Breaking News

Paradoks Jelang Lebaran di Negeri +62

Spread the love

Oleh: Rahmiani. Tiflen, Skep
(Praktisi Kesehatan & Pegiat Literasi)

Muslimahtimes– Ramadan tinggal beberapa hari lagi, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada sebuah rutinitas yang sepanjang tahun menjadi tren di kalangan masyarakat kita. Biasanya menjelang Lebaran, orang-orang akan berbondong-bondong menyiapkan segala sesuatu guna menyambut hari kemenangan. Tak jauh berbeda dengan tahun ini, masyarakat kembali melakukan rutinitas tahunan yakni berburu pernak pernik Idulfitri. Padahal untuk tahun ini pun masih sama, kita masih berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Pendemi masih menyelimuti seluruh warga dunia, tidak terkecuali masyarakat di negeri +62.

Entahlah masyarakat hari ini bahkan bingung menyikapi kebijakan demi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Contohnya untuk persoalan yang satu ini. Di satu sisi pemerintah melarang warganya untuk mudik ke luar kota atau balik ke kampung halaman, akan tetapi di sisi lain, justru pemerintah sendiri yang mendorong masyarakat untuk berkerumun di pasar-pasar. Hal itu disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan ibu Sri Mulyani, beliau menyampaikan bahwa masyarakat diminta untuk membantu pemerintah dengan cara mendongkrak perekonomian lewat program belanja baju Lebaran. Bahkan tidak tanggung-tanggung pemerintah menetapkan satu hari khusus untuk melakukan aktivitas ini yang disebut dengan hari belanja Nasional atau HARBOLNAS. (WartaEkonomi.co.id, 24/4/21)

Tentu saja pernyataan tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, semenjak awal pandemi tahun lalu, arus perekonomian masyarakat pun ikut lesu. Banyak pedagang dan pengusaha kecil gulung tikar disebabkan roda perekonomian yang tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dampak tersebut merembet hingga kehidupan masyarakat lainnya. Bagi masyarakat, untuk bisa makan satu hari saja sudah alhamdulillah, boro-boro memikirkan beli baju baru. Ironis sekali bukan? Sementara di tengah pandemi yang berkepanjangan, disertai lesunya arus perekonomian, lagi-lagi pemerintah seolah-olah menutup mata untuk kemudian membuat berbagai kebijakan yang justru melukai warga negaranya sendiri.

Bayangkan saja, negeri Indonesia dengan luas garis pantai sepanjang 95.181 km dan merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia, dimana luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, yang juga merupakan 71% dari keseluruhan wilayah Indonesia, tapi lagi-lagi negeri ini bagaikan anak ayam yang mati di lumbung padi. Dengan potensi laut sebesar itu tapi justru pemerintah melakukan impor garam sebesar-besarnya dengan total impor di tahun 2021 yakni mencapai 3,07 juta ton. Miris sekali bukan?

Ini bukan pertama kalinya terjadi pada petani garam. Hal serupa pun pernah terjadi pada petani beras yang merasa dikhianati. Bagaimana tidak, pemerintah lagi-lagi melakukan impor secara besar-besaran di tengah panen raya setelah berhasil melakukan impor garam. Bisa dibayangkan bagaimana sakit hatinya para petani tersebut. Sementara masyarakat pun yang berada pada kalangan bawah sudah menggelepar akibat sulitnya mencari makan. Malah ditambah lagi dengan kebijakan aneh tentang gerakan belanja nasional itu tadi. Bagi para pedagang pun tentu hal ini tidak mudah, bagaimana mungkin arus perekonomian dapat dilakukan oleh masyarakat, sementara untuk urusan perut saja sudah sulit. Mungkin bagi beberapa kalangan mereka dapat turut dalam program tersebut, tapi di sini pun tak lepas dari masalah baru. Dengan kebijakan itu banyak menimbulkan chaos di tengah masyarakat, khususnya pasar-pasar induk. Salah satunya adalah pasar sentral Tanah Abang. Masyarakat yang begitu antusias menyambut harbolnas hingga mengenyampingkan berbagai ketentuan protap selama pandemi. Kerumunan tak dapat dielakkan lagi hingga adanya warga yang menjadi korban atas kericuhan berkerumun itu tadi. Dan justru menambah daftar panjang polemik yang terjadi. Pihak yang berwajib ikut dikerahkan guna mengatasi hal tersebut di atas. Namun akankah semua paradoks ini dapat teratasi? (Liputan 6, 3/5/21)

Oleh sebab itu, sudah selayaknya kita berpikir kritis demi mencari penyebab dari semua persoalan tersebut. Berbagai macam persoalan yang terjadi kepada masyarakat harusnya membuka mata kita bahwa pemerintah kita hari ini tidak memiliki kompetensi yang mumpuni guna mengatasi persoalan rakyat. Bahkan dalam hal ini pemerintah hadir bukan sebagai pemberi solusi, namun hanya sebagai regulator semata.

Hal yang sungguh sangat berbeda dengan sistem pemerintahan dalam Islam dimana pemerintah merupakan raa’in atau sebagai pengurus segala urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Dalam hadis tersebut jelas dinyatakan bahwa para Khalifah, merupakan pemimpin yang diserahi wewenang guna mengurus kemaslahatan umat atau rakyatnya, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt pada hari pembalasan. Sehingga dengan segala konsekuensi dan juga ketaatan yang tinggi kepada Allah Swt, para pemimpin akan menetapkan sejumlah aturan serta kebijakan yang tidak akan merugikan rakyat, tidak saling tumpang tindih atau saling bertolak belakang seperti hari ini. Dalam Islam, pemerintah benar-benar hadir sebagai soluti atas segala problematika yang terjadi, tidak terkecuali hari ini. Dengan demikian, segala urusan rakyat yang selama ini timbul dapat teratasi dengan baik. Wallahu’alam bis showab.