
“Yaa Bunayya (wahai ananda)”. Coba rasakan. Betapa lezat panggilan itu di gendang telinga. Mungkin jika dilihat sepintas orang menyangka itu panggilan lembut seorang bunda pada anaknya. Namun ternyata begitulah Al Quran merekam dialog para ayah sejati memanggil lembut anak-anaknya.
_Ayah Ajari Aku Sesuai Fitrah_
Serta 8 judul lainnya yang saling melengkapi tema bagian ini.
Ada 12 judul dalam bagian ini. Tulisan Cahyadi Takariawan dalam ” Good Father” mengungkap bahwa menjadi ayah yang baik adalah sebuah proses. Rochma Yulika berbicara tentang mewariskan semangat ayah ke anaknya. Dan 10 tulisan lain yang keren.
Dibagian ini judul judul tulisan lebih banyak mengupas sisi ayah yang lebih operasional. Sosok ayah yang harus hadir secara utuh di rumah, bagi istrinya, bagi anak-anaknya, bagi keluarganya. Keluarga perlu warna seorang ayah karena peran ayah sebagai kepala keluarga, pemimpin, bukan cuma pencari nafkah.
Jadi apa sesungguhnya peran Ayah? Hary Santosa dalam bukunya FBE mengungkapkan bahwa:
Para ayah adalah pembuat misi keluarga, yaitu peran spesifik keluarga dalam peradaban. Lihatlah di dalam Al Quran bagaimana Nabi Ibrahim AS adalah sang pembuat misi keluarga. Misi keluarga beliau diabadikan dalam doa-doanya.
Seorang ayah diperlukan kehadirannya sebagai pensuplai Ego bagi anak anaknya. Supply ego ini memberikan kemampuan “leadership” bagi anak anaknya
Baca Yuk, [25.04.18 13:31]
, sementara ibu pemberi supply Emphaty atau “followership”.
Ayah dengan rasionalitas berfikirnya, berkontribusi membangun struktur berfikir bahkan inovasi di rumahnya atau di keluarganya. Kalau Ibu memberikan kemampuan emosional.
Para ayah diperlukan kehadirannya untuk memberikan suplai maskulinitas baik anak lelaki maupun anak perempuan. Ayah dan Ibu harus hadir sepanjang usia anak sejak 0-15 tahun (Aqil Baligh). Anak lelaki pada usia 7-10 tahun memerlukan lebih banyak kedekatan pada ayahnya untuk menguatkan konsep fitrah kelelakiannya menjadi potensi peran seorang lelaki sejati.
Pada usia 10 tahun ke atas, anak anak perlu diuji kemandirianya, keimanannya dgn beragam program, nah para ayahlah sang raja tega yang mampu memberikan tugas tugas berat untuk menguatkan potensi potensi anak menjadi peran peran peradabannya kelak. Dalam hal ini ibu sebagai “sang pembasuh luka” yang memberi penawar bagi keletihan dan obat bagi luka dalam menjalani ujian.
Sesungguhnya ayahlah penanggungjawab pendidikan, yang merancang arah dan tujuan pendidikan keluarganya sesuai misi keluarganya. Ibulah yang kelak mendetailkannya menjadi proyek atau kegiatan harian.
Secara fitrah bahasa, wanita lebih cerdas bahasa dibanding para lelaki. Wanita bicara 50rb sampai 70rb kata perhari, jadi ibu memang lebih banyak membersamai anak.
Melihat bahwa seorang lelaki “single tasking” dibanding wanita yang “multi tasking”, para ayah tidak bisa terlalu banyak turun dalam hal detail, bahkan mereka perlu lebih banyak berada di luar masalah agar bisa memberikan solusi yang jernih bagi para ibu yang dalam kesehariannya sudah dipenuhi banyak masalah dalam mendidik.
Para ayah yang tidak mau atau sulit terlibat dalam proses mendidik anak anaknya, umumnya adalah para ayah yang tidak selesai dengan dirinya atau tidak bahagia menjalani karirnya walau sukses sekalipun, jadi mereka harus dibantu agar kembali fitrahnya dan banyak didoakan.