Oleh Bi’ah Qarira Shaula, M.PdI*
Bulan Cinta
Bulan Pebruari adalah bulan yang dinisbatkan dengan bulan cinta. Penuh bunga, coklat, kata-kata romantis dan hal-hal lain sebagai bentuk ekspresi cinta. Perayaan bulan cinta ini disebut dengan valentine days, dimana cerita tragis Santo Valentinus dianggap sebagai lambang kesucian cinta. Meskipun sebenarnya banyak versi menyebutkan asal-usul Valentine Days. Ada versi yang mengatakan bahwa bulan tersebut merupakan bulan di mana Romulus (pendiri kota Roma) disusui oleh serigala betina yang memberi Romulus kekuatan fisik, sehingga setiap pertengahan Pebruari mereka akan merayakannya secara megah.
Versi lainnya menyebutkan jika bulan tersebut ditetapkan sebagai peringatan tentang Santo Valentinus yang menentang larangan pernikahan oleh Kaisar agar para lelaki dapat dikirim berperang, sehingga Santo Valentinus dihukum mati. Berbagai versi yang lain dengan cerita beragam, namun Valentine Days kini menjadi suatu perayaan yang mendunia. Diperingati hampir diseluruh dunia setiap tahunnya. Di Indonesia tradisi perayaan Valentine Days awalnya diperkirakan masuk ketika Indonesia dijajah Belanda. Di Belanda perayaan hari Valentine sudah lazim dilakukan, kemudian budaya itu dibawa ke Indonesia dengan bentuk beragam. Berupa saling berbalas surat hingga bertukar hadiah. Pada akhir abad ke 19 melalui arus infiormasi yang tidak terbatas dan kemudahan meniru budaya luar, sebagian remaja mulai ikut meryaakan Valentine Days dalam bentuk yang lebih bebas.
Kebebasan di bulan Cinta
Ekspresi cinta kini tidak lagi dilakukan antara suami istri saja akan tetapi juga kebanyakan remaja dan pasangan yang belum terikat pernikahan. Atas nama kebebasan perayaan ini bahkan melabrak nilai-nilai agama, adat, sosial dan budaya. Tidak hanya sebatas pada bertukar surat menyurat, perayaan bulan cinta dilakukan dengan pesta ciuman massal bahkan sampai dilakukannya pesta seks bebas. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya pemesanan kamar hotel dan angka penjualan kondom dihari Valentine. Di Indonesia misalnya pada tahun 2017, dari data Durex menyebutkan penjualan kondom tertinggi jatuh pada hari cinta tersebut. Kenaikan penjualan mencapai 25% dan hampir 51% orang akan melakukan seks sebagai bentuk ekspresi cinta (Tribun news.com 14/2/2017). Di salah satu minimarket kota Bogor pada 14 Pebruari tahun 2017 hanya tersisa 5 bungkus kondom pada pukul 20.00 WIB (TribunnewsBogor.com, 14/2/2017). Tingginya angka penjualan kondom tepat pada hari valentine mengindikasi terjadinya peningkatan perilaku seks bebas terutama di hari Valentine.
Cinta dan Logika
Cinta ini kadang-kadang tak ada logika, demikianlah kiranya Agnes Monica pernah menggambarkan di salah satu liriknya. Ekspresi cinta yang bebas telah menyebabkan tak ada lagi logika yang diperhitungkan, baik dikalangan remaja atau dewasa. Tingginya indikasi perilaku seks bebas dihari Valentin adalah salah satu bukti bahwa saat ini cinta memang sudah tidak mampu berlogika. Tidak ada lagi nilai adata, budaya, sosial bahkan agama yang menjadi pertimbangan ketika ekspresi cinta itu disimbolkan dengan melakukan seks bebas.
Kesalahan Memahami Cinta
Perilaku bebas dan hedonis dalam memaknai cinta itu setidaknya berasal dari tiga hal. Pertama, salah memahami makna cinta yang sebenarnya dikarenakan salah meletakkan pondasi berfikir. Jika cinta dimaknai hanya dengan kepuasan seksual semata maka pondasi berfikirnya hanya dibangun berdasarkan nilai kebebasan berekspresi dari nafsu birahi. Sehingga ekspresi cinta hanya dapat dimaknai ketika nafsu itu terpenuhi, apapun nilai-nilai yang ada tidaklah menjadi berarti lagi karena makna bebas itu sendiri telah menyebabkan bentuk ekpresi tidak perlu dibatasi.
Kedua, tidak adanya keseragaman pemahaman tentang batas kebebasan dan pemikiran yang benar. Kini nilai benar dan salah itu tidak lagi menjadi baku. Misalnya ketika seorang ibu mengurung anaknya untuk tidak pergi merayakan hari Valentine bisa jadi ibu akan dianggap telah melakukan kekerasan terhadap anak, atau melanggar hak asasi anak untuk berekspresi. Apakah kebebasan itu adalah ahl yang benar atau salah tidak ada lagi kaidahyang baku dan seragam.
Ketiga, lemahnya hukum dan pengawasan atas hak-hak dan kewajiban individu sebagai manusia yang perlu dilindungi. Saat ini hukum terkait dengan perlindungan terhadap orang tua yang memberikan atau memberi arahan dalam kehidupan misalnya dengan melarang anak mengikuti perayaan Valentine Days tidak ada. Bahkan ibu tidak dapat dilindungi secara hukum apabila telah mengekang anak meskipun demi kebaikan masa depannya, terutama jika dianggap melanggar nilai kebebasan dan hak asasi.
Agar Cinta tetap Berlogika
Cinta semestinya dibangun atas dasar keikhlasan dan tujuan yang jelas. Tidak mengeksploitasi kepuasaan seksual tetapi untuk tujuan yang lebih luhur dan mulia. Islam memosisikan cinta yang berlandaskan kepada keimanan dengan tujuan meraih rida Ilahi. Dalam meraih tujuan ini maka ada nilai batas di mana ekspresi cinta disalurkan melalui jalan yang benar yaitu pernikahan untuk meraih keturunan. Seks tidak dianggap sebagai pemuasan hawa nafsu, tetapi dalam rangka memilki putra dan putri hadiah Ilahi dalam bingkai pernikahanyang suci. Keimanan pun menjadi batas yang melindungi orangtua dan keluarga yang melaksanakan kewajiban pendidikan dan penjagaannya kepada anak. Payung hukum negara begitu aktif mememuhi kebutuhan individu dalam meraih rida Ilahi dikarenakan adanya satu pemahaman tentang nilai benar dalam koridor negara dan hak individu. Cinta itu tulus, namun sejatinya ketulusan cinta itu tetap harus dijaga agar tetap berlogika dan tidak menimbulkan bencana.[el]
*Penulis adalah anggota Akademi Menulis Kreatif kota Banjarmasin