Breaking News

Paradoks Aset First Travel dan Bandar Narkoba Murtala

Spread the love

Oleh : Shita Ummu Bisyarah

 

#MuslimahTimes — Jamaah First Travel dibuat angkat bicara dengan adanya kabar dikembalikannya aset bandar narkoba bernama Murtala sebesar 142 M. Mereka merasa putusan hukum ini sangat tidak adil bagi mereka karena uang First Travel adalah uang jamaah yang notabennya banyak dari kalangan menengah kebawah.

“Saya rasa masyarakat warga negara tahu bagaimana peliknya cari keadilan. Saya nggak usah jawab selaku korban First Travel karena susahnya cari pengadilan,” kata salah satu jemaah First Travel Arif Hirzaki, di PN Depok, Jalan Boulevard, Pancoran Mas, Depok, Senin (2/12/2019)

Arif merasa sulit mencari keadilan di Indonesia. Dia mengaku tidak heran terhadap putusan hukum terhadap mafia narkoba itu. Sementara itu, salah satu penggugat First Travel, Faizah, meminta pemerintah segera melakukan upaya pengembalian aset kepada jemaah. Dia berharap pemerintah mengerti latar belakang jemaah yang ditipu oleh bos FT Andika Surachman cs.

“Kami kepingin seperti itu dikembalikan atau diberangkatkan. Apalagi itu narkoba. Ini kan untuk ibadah. Harusnya mereka mikir, ini tuh di sini banyak nenek-nenek, perempuan, tukang nasi uduk, tukang nasi ulam, tukang gorengan. Itu saja narkoba bisa,” kata Faizah

Kasus Bandar Narkoba Murtala ini jelas memperlihatkan anomali hukum di Indonesia yang tajam ke bawah namun tumpul keatas. Diringkas dari detik.com awalnya pada 24 Juli 2017, jaksa menuntut Murtala dijatuhi dengan UU Pencucian Uang dan dijatuhi 20 tahun penjara serta aset sebesar Rp 144 miliar dirampas untuk negara. Namun hukuman itu disunat lima bulan setelahnya. Pengadilan Tinggi Aceh memangkas vonis Murtala menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Selain itu, seluruh aset milik Murtala sebesar Rp 142 miliar dikembalikan untuk Murtala.

Jelas secara logika ini menunjukkan ketidakadilan hukum. Bukan rahasia umum bahwa hukum di Indonesia sangat syarat dengan suap dan kepentingan pribadi. Tak hanya kasus ini yang menjadi contoh, sebut saja kasus seorang buruh tani berusia 19 tahun bernama Aspuri harus mendekam 5 tahun 3 bulan di penjara karena memungut sebuah kaus lusuh di pagar rumah tetangganya padahal pembantu rumah tersebut sudah bilang bahwa kaus itu memang sengaja dibuang. Kasus lain yang cukup viral Nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang kayu jati milik Perum Perhutani dan dijatuhi penjara selama 5 tahun.

Keadilan “hukum” bagi kebanyakan masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa Downward law is greater than upward.

Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas “atas” atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).

Mengapa hal ini terjadi? Tidak lain adalah karena sistem. Indonesia menganut sistem kapitalisme dimana asas dari sistem ini adalah sekulerisme. Sekulerisme berarti memisahkan antara agama dengan kehidupan. Dengan kata lain Allah tidak berhak ikut campur urusan manusia, sehingga yang membuat hukum ya manusia itu sendiri. Karena manusia memiliki pemikiran dan kepentingan yang berbeda – beda, maka jelas ketika dia disuruh membuat hukum dan aturan pastilah cenderung kepada kepentingan seseorang, yang kita tahu disini adalah para pemilik modal. Dia mudah saja membayar pembuat hukum untuk mengubah atau meringankan hukumannya dengan memberinya jabatan atau beberapa rupiah. Begitulah mengapa hukum di negeri ini sangat tajam kebawah dan tumpul keatas, karena ini semua memang tersistemik.

Lalu bagaimana solusi untuk mengakhiri ini semua? Lain tidak lain yakni dengan mengganti sistem kapitalisme yang telah terbukti membuat kerusakan dimana – mana ini. Tak hanya masalah hukum, kemiskinan, gizi buruk, narkoba, pengangguran, seks bebas dll juga dampak dari diterapkannya sistem ini. Maka sudah selayaknya siatem buatan akal manusia ini diganti dengan sistem buatan sang pencipta yakni Islam, yang telah terbukti memuliakan peradaban manusia selama 14 abad lamanya.

Islam telah terbukti menerapkan hukum secara adil, tidak memandang dia seorang pejabat atau bukan, kaya atau miskin.

Sebagaimana hadits Rosulullah SAW : “Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Inilah keadilan hakiki, tidak seperti sekarang dimana hukum hanya tajam kepada orang tak punya tapi tumpul kepada orang berada. Wallahualambissawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.