Breaking News

RUU Minol, Apakah Sekadar Keuntungan Duniawi?

Spread the love

Oleh: Barrah

(Mahasiswi Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Malang)

MuslimahTimes.com – Sampai sekarang RUU Minol (minuman beralkohol) masih banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak tentang urgensi dari RUU tersebut. Sebelumnya aturan minuman beralkohol di Indonesia hanya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan tidak diatur adanya sanksi. Namun sekarang Rancangan Undang-Undang (RUU) larangan minuman beralkohol (Minol) telah masuk ke dalam tahap harmonisasi walau pembahasan dengan pemerintah belum menemukan titik temu.

RUU Minuman Beralkohol (Minol) yang diajukan DPR menuai kontroversi. Ternyata tidak semua pihak menyetujui pelarangan minuman beralkohol. Padahal sebagaimana disampaikan sejumlah fraksi di DPR yang mengusulkannya, RUU Minol ini adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul karena minol. Berdasarkan temuan Kepolisian, banyak tindakan kriminal dilatarbelakangi minuman keras.

Para penentang RUU ini berargumen sebaliknya. Menurut WHO Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumsi alkohol yang rendah dan sejumlah riset mengatakan tidak ada korelasi minuman beralkohol dengan tindak kriminal.

Menurut mereka dengan di sahkannya RUU minol ini justru berpotensi merugikan semua pihak, mulai dari pengusaha, pekerja, hingga pemerintah, mengingat kontribusi ekonomi yang diberikan industri minol.

Dilansir dari CNN Indonesia, dari sisi penghasilan, usaha minol setidaknya mampu menyisihkan kontribusi pembayaran pajak mencapai Rp6 triliun kepada negara. Sementara, dari sisi ketenagakerjaan, usaha minol mampu menyerap sedikitnya 5.000 pekerja.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Alkohol akan berdampak negatif bagi industri pariwisata.

“Apabila itu disahkan kami khawatir wajah Indonesia di mata dunia akan berubah, kita tentu harus ramah terhadap wisatawan. Ini akan bawa citra kurang positif,” ujar Ketua Hubungan Antar Lembaga PHRI Bambang Britono di Jakarta, Senin (17/11/2020).

Menurut dia, jika RUU itu disahkan maka industri pariwisata nasional akan semakin terpuruk. “Saat ini usaha pariwisata sedang terpuruk akibat pandemi, harusnya kita membutuhkan citra yang positif di mata dunia,” ucapnya.

Selain itu Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sarman Simanjorang menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol akan berdampak pada maraknya peredaran minuman alcohol oplosan. Sebab, RUU ini bertujuan melarang produksi hingga konsumsi minol.

Sungguh miris nergeri kita tercinta ini. Padahal dalam Al-Qur’an dan Sunnah sudah jelas sekali keharaman dari alkohol. Khamr adalah haram. Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang hal ini. Banyak nash Al-Qur’an maupun hadis yang menunjukkan keharamannya.

Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung.” (QS al-Maidah [5]: 90)

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَام
“Setiap yang memabukkan adalah haram. Apa saja yang banyaknya membuat mabuk, maka sedikitnya pun adalah haram.” (HR Ahmad).

Allah SWT juga menyebutkan dampak negatif dari khamr dan judi bagi manusia, menciptakan kerusakan sosial dan melalaikan dari mengingat Allah SWT seperti salat. Allah SWT berfirman,
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Dengan minuman keras dan judi itu, setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian serta menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan melaksanakan salat. Jadi, tidakkah kalian mau berhenti?” (QS al-Maidah [5]: 91)

Rasulullah Saw. bersabda,
اَلْخَمْرُ أُمُّ الْفَوَاحِشِ، وَأَكْبَرُ الْكَبَائِرِ، مَنْ شَرِبَهَا وَقَعَ عَلَى أُمِّهِ، وَخَالَتِهِ، وَعَمَّتِهِ
“Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabrani)

Peringatan keras Rasulullah Saw. ini sesuai dengan fakta. Di AS, satu lembaga yang menangani kecanduan alkohol dan obat-obat terlarang, NCADD (National Council on Alcoholism and Drug Dependence), pernah merilis laporan 40% kekerasan terjadi disebabkan faktor alkohol. Menurut laporkan setiap tahunnya ada sekitar 3 juta tindak kekerasan. Para pelakunya dalam pengaruh minuman keras. Kejahatan itu meliputi peramokan, pemerkosaan, pelecehan seksual dan segala bentuk kekerasan yang lain.

Di Indonesia, miras juga menimbulkan banyak persoalan sosial. Selama tiga tahun terakhir berdasarkan laporan Polri, terjadi 223 tindak pidana yang dilatarbelakangi miras. Di daerah, kasus kriminalitas yang disebabkan miras juga marak. Pada tahun 2011, misalnya, Polda Sulawesi Utara melaporkan sekitar 70 persen tindak kriminalitas terjadi akibat mabuk miras.

Inilah mengapa RUU minol dianggap upaya tambal sulam dalam menerapkan hukum Islam. Karena sejatinya, undang-undang lahir berdasarkan sistem negara yang dianutnya. Jika sistem negaranya berlandaskan kapitalisme sekuler, maka undang-undang yang terlahir adalah undang-undang yang berasal dari kapitalis sekuler juga yang tidak mengenal halal haram. UU hanya berputar pada keuntungan materi. Jadi, jangan berharap terlahir undang-undang yang pro terhadap syariat.

Bukan merupakan ciri orang beriman bila kemudian mencari-cari dalih untuk menghalalkan khamr. Misal, mereka berdalih, jika dilarang, khamr akan mematikan perekonomian sebagian orang dan juga merugikan negara.

Memang, berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan cukai dari Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) mencapai Rp 3,61 triliun selama periode Januari hingga September 2020. Inilah yang sering membuat sebagian orang kemudian mencari alasan untuk menolak keharaman khamr.

Sudah saatnya kaum Muslim mengambil sikap tegas. Hanya menjadikan halal dan haram sebagai standar perbuatan dan penyusunan undang-undang. Itulah mengapa kita membutuhkan aturan islam dalam mengatur tatanan ekonomi. Karena Islamlah yang mampu menjamin kehidupan ekonomi yang bebas dari krisis. Karena sumber pembuat hukum adalah Allah SWT, bukan manusia yang akalnya lemah dan terbatas.

Sistem ekonomi yang berasaskan Islam juga memperhatikan komoditas apa yang akan diperdagangkan. Tidak hanya melihat keuntungan yang didapat. Jika komoditas itu haram, haram pula muamalat yang terjadi. Produktivitas yang tinggi dari masyarakat juga disertai penetapan peraturan yang sesuai syariat, seperti diharamkannya kepemilikan umum dikuasai swasta.

Hal demikian akan membawa masyarakat Islam menuju kesejahteraannya. Maka dari itu, kesejahteraan hanya bisa dikecap masyarakat yang hidup dalam aturan Islam.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published.