Breaking News

Agama Dituduh Alat Politik, Bukti Negara Semakin Sekuler

Spread the love

Oleh. Ummu Raihan

(Ibu Rumah Tangga)

Muslimahtimes.com–Pesta demokrasi sudah di depan mata. Pemilu serentak ini akan digelar pada tanggal 14 Februari tahun 2024 mendatang. Masing-masing calon sudah mempersiapkan diri untuk perhelatan tersebut, baliho dan stiker sudah disebar di mana-mana berserta program-programnya. Dalam pemilu tersebut turut pula pemilihan presiden atau pilpres. Dalam pilpres nanti, ada tiga pasang calon kandidat yang akan bersaing. Masing-masing partai pendukung dan tim sukses sudah saling mengunggulkan. Bahkan kampanye hitam di media sosial pun sudah terjadi.

Namun, di tengah hiruk-pikuknya pencalonan capres dan cawapres, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, memperingatkan masyarakat agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok,” ujarnya.

Lanjutnya lagi, bahwa kita harus mampu menjadi rahmat bagi semua golongan. “Kita lihat calon pemimpin kita ini pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya atau tidak. Kalau pernah, jangan dipilih,”

Menag mengungkapkan hal itu ketika menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat. (kemenag.go.id, 3/9/2023).

Pernyataan Menteri Agama tersebut mendapat komentar dari pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menurutnya pernyataan Menag justru malah memicu perpecahan di antara masyarakat.

“Gus Yaqut semestinya tidak membuat pernyataan-pernyataan kontradiktif atau anomali yang bisa memicu pertentangan di masyarakat. Tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang justru akan mendapatkan respons yang negatif dari publik,”. (republika.co.id, 5/9/2023)

Pernyataan Membahayakan

Pernyataan Menag sejatinya membahayakan pemahaman rakyat di negara ini, terutama yang bergama Islam. Karena menganggap bahwa Islam hanya dijadikan sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan bagi seorang calon. Pernyataan tersebut, seolah-olah kehadiran Islam akan merusak politik, sehingga tidak boleh dibawa-bawa saat pemilihan pemimpin. Dan pandangan tersebut, semakin menguatkan bahwa negara ini memang sekuler (paham agama harus dipisahkan dari negara). Karena Islam dijauhkan dari politik, sehingga muncullah tanggapan negatif dari masyarakat terhadap Islam, bahwa Islam itu teroris, fundamentalis, radikal, dan intoleransi.

Padahal jika Islam tidak hadir dalam politik, maka orang-orang yang terlibat dalam politik, semisal para calon akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap pemilihan baik pemilihan capres-cawapres maupun anggota DPRD dan DPR baik pusat maupun daerah, selalu ada serangan fajar ( bagi-bagi uang dadakan). Sehingga para pemilih tidak melihat siapa yang memiliki kemampuan dalam memimpin tetapi siapa yang banyak memberikan serangan fajar. Hal ini sudah menjadi budaya di setiap pesta demokrasi.

Di sisi lain juga, para calon ini mendadak religius, misalnya pakai peci, baju koko, pakai kerudung bagi calon perempuan. Para calon juga akan menyumbang Al-Qur’an, bagi-bagi kerudung, hadir di majelis-majelis taklim, berkunjung dipesantren-pesantren dan lain-lain. Mereka melakukan semata-mata untuk menarik simpatik dari rakyat terutama umat Islam yang merupakan suara mayoritas di negara ini. Sejatinya ketika terpilih nanti, apa yang dilakukan saat ini akan ditinggalkan.

Begitulah praktik politik dalam sistem sekuler, ajaran Islam diambil hanya sebagai aksesoris semata untuk menyempurnakan penampilannya, bukan menunjukkan bahwa mereka seorang religius atau nanti akan menerapkan Islam saat menjadi pemimpin atau menjabat.

Para politisi enggan mengampanyekan Islam politik atau menerapkan Islam kaffah ketika terpilih, sebab mereka tidak akan bebas untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Mereka juga tidak akan bebas mengutak-atik hukum sesuai keinginannya. Alqur’an hanya dijadikan sebagai pelengkap saat sumpah jabatan. Namun sayang, saat mejalankan roda pemerintahan Al-Qur’an dijauhkan dari kehidupan.

Maka, dari itu semakin tanpak bahwa yang mereka takuti bukanlah calon yang menggunakan asesoris Islam, tetapi yang ditakuti adalah Islam politik. Jika seluruh mayoritas Islam sudah paham bahwa Islam politik itulah yang wajib diperjuangkan, maka para calon akan kehilangan suara. Sehingga dengan mereka mengeluarkan opini seperti itu, masyarakat takut memilih jika ada capres – cawapres yang visi misinya adalah Islam politik. Atau jika ada sebuah kelompok yang menyuarakan Islam politik maka akan dicap negatif.

Politik Tidak Dapat Dipisahkan Dari Islam

Dalam Islam, politik tidak bisa dipisahkan dari agama karena agama harus menjadi landasan dalam menentukan arah politik negara. Politik Islam dibangun di atas asas akidah Islam. Politik Islam bertujuan untuk melaksanakan Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri. Hakikat politik Islam adalah pengurusan urusan umat berdasarkan kesahihan dan keadilan Islam. Politik Islam sebagai sarana untuk menerapkan perintah Allah Swt dan Rasulullah saw dalam semua lini kehidupan. Sehingga perintah Allah Swt dan Rasulnya bukan hanya hadir di pengetahuan umat Islam, tetapi bisa dilihat secara nyata penerapannya.

Selain itu, bagi umat Islam, politik adalah bagian dari aktivitas dakwah yang wajib dilakukan oleh umat. Apalagi saat ini Islam belum bisa diterapkan atau menjadikan Islam sebagai sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Maka, umat Islam wajib bergabung dalam kelompok dakwah yang menyuarakan tegaknya Islam. Kewajiban kita bergabung dalam sebuah kelompok dakwah merupakan sebuah perintah dari Sang Pencipta sebagaimana dalam Q.S Ali-Imran ayat 104, “Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Di sisi lain, penerapan Islam dalam semua lini kehidupan ini bukan hanya cita-cita semu bagi kelompok tertentu. Akan tetapi penerapannya sudah dicontohkan oleh para pemimpin-pemimpin Islam sebelum negara Islam hancur pada tahun 1924 di Turki Usmani. Rasulullah saw juga telah mencontohkan praktik politik Islam dalam negara. Saat Beliau sudah hijrah di Madinah, Beliau mengurusi seluruh urusan manusia atau umat yang tinggal di Madinah dengan syariat Islam, berinteraksi dengan kaum kuffar, mengungkap rencana buruk mereka, serta mengadopsi berbagai kemaslahatan umat. Inilah praktik riil Islam politik.

Saat beliau dan pemimpin Islam lainnya memegang sebuah kekuasaan, para pemimpin ini tidak pernah membedakan-bedakan rakyatnya, apakah ia seorang kafir atau Islam. Semua mendapatkan hak hidup yang layak. Seperti masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Salah satu gubernurnya yang berada di Mesir yaitu Amr bin Ash. Sang gubernur berniat membeli tanah yang ditempati gubuk seorang Yahudi dan akan dijadikan sebagai Mesjid. Mendengar itu sang Yahudi meminta keadilan kepada Umar yang saat itu sebagai pemimpin seluruh negara Islam, maka Umar menyuruh kakek tersebut untuk mencari tulang. Setelah mendapatkan tulang, kemudian Umar memberi garis lurus pada tulang tersebut dan diberikan kepada kakek untuk diberikan kepada sang gubernur. Setelah melihat garis lurus yang ada pada tulang tersebut, maka gubernur tidak jadi merobohkan rumah kakek tersebut. Sebab garis lurus itu menandakan bahwa seorang gubernur harus adil terhadap seluruh rakyatnya meskipun ia seorang kafir.

Maka dari kisah diatas, sangatlah mengada-ada jika ada yang menganggap bahwa jika Islam diterapkan maka negara akan kacau, intoleransi, radikal, teroris akan muncul. Padahal opini-opini seperti itu hanyalah sebuah bom yang dilemparkan kepada umat Islam agar umat Islam tidak menyuarakan Islam politik. Islam yang diambil hanya perkara ritual saja sedangkan berkaitan politik harus ditinggalkan.

Begitulah musuh-musuh Islam bekerja memerangi umat Islam. Oleh karena itu, saatnya kita bersatu menyuarakan bahwa segala yang terjadi saat ini adalah penyebab tidak diterapkannya Islam politik. Ini adalah akibat dari penerapan sistem sekuler. Sehingga penampilan para calon yang religius itu, hanya asesoris dan manipulasi semata untuk meraih suara umat Islam.

Wallahu’alam bishowab