
Oleh : Norma Sari
#MuslimahTimes — Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengkritis beberapa pasal pada Rancangan KUHP. Ada empat pasal yang dituding warisan kolonial yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia. Dalam rilisnya, Aliansi Nasional Reformasi KUHP memaparkan, pertama, terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Menurut dia, rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda.
Berikutnya, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara yang diatur dalam pasal 353-354 RKUHP. Aliansi Nasional Reformasi KUHP berpendapat Pasal ini berpotensi menjadi Pasal karet dengan potensi pengekangan hak dan kebebasan warga negara yang sangat besar dan juga dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif. Pasal ini, tidak saja kabur dan multitafsir, namun juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern.
Selanjutnya, terkait Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa izin yang diatur dalam pasal 273 RKUHP. Adanya politik perizinan mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang penerapannya sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum (rust en orde) yang akrab dipakai pemerintah kolonial Belanda, dan juga sebagai bentuk acuan legal pemerintah atau aparat dalam memantau gerak-gerik masyarakat di Tahun 1960an. Padahal yang perlu diminta dari masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya dalam berdemonstrasi adalah pemberitahuan, dan bukan izin.
Terakhir terkait Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur dalam pasal 281 RKUHP. Pasal 281 huruf b dan c RKUHP sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan Pers. Pasal 281 huruf b misalnya akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial. Sementara Aliansi tidak sependapat dengan pemerintah berkaitan dengan Pasal 281 huruf c.
Adalah sebuah ironi, ketika demokrasi didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tapi ternyata rakyat tidak bisa mengoreksi penguasa secara leluasa karena ada ancaman pidana. Kebebasan berpendapat yang merupakan salah satu dari empat pilar demokrasi, sering kali diterapkan dengan standar ganda. Hal ini menunjukkan bahwa proses demokrasi tidak mampu melindungi hak rakyat untuk berpendapat. Penguasa dalam demokrasi yang dicitrakan terbuka terhadap masukan dari rakyat, nyatanya merupakan rezim yang antikritik.
Inilah hakikat demokrasi, tidak berpihak pada rakyat, malah senantiasa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan rezim. Demokrasi juga dicitrakan aspiratif. Nyatanya banyak undang-undang produk demokrasi yang tak sesuai kehendak mayoritas rakyat. Misalnya UU cipta Kerja yang hingga kini masih terus ditolak oleh kaum buruh. Lantas dikemanakan suara kritikan rakyat yang demo berhari-hari di seluruh Indonesia menolak UU cipta Kerja? Dikemanakan pula suara rakyat yang menolak RKHUP pada tahun 2019? Semua suara itu seolah sirna tak bermakna apa-apa di hadapan demokrasi. Jargon suara rakyat suara Tuhan tak ada wujudnya. Yang terjadi adalah suara penguasa suara Tuhan.
Islam memposisikan pemimpin umat Islam (Khalifah) sebagai manusia yang bisa salah dan lupa. Khalifah tidak dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Khalifah juga bukan seperti Raja yang dikultuskan layaknya manusia suci tanpa cela. Khilafah adalah kepemimpinan yang menerapkan wahyu dari Allah (Al Qur’an dan As-Sunah) yang terjamin kebenarannya. Namun pelaksananya, yaitu Khalifah beserta pejabatnya merupakan manusia biasa yang tidak maksum. Maka Khalifah bisa berbuat salah dan rakyat berhak mengoreksinya.
Dalam Islam, menyampaikan kritik (muhasabah) merupakan kewajiban. Kaum muslim berkewajiban mengontrol serta mengoreksi tugas-tugas dan kebijakan para penguasa. Allah Swt. telah mewajibkan kaum muslim untuk melakukan muhasabah al-hukkam (mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan). Perintah Allah tersebut merupakan perintah yang bersifat tegas, yaitu untuk melakukan muhasabah terhadap para penguasa dan mengubah perilaku mereka jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikannya kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan.
Dalam Khilafah, rakyat boleh menyampaikan kritik secara langsung, bisa juga melalui wakilnya di lembaga yang bernama Majelis Umat. Dalam kitab tafsir karya Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, kisah itu dikutip pada bab penjelasan Surat An Nisa ayat 20.
Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham,” kata Umar.
Lalu datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. “Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. “Ya,” jawab Khalifah Umar.
“Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa),” kata wanita itu. Umar tersentak sambil berkata, “Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Menyadari kekeliruannya, Umar ra. Kembali naik mimbar dan menyampaikan revisi atas keputusannya. Demikianlah sistem Islam menjamin hak rakyat untuk mengoreksi penguasa. Tak seperti sistem demokrasi yang membungkam rakyat. Wallahu a’lam bishshawwab.[]