Breaking News

Vonis Pinangki Disunat, Keadilan Mustahil dalam Kapitalis

Spread the love

Oleh: Lesa Mirzani, S.Pd

MuslimahTime.Com-Berbicara tentang kasus korupsi di negeri ini memang tidak ada habisnya, pasalnya hingga hari ini belum ada tanda – tanda negeri ini bebas dari korupsi. Belum lagi drama hukuman para pelaku korupsi yang tidak memberikan efek jera sama sekali, seperti apa yang diputuskan pada jaksa Pinangki Sirna Malasari baru-baru ini. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memotong hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari sebelumnya 10 tahun menjadi 4 tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Tidak tanggung- tanggung potongan lebih dari setengah hukuman awal, pertimbangan majelis hakim “Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa, oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik. Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia empat tahun), maka layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.”kata hakim.
(detik.com)

Keputusan ini membuktikan kepada khalayak tentang lemahnya sanksi hukum sistem kapitalis sekuler dalam menindak pelaku korupsi di negeri ini. Tidak dapat dipungkiri, akibat penerapan ideologi kapitalisme di Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum adalah warisan kafir penjajah, bukan inisiatif asli bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Dalam sistem hukum plural ini terdapat 3 sistem hukum plural yaitu sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum Barat. Secara normatif hukum plural ini haram hukumnya diterapkan menurut akidah Islam. Dalam Al- Qur’an Allah berfirman “Allah tidak mengambil seseorangpun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Q.S Al Kahfi:26).

Maka sistem hukum plural yang syirik dan warisan kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan dari muka bumi. Melaksanakan sistem syirik ini bagi kami sama saja melanggengkan penjajahan di negeri ini, karena itu pada dasarnya ideologi kapitalisme yang menetapkan hukum di tangan manusia bukan dari Allah Swt. Itulah yang menjadi akar permasalahan dan kerusakan di negeri ini termasuk kasus korupsi, ini berarti langkah paling utama dan paling penting dan paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan Ideologi Kapitalis itu sendiri. Setelah menghapuskan Ideologi yang merusak itu, selanjutnya diterapkan syariat Islam sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal yang berlaku di negeri ini, maka syariat Islam dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

Sebagai langkah penindakan (kuratif) maka akan diberlakukan sanksi yang disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim, bentuk sanksinya dari yang paling ringan seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di depan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung derat ringannya ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya setelah sampai waktunya di Yaumul Hisab nanti.

Adapun langkah preventif, maka setidaknya ada 7 langkah yang dilakukan untuk mencegah korupsi menurut syariat Islam sebagai berikut:

Pertama, rekrutmen SDM aparat Negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas bukan berdasarkan koneksi atau nepotisme, dalam istilah Islam mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah atau kapabilitas kepribadian Islam (Syaksiyah Islamiyah), Rasulullah saw bersabda “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat. ” (HR Bukhari)

Umar bin Khatab pernah berkata, “Barang siapa yang mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan kaum mukminin. ”

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khattab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya, Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Ash’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya pekerjaan kamu akan menumpuk. ”

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang baik kepada aparatnya, sabda Rasulullah Saw, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tidak punya rumah hendaklah ia mengambil rumah. Kalau tidak punya isteri hendaklah ia menikah. Kalau tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad)

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi aparat negara, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil diluar itu adalah harta yang curang”. (HR Abu Dawud)

Tentang hadiah kepada aparat negara, Rasulullah Saw bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran. ” (HR Ahmad)

Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khattab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir masa jabatannya.

Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Islam menetapkan jika seorang memberikan teladan yang bagus, maka dia akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya, demikian pula sebaliknya.

Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khattab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham, pengkritik itu berkata engkau tidak berhak menetapkan itu wahai Umar.

Penerapan syariat Islam dalam mencegah tindak kriminal korupsi tentu hanya bisa diterapkan dalam negara yang menjadikan syariat Islam satu-satunya aturan bernegara, yakni Khilafah Islam.