Breaking News

Tiko, Korban Salah Asuh Kapitalisme

Spread the love

 

Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S

(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)

MuslimahTimes.com – Beberapa waktu lalu viral kisah hidup seorang anak laki-laki bernama Tiko. Betapa tidak, selama 12 tahun Tiko merawat ibunya yang terkena gangguan jiwa di rumah mewahnya yang terbengkalai. Tak ada aliran air dan listrik di rumah tersebut, karena keduanya sudah diputus akibat tak mampu membayar. Untuk mandi, minum, dan memasak, Tiko menadahi dari air hujan. Kisah Tiko menjadi viral karena diangkat menjadi konten oleh seorang Youtuber. Sejak viral, rumah Tiko pun banyak didatangi relawan untuk dibersihkan. Tak hanya itu, media pun berdatangan untuk meliput, hingga akhirnya sang ibu dijemput oleh Dinas Sosial untuk dirawat di rumah sakit.

Sungguh ironis! Kisah Tiko menyadarkan kita betapa negara saat ini minimalis dalam memperhatikan nasib rakyatnya. Jika tak ada Youtuber yang meliput bisa jadi nasib tragis Tiko di rumah terbengkalai takkan pernah berakhir.

Negara ke Mana?

Hampir selalu demikian, pemerintah baru ambil langkah setelah kasusnya viral di masyarakat. Padahal semestinya negara menjadi pihak yang paling awal mengetahui akan kondisi masyarakatnya. Semakin nyata bahwa di bawah asuhan kapitalisme jutaan rakyat Indonesia banyak yang terbengkalai nasibnya. Bukan hanya Tiko dan ibunya. Buktinya, kemiskinan dan kelaparan di negeri ini tak kunjung hilang, malah semakin bertambah. Meskipun Badan Pusat Statistik mengeklaim bahwa pada Maret 2022, jumlah penduduk miskin berkurang, yakni sebesar 26,16 juta orang, menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021, akan tetapi jika lihat fakta realnya di masyarakat, jumlah penduduk miskin justru bertambah, apalagi dengan hantaman pandemi di negeri ini. Padahal Indonesia negeri agraris, kaya akan hasil pangan, namun rakyatnya masih jauh dari kata sejahtera. Miris!

Dalam asuhan kapitalisme, rakyat hanya menjadi instrumen dalam pesta demokrasi. Suaranya diburu para calon yang berkompetisi demi naik ke atas kursi kuasa. Selebihnya, nasib rakyat terkatung-katung dengan pengurusan negara yang ala kadarnya. Negara malah menggelontorkan program-program yang mengarah pada kemandirian rakyat. Artinya, rakyat disuruh berjuang sendiri menghidupi dirinya. Lantas, di mana peran negara sebagai pemelihara urusan rakyat?

Khilafah, Potret Negara Amanah

Khilafah adalah negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Inilah negara warisan Rasulullah saw. Di bawah asuhan Khilafah, rakyat terbukti sejahtera dan mulia. Hal itu terekam dalam sejarah panjang peradaban Islam selama kurun 1400 tahun. Tak ada diskriminasi atas nama ras, suku, bahkan agama. Sebaliknya semua yang berstatus warga negara diurusi oleh Khilafah dengan sepenuh hati. Satu per satu individu rakyat diperhatikan kebutuhannya oleh negara. Bukan seperti saat ini, kesejahteraan diukur dengan indikator pendapatan nasional yang tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya dengan realita yang ada.

Kisah tentang Amirul Mukminin, Umar bin Khattab yang senantiasa berkeliling di malam hari untuk memastikan tak ada satu pun rakyatnya yang kelaparan, menjadi bukti nyata bahwa pemimpin dalam Islam begitu amanah dalam perannya. Tidak menjadikan kekuasaan sebagai ambisi untuk mereguk dunia, melainkan sebagai amanah berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Bahkan kisah masyhur lainnya yang sering kita dengar adalah soal ketiadaan satu pun rakyat yang berhak menerima zakat di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Sungguh amat bertolak belakang dengan kondisi rakyat hari ini, yang berkubang dari kemiskinan bahkan sampai rela menghinakan diri terinjak-injak dalam antrean bantuan sosial.

Oleh karena itu, dalam asuhan Khilafah tak mungkin ada sosok terbengkalai seperti Tiko dan ibunya karena negara akan memastikan satu per satu rakyatnya agar terpenuhi kebutuhan pokoknya. Pelayanan publik takkan dikapitalisasi alias dijadikan lahan bisnis para pemilik modal, melainkan akan disediakan secara murah bahkan gratis untuk rakyatnya.

Sungguh, Tiko adalah korban salah asuh kapitalisme yang menjadikan materi sebagai orientasi dalam perputaran roda kehidupan. Negara hanya bertindak sebagai regulator bagi swasta dalam menyediakan layanan publik, bukan sebagai pelayan itu sendiri. Akibatnya, derita rakyat tak terendus sekian lama.

Padahal dalam Islam, menjadi pelaksana negara itu adalah sesuatu yang berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Nasib rakyat ada di dalam tanggungannya. Maka, tak sembarang orang bisa mendudukinya. Islam memiliki kriteria pemimpin sesuai tuntunan syarak di antaranya laki-laki, muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Jadi, tidak sekadar memenangkan suara rakyat. Apalagi di sistem demokrasi ini, suara bisa dibeli.

Rasulullah saw mengingatkan, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik.” (HR Muslim)

Pemimpin yang saleh, bertakwa, dan berkapasitas negarawan sejati hanya akan terlahir dari institusi Islam, yakni Khilafah. Karena tegaknya Khilafah akan membentuk mata rantai kebaikan-kebaikan dalam kehidupan, termasuk masyarakat yang islami dan pemimpin yang bertakwa.

Wallahu’alam.