Breaking News

Polemik Reopen School AS, Bukti Lain Cacat Permanen Demokrasi

Spread the love

Oleh: Indah Shofiatin

(Penulis Lepas, Alumnus FKM Unair)

 

#MuslimahTimes — Covid 19 menyerang seluruh bagian dunia tanpa ampun. Di dunia timur maupun dunia barat, semua manusia berjibaku dengan pandemi terbesar sepanjang sejarah manusia ini. Bukan hanya negara berkembang seperti Indonesia yang tampak terengah-engah menghadapi dampak virus Corona, negara maju dan terdepan seperti Amerika Serikat pun kewalahan. Hingga Kamis kemarin, AS masih mencatat total kasus Covid 19 melebihi angka 3.5 juta kasus. Bahkan, kasus tambahan sebanyak 77.000 kasus baru tercatat pada Kamis lalu (CNN, 17/07/2020). Rekor terbesar negara kampiun demokrasi kapitalisme dalam angka kejadian Covid 19 yang mencengangkan!

Di tengah kondisi pandemi yang membuat banyak warga AS ketar-ketir begitu, Sekretaris Administrasi Pendidikan Trump, Betsy DeVos mengultimatum semua negara bagian AS agar membuka sekolah secara tatap muka (reopen school), suatu kebijakan yang menuai banyak kritikan bahkan oleh pimpinan negara-negara bagian sendiri, pengawas-pengawas sekolah, maupun para dokter dan ilmuwan. Lebih jauh DeVos bahkan mengancam akan memotong dana anggaran untuk sekolah-sekolah yang menolak mengumpulkan bersama para siswanya di kelas selama pandemi

Bukankah kebijakan AS ini membuat orang yang menyaksikannya melipat dahi kebingungan? Di tengah angka kasus baru Covid 19 sebesar itu? AS bukan hanya zona merah, tapi ‘kebakaran’ total kasus Covid 19 di sana. Untuk alasan apa sampai Trump dan jajarannya sedemikian ngotot ingin mengumpulkan para siswa di sekolah di tengah pandemi yang membara tersebut?

Dalam tweetnya Trump menyebut, “Koruptor Joe Biden dan para Demokrat tidak ingin membuka sekolah-sekolah pada musim gugur ini karena alasan-alasan politik, bukan alasan kesehatan! Mereka mengira itu akan membantu mereka di November nanti. Salah, orang-orang sudah paham!”

Apa yang terjadi pada bulan November di AS? Pemilu. Jadi, polemik reopen school yang ditentang banyak pihak tapi tetap secara keras dipaksakan oleh Trump dan kabinetnya hanyalah karena alasan politik! Ini perdebatan terjadi bukan karena kekhawatiran yang tulus terhadap nasib para siswa dan keluarganya, para guru, staf sekolah, atau nasib siapapun yang berkaitan dengan pembukaan sekolah kembali di tengah pandemi yang masih mengancam ini. Polemik ini terjadi karena perebutan pengaruh dan kepentingan politik para penguasa elit. Tidak untuk rakyat tapi untuk mereka sendiri. Dan ini terjadi di negara sejuta mimpi Amerika Serikat, dengan semua kemajuan dan keadilan demokratis yang selalu mereka pamerkan ke seluruh dunia. Wow!

Miris, tapi inilah faktanya. AS Yang Agung dengan semboyan demokrasinya ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’ ternyata menyeret rakyatnya sendiri dalam kebinasaan di tengah pandemi Covid 19 yang jahat demi keuntungan politik rezim penguasa. Tidak hanya di Indonesia, ternyata tontonan ini juga datang dari negara ‘raja’ demokrasi dunia. Di mana-mana sama saja, rakyat yang harus berkorban demi ambisi segelintir elit politik dan ekonomi. Penguasa dan orang kaya berhak mengatur dan mengambil keuntungan yang mereka targetkan, rakyat kecil yang manusia biasa berkewajiban mengikuti, menjalani, dan memenuhi nafsu mereka. Beginilah cara dunia saat ini bekerja.

Nyatanya, fakta semacam ini tidak mencengangkan terjadi dalam kehidupan sekarang. Inilah demokrasi kapitalistik. Semboyannya terlihat cantik, seolah pemerintahan dalam sistem ini dibuat untuk kepentingan rakyat, untuk melayani rakyat, dan berjalan atas kehendak rakyat. ‘Rakyat’. Rakyat kecil dan biasa yang tak punya uang dan kekuasaan? Tentu tidak. Rakyat khas kapitalisme. Yang memiliki hak penuh untuk dilayani, dipenuhi kebutuhan dan keinginannya, diselamatkan dan didukung hanyalah rakyat yang memiliki sumber uang. Orang-orang kaya yang bisa mendukung hasrat para penguasa agar tetap berkuasa dengan sponsor dari mereka, para kapitalis. Hubungan kotor antara penguasa dan kapitalis inilah yang menjadikan demokrasi bekerja. Bekerja demi kepentingan ekonomi para kapitalis dan kepentingan politik penguasa. Kapitalis memerlukan dukungan penguasa untuk membuka lahan publik yang ingin mereka garap dengan berbagai peraturan negara yang dibuat penguasa, sehingga orang-orang kaya ini makin kaya dan makin berjaya. Para penguasa memerlukan kapitalis untuk mendukung dana kampanye mereka sekaligus menggendutkan rekening siluman mereka selama berkuasa. Kalau bisa selepas dari menjadi penguasa, kekayaan mereka bertambah 1000 kali lipat. Apalagi bila penguasanya juga kapitalis seperti Trump, apalah yang tersisa untuk rakyat kecuali kewajiban membayar pajak dan utang, serta sedikit harapan yang disisakan agar terpilih kembali saat pemilu?

Inilah kenyataan kejam demokrasi kapitalistik. Sistem pemerintahan berideologi kapitalisme yang merasuki seluruh dunia. Sistem yang rakyat di  dalamnya tidak akan menemukan ketulusan penguasa. Hanyalah sekedar memikirkan keselamatan para siswa dan guru selama pandemi terus meroket angka kasusnya saja tidak dilakukan, apalagi di saat normal tanpa pandemi. Kejam, buas dan sadis. Inilah salah satu bukti cacat permanen demokrasi.

 Wajar saja cacat. Sistem ini dibuat memang untuk melancarkan keinginan para aristokrat (politisi) dan borjuis (kapitalis) sejak pertama kali diadopsi dari Yunani ke dunia modern. Sambil melepaskan diri dari pengaruh ‘Tuhan’ dari pihak gereja (agama). Sistem ini dibuat dengan komitmen memisahkan urusan negara dari aturan agama. Agama akhirnya dilarang ‘mencampuri’ urusan pengaturan negara. Hasilnya, semua kebijakan negara dalam demokrasi kapitalistik dibuat oleh para penguasa legislatif demi kepentingan dan hasrat mereka dan para kapitalis pasangan mereka.

Ini bukan hanya berlaku bagi Nasrani, seluruh agama di dunia dilarang memberi pandangan politik. Termasuk Islam. Padahal Islam merupakan dienullah yang secara sempurna mengatur seluruh bagian kehidupan manusia, termasuk urusan politik. Kita sebagai muslim pastinya tahu, Al-Quran dan As-Sunnah tidak hanya berisi ajaran sholat, puasa, zakat dan haji. Di dalam pedoman hidup kita ini, terdapat pula aturan berakhlak, berjihad, berbagai aturan kehidupan publik dan sanksi pelanggarannya, sampai aturan bernegara, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Islam tidak bisa dikotakkan hanya pada istighosah dan ibadah mahdhoh yang lain. Rasulullah diutus kepada manusia bukan hanya menjadi teladan dalam akhlak, bahkan beliau adalah teladan bagi setiap pemimpin negara dalam mengatur urusan rakyatnya.

Rasulullah saw bersabda, “Al Imam (penguasa) itu pelayan. Dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah mengajarkan kepada penguasa khususnya dan seluruh manusia beriman umumnya, bahwa jabatan penguasa didapat seseorang bukan demi melancarkan ambisi dunianya. Ini adalah jabatan yang menjadikan dia sebagai penanggung jawab utama setiap urusan rakyat. Penguasa adalah orang tua, pelayan, tulang punggung sekaligus penjaga rakyat. Dialah yang akan pertama kali ditanya oleh Allah di hari penghisaban nanti tentang nasib setiap individu rakyatnya. Bila ada satu saja rakyat yang mengadukan haknya ada yang tidak terpenuhi karena tindakan penguasa, maka neraka balasannya. Namun bila setiap rakyat mengadukan kebaikan penguasa di hadapan Allah, maka surga tertinggi menanti penguasa tersebut. Maka dipastikan, politik dalam Islam bukan tentang mendapat keuntungan dunia, apalah lagi uaang dari para kapitalis. Ini tentang menegakkan syariat Allah di muka bumi untuk menjamin kebaikan seluruh manusia dan terselesaikannya seluruh masalah hidup mereka, serta tentang mendapatkan keuntungan akhirat terbesar: bebas dari neraka, masuk surga. Inilah pandangan politik Islam yang dijalankan Rasulullah dan para Khalifah kaum muslimin sepanjang masa kekhilafahan Islam!

Pandangan politik seindah dan sempurna inilah yang secara nyata, bukan harapan kosong, dapat membuat rakyat mampu mengecap kehidupan yang adil dan menemui pemimpin yang tulus dalam masa hidup kita. Namun, karena aturan demokrasi-kapitalisme melarang setiap muslim menyuarakan keimanannya yang utuh pada seluruh ajaran Islam termasuk dalam ajaran politiknya, saat ini kita menyaksikan label radikalisme disematkan kepada muslim yang mengikuti ajaran Rasulullah tanpa pilih-pilih seperti ini. Padahal, bukankah politik brutal mereka yang menyebabkan dunia menyaksikan politisi busuk yang berselingkuh dengan kepentingan uang kapitalis, di AS juga di negeri kita?

Karena itu, sudah sewajarnya sebagai manusia yang sehat imannya dan sehat akalnya, kita mampu melihat kenyataan ini dan menentukan sikap kita. Pelajaran berharga yang bisa kita peroleh dari polemik reopening school AS bukan hanya tentang busuknya sistem politik demokrasi mereka (sekaligus para politisinya), namun sewajarnya juga membuka mata kita bahwa kejadian tersebut terjadi di sana dan di seluruh dunia (dalam berbagai bentuknya) karena kita meninggalkan ajaran Islam tentang politik. Ajaran yang harus kita imani dan kita jalankan bila kita ingin selamat dunia dan akhirat. Bukan hanya bisa membuat kita melewati masa pandemi ini dengan selamat, tegaknya politik Islam yang menjamin penerapan Islam kaffah dan dakwah Islam dapat terlaksana di bumi Allah akan membuat seluruh rakyat dunia menyaksikan harapan mereka: hidup aman dan sejahtera dalam limpahan rahmat dan ampunan dari Allah. Bukankah itu harapan kita semua? Lalu mengapa tidak kita wujudkan dengan bersama-sama membuang politik dan politisi demokrasi ke kotak masa lalu membuka masa depan dengan politik Islam dalam sistem Khilafah berdasar petunjuk Rasulullah? Choose and live your faith.

 

 

 

 

 

Sumber Foto : Bloomberg

Leave a Reply

Your email address will not be published.