorganisasi juga naik, dari 10 persen pada tahun 2014 menjadi 21 persen. Lebih lanjut, Djayadi menyebut ketidakbebasan beragama mengalami peningkatan yakni 7 persen pada tahun 2014 menjadi 13 persen pada tahun 2019.

Tak hanya zalim dan membuat rakyatnya hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, rezim saat ini juga kerap mengkriminalisasikan para ulama yang menjadi corong umat dalam mencari kebenaran islam, rezim mengkriminalisasi ulama yang dianggap berseberangan dengan pemerintah karena ulama-ulama tersebut dianggap tidak berkontribusi dalam pembangunan negara, sebaliknya para ulama tersebut justru dianggap menghambat jalannya pemerintahan. Sebut saja Habib Rizieq Shihab yang hingga saat ini masih dicekal kembali ke Indonesia oleh pemerintah karena dia senantiasa vokal mengkritik kebijakan zalim pemerintah, ada pula Gus Nur yang divonis 1,5 tahun penjara karena kasus pencemaran nama baik melalui video dengan judul ‘Generasi muda NU penjilat’, ada ustad Felix Siauw yang kerap dibubarkan pengajiannya oleh Banser karena dianggap menyebarkan paham radikal, Ustad Bachtiar Nashir, Ustad Abdul Somad dan masih banyak lagi para ulama dan ustad-ustad yang menjadi korban kesewenang-wenangan rezim, hanya karena satu hal yaitu mereka senantiasa mengkoreksi kebijakan penguasa yang cenderung menzalimi rakyat.

Itulah cara untuk membungkam orang-orang yang tak sejalan dengan penguasa, tak ada rasa segan dan kompromi, siapapun yang menghalangi rezim maka akan dibalas dengan kriminalisasi. Jika para ulama dan ustad yang senantiasa mukhlis menyuarakan kebenaran dibungkam maka kemana lagi rakyat akan mencari kebenaran, tinggalah para ulama suu’ yang sengaja dihadirkan penguasa, ulama suu’ tersebut rela menjual agamanya demi kepentingan alhasil mereka mati-matian membela dan melindungi penguasa yang telah membeli agama mereka dengan kenikmatan duniawi. Sungguh rakyat saat ini terombang ambing dan hidup dalam kerancuan, apakah mereka berada dalam kebenaran atau kebathilan. Negara yang seharusnya membimbing mereka justru malah menyesatkan rakyatnya, rakyat malah sengaja disodorkan dengan berbagai kebohongan dan fitnah. Sehingga rakyat sulit membedakan antara kebenaran dan kebathilan.

 

Lalu, apakah jargon demokrasi-kapitalisme dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat masih berlaku?

Ya, masih berlaku namun bukan untuk rakyat yang sebenarnya. Jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah sebuah susunan kalimat tanpa aktualisasi yang jelas. Karena pada kenyataannya selama ini penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan justru cenderung tidak memihak pada rakyat. Rezim telah berselingkuh dengan rakyat lain, rakyat yang selama ini mengakomodir segala jalannya infrastruktur hingga jalannya pemilu, rakyat yang memiliki modal besar hingga bisa membayar penguasa untuk membuat UU liberalisasi SDA, rakyat yang selama ini mengendalikan jalannya roda pemerintahan. Namun, rakyat tersebut selalu berada di balik layar, rakyat lain itu biasa disebut dengan para kapitalis. Jadi jelas para kapitalis bukan rakyat sesungguhnya, rakyat yang selama ini hanya suaranya yang dibutuhkan penguasa jika masa kampanye tiba, jika masa kampanye dan pemilu berakhir, rakyat begitu saja dicampakkan oleh penguasa. Jika sudah ditampuk kekuasaan, penguasa lupa dengan janji yang pernah mereka ucapkan pada rakyatnya.

Walhasil, saat ini rakyat bagaikan hidup di negara tanpa pemimpin. Secara zhahir, memang pemimpin tersebut ada di tengah-tengah rakyat, namun secara periayahan bagaikan tak ada pemimpin yang menjalankan amanahnya untuk mengurus rakyat. Penguasa telah dibutakan dengan jabatan dan kekuasaan, ia rela menggadaikan kesejahteraan rakyatnya dengan kekuasaan. Ia telah menghabiskan dedikasi dan kinerjanya untuk melayani rakyat lain yang selama ini telah membiayainya hingga sampai pada puncak kekuasaan. Wajar saja, bila segala kebijakannya cenderung memihak dan mensejahterakan para pemilik modal (kapitalis).

 

Pemimpin ideal hanya ada dalam sistem Khilafah

Siapapun pasti menginginkan hidup yang damai, aman, sejahtera dan penuh dengan  ketenangan, itu merupakan fitrah bagi setiap manusia. Tak bisa dipungkiri, pada faktanya justru itu semua berlawanan dengan keadaan yang ada di sistem kapitalisme saat ini. Rakyat hidup di bawah bayang-bayang rasa ketakutan, kejahatan seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan kerap menghantui rakyat, apalagi saat ini menyuarakan kebenaran dan mengkritik kezaliman penguasa kerap dituding sebagai ujaran kebencian dan pemecah belah NKRI, dan pelakunya tak segan-segan akan dimasukkan ke dalam jeruji besi oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, saat ini kehidupan rakyat jauh sekali dari kata sejahtera, gizi buruk masih menghantui anak-anak di beberapa wilayah di Indonesia, mahalnya biaya kesehatan ditambah dengan naiknya tarif BPJS, naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL), harga bahan pokok yang semakin merangkak naik, kapitalisasi di sektor pendidikan sehingga menyebabkan mahalnya biaya pendidikan hal itu diperparah dengan dikuranginya jam mata pelajaran agama dan yang belum lama ini kebijakan pemerintah menghapus materi jihad dan khilafah dari kurikulum sekolah. liberalisasi SDA sehingga dengan mudahnya pihak swasta ataupun asing menguasai dan mengeksploitasi SDA yang sangat merusak udara dan ekosistem sekitarnya.

Rakyat seharusnya menjadi prioritas penguasa, hal-hal yang disebutkan di atas seharusnya menjadi hak rakyat untuk dipenuhi. Jangan sampai rakyat kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, dan seharusnya rakyat juga jangan sampai mengemis kepada penguasa meminta agar kebutuhan mereka dipenuhi.

Berbeda dalam sistem kapitalisme, dalam sistem khilafah kepemimpinan bukanlah suatu jabatan yang harus dibayar dengan materi. Dalam islam kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang sangat berat bahkan bisa menghantarkan pada neraka bila dalam pelaksanaannya terdapat ketidakadilan dan kezaliman. Dalam islam, rakyat adalah tanggung jawab pemimpin untuk diriayah segala kebutuhannya. Akad antara pemimpin dan rakyat dalam islam bukanlah akad ijaroh (jual beli) layaknya dalam sistem kapitalisme, melainkan akad antara  penguasa kepada Allah bahwa penguasa berjanji untuk bersungguh-sungguh mengemban tugasnya karena Allah, jika terdapat kelalaian dalam mengurus rakyatnya maka bayarannya adalah neraka. Sungguh bukanlah perkara mudah apalagi menyenangkan dalam mengemban suatu kepemimpinan sehingga dibutuhkan kesadaran dan sikap tanggung jawab bahwa segala sesuatunya termasuk kepemimpinan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّار

“Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad)

Wallahu ‘alam bishowab

Leave a Reply

Your email address will not be published.