Breaking News

Politik bak Industri dalam Kubangan Oligarki

Spread the love

Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan pengamat kebijakan publik)

MuslimahTimes–Oligarki hanya menguntungkan kelompok lingkaran penguasa. Para regulator di sekitar kekuasaan adalah pelaku usaha yang tentu saja, membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elitenya. Bukan dari masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama ini Jokowi citrakan. (Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang).

Tampaknya, oligarki sudah menguasai perpolitikan di negeri ini. Walau pemilu masih beberapa tahun lagi, mereka sudah curi start sejak dini. Tujuannya tentu saja simbiosis mutualisme di antara elit bisnis dan politik di balik sistem demokrasi.

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, mengatakan bahwa dana pemilu dan pilkada 2024 yang dilakukan serentak sangat mahal. Menurutnya, setelah dihitung pengajuan yang disampaikan KPU, Bawaslu, apakah itu dari sumber APBN maupun APBD tidak kurang sekitar Rp150 triliun, belum termasuk keamanan dan lainnya. (Republika.co.id, 19/9/21)

Politik Oligarki Bak Industri dalam Demokrasi

Sudah umum diketahui, bahwa pemilu sebagai hajatan demokrasi yang diterapkan di Indonesia memakan biaya yang sangat mahal. Negara rela menggelontorkan dana miliaran hingga triliunan, hanya untuk menggelar pesta demokrasi lima tahun sekali. Namun, dana yang banyak dikeluarkan tidak berkorelasi positif dengan optimalisasi kinerja para pejabat selama menjadi wakil rakyat. Karena banyaknya dana yang dikeluarkan, tentu saja ada bantuan dari para korporat yang suatu saat harus dibayar. No free lunch, begitu kata pepatah. Ya, tidak ada makan siang gratis. Akhirnya terjadilah praktik balas budi, antara elit politik dan bisnis. Politik kepentingan bahwa penguasa ingin berkuasa lebih lama, sementara pengusaha ingin proyek bisnisnya mulus semulus jalan tol.

Jargon dari, oleh, dan untuk rakyat pun hanya formalitas. Di balik itu semua, para kapitalis yang berelasi politik berkelindan dengan relasi bisnis. Ya, oligarki semakin menguasai negeri, politik disulap bagai industri. Maka yang terjadi di kalangan pejabat negeri adalah money politik dan korupsi. Pemilu hanya alat mendapatkan suara rakyat, dibantu dana para korporat agar bisa duduk di kursi panas. Tak hanya itu, penguasa juga menggandeng militer dan polisi.

Pandemi yang melanda negeri hampir dua tahun, tak jelas akan berakhir kapan. Hampir sama tidak jelasnya dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini. Padahal, jika para pejabat benar mewakili rakyat, seharusnya bisa lebih optimal membela rakyat kecil. Bahkan, berusaha maksimal agar pandemi bisa segera berakhir dengan kebijakan karantina wilayah (lockdown), seperti yang Islam jelaskan dalam hadis Rasulullah saw.

Faktanya tidak demikian, lebih miris lagi saat pandemi dan krisis terjadi lalu berefek pada PHK dan pengangguran besar-besaran. Pemerintah menyetujui Omnibus Law, yang isinya hanya memihak para korporat. Lagi-lagi rakyat hanya bisa gigit jari. Tak heran jika seorang ilmuwan Amerika Serikat di Universitas Northwestern bernama Jeffrey Wimters menjelaskan bahwa penggunaan kekuatan kekayaan oleh oligarki hanya untuk mempertahankan kekuasaan, yang dipraktikkan bersamaan dengan politik transaksional. Beginilah wajah demokrasi yang diterapkan di negeri ini, politik bak industri dalam kubangan oligarki.

Islam Aturan yang Sempurna dan Paripurna

Berbeda dengan Islam, sebagai sistem yang paripurna Islam memiliki konsep yang jelas tentang politik. Politik dalam Islam adalah pengaturan urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam. Maka, yang ada hanyalah amanah yang dijalankan dengan jujur dan sepenuh hati dari pemimpin negara. Dorongannya hanya akidah semata, karena menunaikan perintah dari Allah.

Tak ada praktik money politik, korupsi, apalagi menyulap politik jadi industri. Dalam Islam, sudah jelas apa yang harus dilakukan sebagai pemimpin negara, yaitu menerapkan syariah Islam secara kafah. Karena hanya dengan syariah, kesejahteraan umat akan terwujud. Pemilihan pemimpin tak memerlukan dana banyak, karena proses pemilihan pemimpin negara dalam Islam melalui bai’at.

Islam juga memiliki konsep ekonomi yang komprehensif, kebutuhan pokok rakyat dijamin secara tidak langsung oleh negara. Misalnya, ketika ada warga negara yang butuh bantuan, maka negara akan membantu baik dari sisi dana, skill, lahan, dan sebagainya. Agar kewajiban nafkah yang ada di pundak para suami bisa terlaksana dengan baik. Negara di dalam Islam, menjamin kebutuhan kolektif rakyat, yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Kesejahteraan dijamin oleh negara, salah satunya dengan konsep keseimbangan ekonomi agar kesenjangan si kaya dan si miskin tidak terjadi. Keseimbangan terwujud salah satunya dengan adanya distribusi yang merata dan larangan menimbun harta, emas dan perak.

Apabila kebutuhan pokok dan kolektif warga negara terpenuhi dengan baik, maka tak ada peluang untuk rakyat dan para pejabat melakukan kemaksiatan. Entah itu korupsi atau melakukan politik transaksional seperti yang saat ini terjadi. Tak ada suap dan lobi-lobi politik kepentingan yang berselingkuh dengan para korporat. Rakyat dan negara fokus dengan tugasnya masing-masing. Suasana keimanan terus dibangun dan dijaga, agar semakin taat dan dekat kepada Allah. Sehingga Islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan benar-benar terwujud. Siapa yang tak ingin merasakannya?

Allahu A’lam bi ash Shawab.