Breaking News

Resensi : Dakwah Asam Manis

Spread the love

Resensi Buku Genre Milenial

Judul buku: Dakwah Asam Manis

Penulis: Akin

Penerbit: Anomali

Cetakan: ketiga Oktober 2013

Tebal buku: 111 halaman

Peresensi: Choirin Fitri

Nomongin yang asam dan manis jadi ingat rujak atau manisan yes? Eits, tapi tetep nggak boleh ngiler apalagi langsung cuss beli di warung Si Emak. Cukup dibayangin aja ya! Hehe..

Tapi, kalau ngomongin dakwah asam manis boleh deh, pakai banget malah. Apalagi buku bersampul kuning ini benar-benar membahas dakwah dari sudut pandang yang beda.  Asam manis.

Gaya bahasa Bang Akin yang gaul dan renyah membuat buku ini tidak enak jika dibaca awalnya saja. Maunya baca buku sekali duduk, finish. Ya, miriplah sama baca novel gitu.

Berbagai cerita dengan latar dan bahasan berbeda  meski masih satu kata Dakwah disuguhkan dengan gaya yang asyik. Tak hanya itu, Bang Akin mampu meyakinkan pada pembaca bahwa dakwah bukan hanya sekadar penampilan  juga bukan profesi. Gini hasil ngutip halaman 9 dalam buku ini.

Karena dakwah itu bukan penampilan.

Da’i si penyampai dakwah tak mesti hanya di mimbar masjid, tak mesti berada di atas panggung. Dia bisa saja ada di belakang meja kerja, atau sedang mengangkut barang, atau sedang menulis, atau sedang mengajar di kelas.

Karena da’i bukanlah profesi

Dia bisa saja berperan sebagai seorang polisi, seorang pengacara, dokter, seorang murid sekolah, seorang pedagang, atau seorang pemulung.

Dan saya harap da’i itu adalah saya dan kamu semuanya. Karena kita muslim.

Asyiknya membaca buku ini membuat kita sadar bahwa dakwah bukan milik para ustad ataupun kiai. Dakwah milik umat Islam. Dan dakwahlah yang membuat Islam hidup hingga akhir dunia nanti.

Dakwah memang berasa asam manis bagi yang sudah pernah melakukannya. Asam ketika ada yang nggak suka, memfitnah, mencibir, dan berbagai hal buruk lainnya. Manis ketika ada orang ber-Islam dengan Allah menjadikan kita jalan hidayahnya dan pasti terasa manis ketika Surga menjadi ujung kehidupan kita.

Ada satu kalimat cetar membahana yang menjadi motivator terbesar untuk tetap berada di jalan dakwah. Tepatnya di akhir halaman 64.

“Musibah terbesar bukanlah musibah yang dihadapi saat berdakwah, tapi musibah paling besar adalah saat kita mundur dari dakwah”