Breaking News

1001 Siasat Demi Syahwat

Spread the love

Oleh : Shafayasmin Salsabila (Revowriter Indramayu)

“Dunia seperti meneguk air laut, semakin diteguk semakin haus”.

Peribahasa diatas menjawab pertanyaan besar: Mengapa obsesi sebagian manusia terhadap dunia tiada berkesudahan? Satu gunung emas dalam genggaman, ia akan meminta satu gunung emas lainnya. Tak kenal kata puas dan cukup.

Hal ini juga terjadi dalam dunia perpolitikan. Saat kekuasaan menjadi alat pemuas nafsu keserakahan. Demi meraup sebesar-besarnya keuntungan materi. Seakan menjadi candu yang membuat siapa saja ketagihan. Sudah kadung PW (Posisi Wenak).

Siasat dilancarkan demi mempertahankan pengaruh dan kedudukan yang strategis. Lalu munculah istilah politik dinasti. Yakni sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan politik dinasti pada Pilkada Serentak 2018 ini masih berlanjut. Ada enam provinsi yang masih menjalankan cara-cara dinasti politik. Enam itu adalah Pilgub Sumatra Selatan, Pilgub Sulawesi Tenggara (Sultra), Pilgub Nusa Tenggara Barat, Pilgub Sulawesi Selatan, Pilgub Maluku Utara, dan Pilgub Kalimantan Barat.

Karenanya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memastikan akan memperketat pengawasan terhadap daerah pemilihan Pilkada 2018 yang diikuti para calon dari keluarga inkumben atau bekas pejabat. “Biasanya akan terjadi politik uang, politik anggaran, atau mobilisasi aparatur sipil negara,” kata anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, seperti dimuat Koran Tempo, Rabu, 10 Januari 2018.

Direktur Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan politik dinasti di Indonesia sudah marak. Menurut dia, hal itu disebabkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penghormatan hak politik setiap warga negara.

Larangan keluarga inkumben mencalonkan diri pernah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 7 huruf r. Namun Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal ini dalam perkara uji materi pada tahun yang sama.

Sebastian menuturkan politik dinasti di Indonesia banyak yang memanfaatkan fasilitas pertahanan. Calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan inkumben biasanya mendompleng popularitas untuk memenangkan pilkada.

Manusia diciptakan oleh Allah Ta’ala beserta potensi hidupnya. Salah satunya adalah naluri untuk mempertahankan diri (Gharizah Baqa’). Penampakan dari naluri ini beragam. Diantaranya adalah keinginan untuk berkuasa.

Sebagai seorang muslim. Hasrat berkuasa ini tidak boleh dibiarkan menjadi liar. Ada aturan yang sudah Allah berikan agar pemenuhannya benar. Tidak menghantarkan manusia pada kehancuran dan keburukan.

Menjadi pemimpin bukan hal yang dilarang dalam islam. Justru sebaliknya. Islam sebagai agama yang sempurna menjelaskan dengan rinci tentang bab kepemimpinan.

Islam memandang kepemimpinan/kekuasaan bukan sebagai tujuan. Akan tetapi ia hanya wasilah untuk menjalankan ketaaan kapada Allah. Agar hukum Allah bisa diterapkan sempurna. Bukan untuk menambah pundi harta dan melanggengkan kekuasaan dengan politik dinasti. Pemimpin bertugas menangani masalah umat dengan solusi islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Semua bentuk kekuasaan dalam Islam tujuannya adalah menjadikan agama seluruhnya milik Allah dan kalimat Allah saja yang tertinggi, karena Allah Ta’ala menciptakan makhluk tak lain adalah untuk tujuan ini. Oleh karena tujuan inilah kitab-kitab suci diturunkan, para rasul diutus, dan Rasulullah beserta para sahabatnya ikut berjihad.” (Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, 28/ 61)

Seorang pemimpin muslim apapun levelnya. Apakah dalam ruang lingkup negara ataupun daerah, pasti akan diminta pertanggungjawabannya. Baik di hadapan warga yang dipimpin juga kepada Allah kelak di Yaumil Hisab, atas janji-janji semasa kampanye dan kebijakan-kebijakan serta kinerja selama menjabat.

Islam tidak mengenal adanya politik kekerabatan. Tidak memandang garis nasab. Siapapun muslim yang dipandang layak dan memenuhi syarat untuk memimpin maka ia akan dipilih. Pemimpin umat (Khalifah) yang dinyatakan sah melalui proses bai’at, akan menunjuk orang-orang yang pantas untuk menjadi wali (gubernur) dan ‘amil (setingkat bupati/walikota).

Khalifah tidak akan mengangkat seseorang terkecuali atas kemampuan serta ketundukannya pada hukum Allah. Bukan atas dasar kedekatan baik secara personal ataupun jalur kekerabatan. Masa masa jabatan seorang wali tidak boleh dalam periode yang sangat lama. Pemberhentiannya dilakukan oleh Khalifah.

Dengan demikian, mental haus kekuasaan sangat jauh dari konsep kepemimpinan dalam islam. Kecurangan ataupun praktik korupsi tidak akan tumbuh subur. Karena siapapun yang diamanahi untuk memimpin, ia sadar sepenuhnya bahwa kepemimpinannya hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia takut akan hari saat ia akan dihisab atas amanah kepemimpinannya.

Karakter rakus akan duniapun musnah ditundukan oleh ketakwaan yang melekat pada diri hamba yang meyakini Allah serta hari pembalasan. Wallahu a’lam bish-shawab. [el]

Leave a Reply

Your email address will not be published.