Breaking News

Bongkar Aib, Rumah Tangga Raib

Spread the love

Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute

Muslimahtimes.com – Aib-aib rumah tangga sedang bertaburan di dunia maya. Sayangnya, hal itu juga datang dari orang-orang yang dipandang sebagai kalangan yang mengerti agama. Ada seorang istri ustaz yang membongkar poligami almarhum suaminya yang telah meninggal. Ada istri “ustaz seleb” yang menari di aplikasi joget hingga berujung hujatan.

Ada anak dai kondang yang membongkar perilaku sang ayah terhadap ibunya. Ada istri yang menggugat cerai dan membeberkan aib suami yang sampai tulisan ini dibuat, bahkan belum sah menjadi mantan. Ada lagi istri yang melaporkan suaminya sebagai pelaku KDRT hingga ditahan kepolisian, lalu terus bergulirlah saling hujat satu sama lain. Ada suami istri yang berseteru di media-media sosial hingga media daring nasional. Ada suami yang mempertanyakan keabsahan anak kandung yang dilahirkan istrinya hingga menuntut tes DNA. Na’udzubillahi mindalik.

Media kini telah menjelma menjadi saluran mengumbar persoalan privat yang seharusnya tidak pantas dikonsumsi publik. Berbagai pandangan negatif pun muncul dari para netizen. Mereka ada yang dituding pansos alias panjat sosial, yaitu upaya menjadi populer dengan memanfaatkan isu yang kontroversi. Padahal publik sama sekali tidak membutuhkan informasi yang lebih tepat disebut sampah itu. Entahlah.

TREN YANG MERUSAK

Media sosial memang pisau bermata dua. Dia bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan yang sangat besar. Seperti untuk saluran berbagi kebaikan, bersilaturahim, hiburan hingga berbisnis. Namun sayangnya, juga menjadi wadah mengumbar aurat hingga mengumbar aib. Betapa mudahnya memviralkan hal-hal berbau privat. Termasuk konflik suami istri dalam rumah tangga yang notabene itu adalah aib keluarga. Hal yang seharusnya ditutup-tutupi, malah diumbar sendiri oleh pelakunya.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abi Barzah Al Aslami: ’’Jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum Muslimin, dan jangan sekali-kali mencari noda atau auratnya. Karena, barangsiapa yang mencari-cari noda kaum Mukminin, Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya.”

Ironisnya, media-media resmi ikut arus dalam pusaran aib-aib rumah tangga. Terbawa arus di dunia maya yang seolah menjadi “panggung” eksistensi media yang bersangkutan. Demi apa? Demi mendapatkan pengakuan di masyarakat bahwa merekalah yang terdepan, paling tahu, dan benar. Lantas, apakah yang berseteru di media persoalannya selesai? Bukannya mendapat solusi, konflik makin runcing. Bahkan, rumah tangga pun tak terselamatkan. Sudah terlanjur malu diumbar-umbar seantero jagat, bagaimana bisa melanjutkan hidup kembali bersama?

DIRANGSANG MEDIA

Sejak kemunculannya, media sosial sudah diteliti berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab hancurnya rumah tangga. Rasa saling curiga, perasaan cemburu, munculnya perselingkuhan hingga kecanduan media sosial telah menyebabkan hubungan pernikahan merenggang. Kasus di pengadilan-pengadilan agama, bubrahnya rumah tangga salah satunya dipicu oleh penggunaan media sosial yang tidak bijak.

Contoh kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Karawang. Tercatat, kasus perceraian yang terjadi selama beberapa tahun terakhir banyak diakibatkan oleh penggunaan media sosial. ”Sekarang ini, pemicu perceraian tidak melulu karena faktor ekonomi. Penggunaan medsos juga bisa memicu perceraian pasangan suami isteri,” kata Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Karawang, Abdul Hakim, Minggu (9/9/18) seperti dilansir Beritasatu.

Di persidangan, banyak pasangan suami isteri bercerai karena kecemburuan yang bermula dari pertemanan pasangannya di medsos. “Baru beberapa tahun terakhir ini saja, medsos menjadi pemicu terjadinya perceraian. Banyak kecemburuan hingga perselingkuhan yang berawal dari medsos,” kata dia.

Seperti diketahui, tak sedikit pula suami atau istri yang lebih suka curhat di media sosial dibanding kepada pasangannya sendiri di dunia nyata. Bukannya membuat hubungan menjadi bagus, malah memburuk. Apalagi jika pasangan lantas berteman dengan kawan lama, bahkan terhubung kembali dengan mantan-mantannya di masa lalu. Meningkatkan rasa saling curiga hingga berujung pertengkaran.

Sementara itu, tak sedikit yang membandingkan hidupnya dengan performa orang lain di media sosial. Perasaan insecure atau tidak nyaman dengan apa yang sudah diraihnya, menggerus rasa syukur hingga munculnya tuntutan-tuntutan yang berlebihan kepada pasangan.

Padahal, apa yang ditampilkan di media sosial bukanlah sesuatu yang ideal. Di sini, dipajang berbagai jenis konten yang tak selalu identik dengan kenyataan. Siapapan dapat melakukan berbagai manipulasi informasi untuk membangun citra diri. Media sosial sesungguhnya adalah wadah memoles diri agar tampak tampil berkelas, mengikuti arus utama yang sudah ada.

Mengapa? Karena manusia pada dasarnya membutuhkan pengakuan. Butuh diakui sebagai bagian dari komunitas sosial mereka. Seorang individu tanpa sadar pasti tidak ingin dianggap aneh atau berbeda dari kebanyakan teman-temannya. Jika orang bisa, saya pun juga harus bisa.

Nah, karena sekularisme yang mendominasi platform media sosial, maka tersihirlah masyarakat tanpa sadar untuk mengikuti gaya hidup liberal. Gaya hidup hedonis, buka aurat hingga buka aib menjadi tren. Beginilah ketika kita hidup di dałam demokrasi sekuler yang berasas kebebasan alias liberalisme. Media berdiri sebagai sumber kekuatan informasi baru yang tidak terkendali. Karena tanpa pengawasan dan filter dari penguasa, media justru menjadi corong keburukan. Jika hal ini tidak dikendalikan, ke depan tren membuka aib sungguh akan terus merejalela. Tren yang bukan hanya buruk, tapi juga sangat merusak.

IKLIM GLOBAL

Secara global, standar hidup kapitalisme yang dipajang di media sosial, membuat tingkat kepuasan dalam kehidupan rumah tangga tiba-tiba merosot tajam. Merasa menjadi orang paling menderita sedunia karena belum meraih seperti apa yang mereka lihat di media sosial. Itulah yang mimicu pertengkaran hingga berujung perpisahan.

Apakah kondisi tersebut hanya fenomena kecil di Indonesia saja? Tidak. Ini adalah fenomena global akibat penerapan sistem liberalisme global. Sistem ini menciptakan iklim liberalisme yang mendidik masyarakat begitu terbuka, tanpa mampu lagi memilah-milah mana yang seharusnya disimpan dań mana yang boleh dipublikasikan.

Tak terkecuali iklim jurnalistik yang terseret arus hingga melenceng jauh dari konsep apa itu yang layak disebut berita. Iklim liberalisme menyuburkan lahirnya media-media sampah, terlebih jika hal ini mampu mendatangkan keuntungan material. Di mana ada sesuatu bernilai viral di media sosial, di situlah media mainstream ikut berkerumun ingin menikmati kue ketenaran. Makin tenar, makin mendatangkan uang. Nah, hal-hal berbau aib, tak terkecuali aib rumah tangga adalah hal yang paling menarik perhatian manusia.

Padahal di dalam Islam jelas, aib harusnya ditutupi. Iklim Islam tidak akan membiarkan aib menjadi konsumsi publik. Bila individu-individu bertakwa, tak akan mudah baginya membongkar sisi hidupnya yang paling rahasia. Iklim Islam juga akan menjaga masyarakat dari hobi menggunjingkan aib orang. Bahkan mereka ikut menutup rapat. Sementara negara, bisa mengendalikan media dengan melarang keras menampilkan informasi selain yang berguna bagi masyarakat. Apakah iklim seperti ini bisa terwujud? Semoga.(*)