Breaking News

Populasi Menua, Panti Jompo Tak Menjamin Bahagia

Spread the love

 

Oleh. Kholda Najiyah

Founder Salehah Institute

MuslimahTimes.com – Tiga orang anak, menitipkan ibu kandungnya ke panti jompo. Yang membuat trenyuh adalah pernyataan: “apabila orang tua kami meninggal, maka kami menyerahkan proses pemakaman orang tua kami kepada Griya Lansia Husnul Khatimah.” Anak-anak itu beralasan sibuk bekerja dan mengurus keluarga intinya. Masyarakat pun mengecamnya, karena dianggap tindakan durhaka.

Setelah viral, ketiga anak itu berdalih, terpaksa menitipkan ibunya, karena tidak kuat dengan sikap Trimah yang sering bermasalah hingga membuat mereka tidak nyaman. Sebuah pembelaan yang hanya semakin menambah luka sang ibu. Trimah hanya bisa pasrah. “Saya betah di sini, tapi kalau harapannya dijemput ke sini oleh anak-anak,” katanya, Minggu (31/10) seperti dilansir CNN Indonesia.

Bergesernya Struktur Sosial

Keberadaan panti jompo di Indonesia memang belum populer. Jumlahnya juga masih sedikit dibanding proporsi penduduk lansia. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, tahun 2019 jumlah lansia di Indonesia ada 27 juta jiwa. Sementara jumlah senior living stay tak lebih dari 20 panti werdha dan sekitar 250 panti jompo. Artinya, kapasitas panti werdha hanya sekitar 2.000 lansia dan panti jompo sekitar 200.000 orang (Nalar.id). Meski namanya beda, prinsipnya sama-sama rumah lansia.

Nah, panti lansia pada dasarnya tidak dikenal dalam struktur budaya orang timur, apalagi dalam struktur sosial peradaban Islam. Struktur sosial di masyarakat ketimuran atau masyarakat Islam, biasanya merupakan keluarga besar (extended family). Bangunan rumah tangga bersifat komunal, di mana tiga generasi tinggal dalam satu lingkungan yang berdekatan.

Hubungan kekerabatan sangat kental, saling bekerja sama dan tinggal di satu lingkungan yang tidak berjauhan. Mereka membangun sistem komunalnya sendiri. Orang tua adalah bagian dari inti sebuah keluarga besar yang tak terpisahkan dari kerabat dan anak-anaknya. Orang tua, anak dan cucu adalah satu kesatuan.

Namun, struktur ini kemudian bergeser. Ketika terjadi ketimpangan pembangunan antarwilayah, di mana perkotaan lebih maju dibanding pedesaan, terjadilah urbanisasi. Anak-anak muda usia produktif merantau jauh mengejar eksistensi dan rezeki. Biasanya dimulai dari anak-anak yang pergi kuliah dan tak kembali ke kampung halaman, atau anak-anak yang merantau mencari pekerjaan agar mendapatkan penghasilan lebih menjanjikan.

Struktur rumah tangga komunal mulai runtuh. Anak-anak membentuk keluarga inti di wilayah perkotaan yang jauh dari rumah orang tuanya. Beruntung jika masih ada salah satu atau dua anaknya yang tidak merantau, sehingga orang tua masih di bawah perawatan anak kandungnya. Namun tak sedikit di desa-desa, orang tua tinggal sebatang kara.

Sementara itu, orang tua biasanya juga sangat sulit untuk diajak serta tinggal di rumah anaknya di kota. Orang tua sudah terlanjur memiliki lingkungan sosial yang mengakar dengan tetangga-tetangganya, sehingga sulit untuk meninggalkan mereka. Mereka lebih bahagia tinggal di rumah meski sendiri, daripada di rumah anaknya di kota namun tak kenal siapa-siapa. Dilematis memang, karena anak-anak sebenarnya ingin merawat orang tuanya, namun orang tua tidak mau ikut mereka.

Di sisi lain, bangunan struktur rumah tangga kian individualis. Masing-masing memilih hidup sendiri dan semakin jarang melibatkan diri dalam keluarga besar. Meski tidak sengaja, adanya kesenjangan sosial antara kota dan desa, antara mereka yang berpendidikan tinggi dan rendah, antara yang kaya dan yang miskin, menyebabkan hubungan kekerabatan juga kian renggang. Saat ini, semakin jarang anak kecil yang mendapat pengasuhan bersama-sama oleh keluarga besar, atau nenek-kakek yang dirawat bersama-sama oleh kerabat-kerabat terdekatnya.

Solusi Barat atas Menuanya Populasi

Model perawatan orang tua di panti lansia, muncul di Barat sebagai solusi untuk mengatasi kerusakan struktur sosial di sana. Ada fenomena global bahwa populasi penduduk semakin menua. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, pada 2050 nanti, hampir 2 miliar penduduk dunia diperkirakan berusia di atas 60 tahun. Angka ini tiga kali lipat dibanding tahun 2000. Di Indonesia, diperkirakan jumlahnya mencapai 80 juta atau 23 persen dari proporsi penduduk (Detik.com).

Di sisi lain, mereka yang usianya produktif, tergilas dalam putaran roda-roda perekonomian kapitalis tanpa jeda. Bekerja dan menghasilkan materi adalah tujuan utama, sampai-sampai urusan keluarga dan orang tua bukanlah prioritas. Sifat individualis demikian menonjol dalam struktur sosial. Individu-individu terkondisikan hidup sendiri, atau dengan pasangan berdua saja, hingga melahirkan gagasan childfree.

Jika sepasang suami istri menikah, keduanya sama-sama sibuk bekerja mencari uang. Jika pasangan punya anak pun dititipkan di day care sehari penuh. Demikian pula, bila memiliki orang tua, maka dititipkan perawatannya di panti jompo. Aturan dunia kerja juga tidak ramah, sulit cuti panjang jika alasannya untuk keluarga.

Tidak Bahagia

Benar, dari sisi fisik orang tua lebih terjamin perawatannya di panti lansia. Perawat di panti jompo terlatih memperlakukan mereka dengan baik karena digaji. Namun, kebutuhan batin para lansia tidak bisa dipenuhi oleh pengasuh-pengasuh sebaik apapun mereka. Tidak adanya ikatan kekerabatan, semata merawat karena kemanusiaan, tak mampu menggantikan kebahagiaan orang tua berada dalam pengasuhan keluarganya.

Penelitian membuktikan, tinggal di rumah lansia justru meningkatkan risiko kematian. Mereka jadi apatis. Tidak memiliki motivasi lagi untuk melanjutkan hidup. Beda jika tinggal di lingkungan kerabatnya. Melihat anak-cucu beraktivitas, bercanda dan bercengkrama adalah salah satu penyemangat hidup di masa tua.

Dilansir dari Daily Mail, penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Belanda terhadap 713 panti jompo menemukan, sikap apatis bisa meningkatkan risiko kematian hingga 62% dalam waktu empat bulan. Sementara itu, Caroline Abrahams dari Age UK menyebut, 40% lansia yang tinggal di panti jompo mengalami depresi (Sindonews). Terkadang ditemukan, lansia hanya duduk di ruang televisi bersama penghuni lain tanpa melakukan kegiatan apapun karena keterbatasan dana di panti.

Jelaslah, menitipkan orang tua ke panti lansia telah mengabaikan kebutuhan mereka akan terpenuhinya gharizah nau’ yaitu kasih sayang. Apapun alasannya, tidaklah bijak memisahkan kehidupan orang tua dari lingkungan komunalnya yang telah mengakar dalam jiwanya.

Islam Memuliakan Lansia

Allah memerintahkan agar anak-anak berbakti kepada orang tuanya. Perintah ini bersifat wajib, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Prioritas birrul walidayn terletak setelah perintah mengesakan Allah dan setelah larangan menyekutukannya. Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak.” (QS. Al-An’am [6]:151).

Rasulullah saw pun menegaskan betapa ruginya anak-anak yang masih memiliki orang tua namun tidak bisa menjadikannya sebagai jalan surganya. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw, bersabda: “Sungguh hina, sungguh hina dan sungguh hina dia” lalu ada yang bertanya kepada beliau: “Bagi siapakah kehinaan itu wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda: “Yaitu orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya dalam keadaan tua (jompo), kemudian ia tidak masuk surga (dengan berbakti kepadanya).” (HR. Muslim).

Lebih dari itu, durhaka kepada orang tua merupakan salah satu dosa-dosa besar. Dari Abu Bakrah, ia berkata, “Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw., beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau mengulangi tiga kali. Lalu mereka berkata: “Iya wahai Rasululah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. Beliau lalu duduk yang tadinya bersandar seraya mengatakan: “Ketahuilah! dan persaksian palsu.” Abu Bakrah berkata: “Rasulullah SAW. terus mengulangi sehingga kami mengatakan: ‘seandainya beliau berhenti.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari sini jelaslah betapa tingginya amalan berbakti kepada orang tua. Karena itu, semestinya, anak-anak muslim memiliki kesadaran tinggi untuk merawat orang tua kandungnya dengan penuh kasih sayang. Jika setiap anak menyadari kewajibannya, maka tidak dibutuhkan panti lansia dalam struktur sosial masyarakat Islam.

Yang dibutuhkan adalah sistem Islam, di mana negara punya andil ikut memampukan setiap keluarga untuk merawat orang tuanya. Penerapan sistem Islam yang tidak mengabaikan kebutuhan individu-individu untuk memperhatikan keluarga, kerabat dan terutama orang tuanya. Misal, negara bisa membuat aturan cuti untuk para pekerja, jika orang tuanya sakit dan butuh perawatan agak lama. Juga menjamin kebutuhan pokok lansia, menggratiskan biaya pengobatannya, dll.

Saat ini, di era penerapan sistem kapitalis, kehidupan yang serba materialistis menyebabkan setiap individu tersibukkan untuk memenuhi kesejahteraan materi dibanding kesejahteraan batin. Akibatnya, kebutuhan di luar materi seperti perhatian dan kasih sayang terabaikan. Sungguh, kita rindu hidup penuh ketenangan spiritual bersama orang tua, tanpa dikejar-kejar berbagai urusan duniawi seperti saat ini. Dan ini hanya bisa jika peradaban Islam tegak. (*)