Breaking News

Politik Dinasti: Seni Melanggengkan Kekuasaan Berasas Konstitusi

Spread the love

Oleh: Neng Ranie SN

#MuslimahTimes — Indonesia saat ini memang sedang diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang menguat. Hal ini terlihat pada pemilu 2019, riset Nagara Institute mencatat sedikitnya 99 orang anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti politik karena memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik. Fenomena ini kembali menjadi sorotan menjelang pelaksanaan Pilkada 2020. (kompas.com, 22/07/2020)

Diperkuat lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Alhasil, banyak politikus melahirkan politik dinasti melalui keluarga hingga kerabat mereka. Tak hanya di level nasional, tetapi terjadi juga di tingkat daerah. Mulai anak presiden hingga anaknya pejabat.

Politik dinasti dan oligarki (kartelisasi) politik merupakan satu hal yang memang “direncanakan” untuk terjadi. Politik dinasti yang terjadi di tanah air saat ini saling berkaitan dengan fenomena kartelisasi (oligarki) politik oleh partai-partai politik besar. Hal ini terlihat dari sejumlah nama yang dicalonkan untuk maju pada Pilkada 2020. Dilansir oleh kompas.com, putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, akan maju dalam pemilihan wali kota Solo, yang diusung PDIP.

Sementara di Tangerang Selatan, Banten, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, maju dalam pemilihan wali kota. Diusung Partai Demokrat, Azizah akan berhadapan dengan keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang diusung Gerindra.

Dinasti mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, juga akan meramaikan pilkada Tangsel. Putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah (adik Atut), Pilar Saga Ichsan, dikabarkan bakal maju. Begitu pun adik Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diani, Aldrin Ramadian, yang dikabarkan tertarik menggantikan posisi kakaknya.

Ada sekitar sembilan keluarga pejabat yang akan mengikuti Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Selain nama-nama di atas, ada menantu Jokowi, Bobby Nasution (Pilkada Medan); anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramono (Pilkada Kediri); istri Bupati Banyuwangi Azwar Annas, Ipuk Fiestiandani (Pilkada Banyuwangi); dan adik Mentan Syahrul Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo (Pilkada Makassar). (kompas.com, 22/07/2020)

Maraknya politik dinasti di sejumlah daerah, rupanya menuai beragam komentar dari sejumlah pihak. Salah satunya berasal dari pengamat Hukum, Tata Negara Margarito.

Menurutnya, Dinasti politik bahkan bisa terkonsolidasi sehingga akan terus menghasilkan pemerintahan yang berpotensi korup. pemerintahan yang korup tidak hanya didefinisikan seperti mengambil uang negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Korupsi juga dapat terjadi apabila ada kebijakan pejabat yang menguntungkan keluarga sebagaimana lazimnya terjadi pada dinasti politik. (bisnis.com, 23/07/2020)

Politik dinasti menjadi praktik melanggengkan kekuasaan yang paling populer di mata para pemimpin di dunia. Hampir seluruh negara pernah dikuasai dinasti politik. Politik dinasti akan terus ada dan bercokol di negara-negara budak sistem demokrasi, termasuk Indonesia. Sebab, politik dinasti yang dilakukan individu penguasa dan politik oligarki yang dibangun parpol berkuasa  adalah keniscayaan dalam demokrasi.

Demokrasi meniscayakan pemenang mendapat suara terbanyak. Dapat diraih dengan dana besar, ketenaran atau pun pengaruh jabatan yang sedang dimiliki. Karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi. Ini bukan sekedar anomali dari praktik demokrasi, tetapi cacat bawaan sistem demokrasi.

Lantas, bagaimana menolak politik dinasti di Indonesia?

Jelas dengan menyingkirkan sistem kufur demokrasi dan beralih kepada sistem mulia  syariat Islam. Sistem Islam yang paripurna memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan manusia, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Pemimpin dalam Islam diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapatkan dukungan nyata umat dengan cara baiat. Dukungan tersebut semata-mata karena mereka dikenal dengan ketakwaannya dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh hukum-hukum syariah.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fii Al-Islam menyebutkan syarat-syarat syar’i yang wajib (in’iqad) ada pada seorang pemimpin (Imam/ khalifah) yaitu : (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa; (4) berakal; (5) adil (tidak fasik); (6) merdeka; (7)  mampu melakukan amanah kepemimpinan berdasarkan kitabullah dan sunah Rasulullah saw. Apabila 1 syarat saja tidak terpenuhi, maka tidak sah akad kepemimpinannya. Selain itu ada beberapa syarat Afdhaliah (keutamaan) bagi calon pemimpin yaitu harus dari kalangan Quraisy, harus seorang mujtahid atau ahli menggunakan senjata. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkar as-Siyasiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin yaitu kepribadian kuat, bertakwa, memiliki sifat welas asih, dan penuh perhatian kepada rakyatnya.

Berbicara tentang sosok pemimpin dalam Islam, sesungguhnya berkaitan erat dengan sistem kepemimpinan yang syar’i. Yakni, sistem kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat membangun Daulah Islam di Madinah. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin hingga kekhilafahan Turki Utsmani terakhir runtuh.

Karenanya hanya dengan menerapkan sistem Islam secara kafah, termasuk penerapan sistem pemerintah Islam. Maka, politik dinasti dan oligarki (kartelisasi) politik akan dapat dihilangkan.

Dan sistem Islamlah yang mampu menghasilkan para politisi dan calon pemimpin yang beriman dan bertakwa, amanah, bertanggung jawab, kapabilitas, serta tulus meriayah rakyatnya.

Wallahu a’lam bishshawaab.

 

 

 

 

Sumber Foto : Nalar Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published.