
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana Muslimah Times)
MuslimahTimes.com – Suatu sore, anak-anakku yang baru saja bermain di depan rumah, tiba-tiba masuk dan bercerita.
“Bunda, tadi masa si A (menyebut nama seorang anak lelaki tetanggaku, usianya masih 5 tahunan), jalan gandengan tangan sama si B (menyebut nama anak perempuan tetanggaku juga, usianya 4 tahunan). Terus teman-temannya bilang gini, “Iih pacaran terus, nanti kalau udah putus baru deh pisahan.” Gitu Bun.” ujar putriku yang nomor dua.
“Iya ih… Kakak sebal lihatnya, masa masih kecil pacar-pacaran.” timpal si sulung.
“Pacaran kan nanti dibakar sama Allah ya Bun, dosa!” celetuk si nomor tiga, usianya baru 4 tahun.
Aku hanya bisa tersenyum getir. Speechless mendengar apa yang dikatakan anak-anakku tadi. Meski sebetulnya fakta tersebut bukan hal yang langka di sistem hari ini. Anak usia balita sudah kenal istilah pacaran, bahkan mereka mempraktikannya. Mirisnya lagi, aku pernah mendengar sendiri, ada seorang ibu yang menjodoh-jodohkan anaknya sendiri dengan teman bermainnya, padahal masih duduk di taman kanak-kanak.
“Ciee… Itu pacar kamu tuh… Ayo donk pegangan-pegangan, cium pipinya… ” ujar si ibu. Sang anak pun dengan malu-malu mengikuti perintah ibunya.
Sungguh memprihatinkan! Meski maksudnya mungkin bercanda, tetapi bagiku hal seperti itu tak bisa dijadikan bercanda. Islam memiliki aturan tegas soal pacaran, haram hukumnya. Maka, semestinya orang tua menciptakan pondasi pemahaman yang kokoh soal pacaran tersebut, agar si anak memahaminya dan tidak melakukannya. Bukan malah mengenalkannya dengan pacaran dan mendorong melakukannya. Naudzubillahi min dzalik.
Bukankah sudah banyak kita dapati realita, anak-anak usia ABG sudah terjerat dalam cinta semu bernama pacaran. Jika putus, galau bulan kepalang, bahkan banyak yang sampai bunuh diri. Dan parahnya lagi, banyak yang melampaui batas dalam hubungan tersebut. Ya, berbuat zina pun mereka lakukan demi kepuasan nafsu sesaat. Mereka bahkan tak sempat memikirkan konsekuensi terhadap masa depan mereka, apalagi konsekuensi akhiratnya.
Petaka Sekularisme
Beginilah konsekuensi logis atas penerapan sekukarisme dalam kehidupan. Agama dipisahkan dari pengaturan kehidupan, sebaliknya agama hanya diletakkan di sudut-sudut surau saja, bahkan di hati pemeluknya. Urusan publik suka-suka, anti membawa-bawa agama. Maka, tak heran banyak orang tua yang abai dalam penanaman akidah islamiah berikut pengenalan syariat-Nya. Anak-anak seolah cukup hanya diajarkan huruf hijaiyah, menghapal nama-nama Nabi, rukun iman, serta rukun Islam. Selebihnya, dalam urusan kehidupan, orang tua tidak mengajarkan anak untuk berpegang pada aturan Islam.
Contohnya saja soal pergaulan, sebagaimana yang kuceritakan di awal tulisan. Banyak orang tua yang justru menganggap biasa seorang anak mencium atau memeluk temannya yang lawan jenis, “Namanya juga masih anak-anak.”katanya.
Padahal syariat Islam memiliki seperangkat aturan soal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Orang tua harus mengajarkan kepada anak-anaknya sejak dini agar akal mereka berkembang sesuai tuntunan syariat. Dan tentu saja, orang tua wajib membekali dirinya dengan tsaqofah Islam yang memadai, agar mampu mendidik anak-anaknya sesuai tuntunan syariat Islam yang agung.
Orang tua salih Memayungi Anak Berkepribadian Islam nan Bertakwa
Jika sistem kehidupan sekuler hari ini memberi pengaruh bagi tumbuh kembang anak ke arah keburukan, maka orang tua sebagai benteng pertama harus berupaya optimal dalam membentuk kepribadian Islam anak. Pertama, tentu saja dengan menanamkan akidah islamiah di dalam diri anak sejak dini, mengenalkan siapa Rabbnya, mengenalkan siapa Nabinya, apa agamanya, dan berusaha menanamkan kecintaan yang menghujam kepada agamanya.
Kedua, membiasakan anak taat syariat sejak dini. Peran orang tua adalah mengarahkan anak, agar tidak tersesat jalannya di kemudian hari. Maka, penting untuk menjadikannya “akrab” dengan aturan agama, bukan malah membebaskan perilakunya dengan sederet pemakluman.
Ketiga, berjuang untuk menegakkan sistem Islam dalam kehidupan demi terempaskannya sekularisme dari atas muka bumi. Maka, orang tua perlu merapat kepada jemaah/komunitas dakwah yang berjuang bersungguh-sungguh dan istikamah mengembalikan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah.
Ingatlah, bahwa orang tua salih akan mampu menjadi payung bagi anak-anak yang berkepribadian Islam nan bertakwa. Maka, jadilah orang tua salih sebelum menuntut anak salih. Jangan rela anak-anak kita dididik oleh sistem rusak sekularisme.
Wallahu’alam. []