Breaking News

Dampak Liberalisasi Dua Garis Biru yang Tak Diharapkan

Spread the love

Oleh Asha Tridayana

Muslimahtimes– Baru-baru ini, di televisi sering muncul iklan trailer film berjudul Dua Garis Biru. Dalam film tersebut ada beberapa adegan yang menunjukkan adegab pacaran remaja yang melampaui batas. Hal ini jelas tidak layak dipertontonkan kepada masyarakat terutama remaja milenial yang dengan mudah meniru hal apa pun.

Maka tak mengherankan akhirnya muncul petisi yang digagas oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di Change.org. sebagai upaya mencegah terjerumusnya para remaja yang menonton film tersebut ke dalam pergaulan bebas, yang menganggap perbuatan tidak bermoral menjadi hal yang wajar. Dan berpikir solusi praktis dengan sebuah pernikahan.

Lain halnya dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menganggap film Dua Garis Biru ini sebagai sarana edukasi untuk para remaja dengan program Generasi Berencana (GenRe). Film tersebut memberi pesan bahwa remaja harus memiliki rencana kehidupannya sejak awal hingga kelak membangun rumah tangga. Karena pernikahan di usia muda bisa merusak masa depan dan cita-cita, serta dapat menganggu kesehatan reproduksi.

Selain itu, BKKBN juga menggelar nonton bareng film tersebut sebagai ruang diskusi dengan para remaja. Dan baru 6 hari penayangannya, jumlah penonton telah mencapai 1 juta dan menjadikan film Dua Garis Biru dalam deretan film Box Office Indonesia.

Sungguh disayangkan, ketika ada sekelompok orang yang keberatan dan melakukan penolakan terhadap film tersebut, di sisi lain pemerintah malah mendukung dan menjadikannya sebagai sarana edukasi. Inilah dampak penerapan sistem kapitalis liberal yang menjadikan kebebasan dan keuntungan sebagai patokan dalam bertindak. Sehingga ketika pemegang kepentingan (penguasa dan pengusaha) merasa diuntungkan, maka cara apapun dilakukan agar tercapai tujuannya. Walaupun banyak pihak yang menolak bahkan mengecamnya. Sebagai contoh dalam industri perfilman tersebut.

Selama film dijadikan sebagai ladang bisnis yang dapat memberikan keuntungan, apapun kontennya, bukan menjadi masalah. Termasuk rusaknya moral generasi penerus bangsa. Ditambah lagi film-film tersebut dikemas sedemikian rupa dengan tokoh yang rupawan dan cerita yg menarik, seperti kisah romansa. Menjadikan film tersebut mempunyai nilai jual tinggi yang sangat menguntungkan. Sebagaimana dalam film Dua Garis Biru yang juga disertai embel-embel film edukasi bagi remaja sehingga semakin menambah ketertarikan masyarakat untuk menontonnya.

Penelitian juga menunjukkan bahwa suatu tontonan akan memengaruhi pemikiran dan perilaku penontonnya. Bukan edukasi yang didapatkan, justru adegan-adegan di dalam film yang lebih melekat di otak para remaja. Bagaimana ingib mencegah kenakalan remaja, edukasi yang diberikan malah seperti memberikan contoh?

Oleh karena itu, para remaja sangat rawan untuk menontonnya. Maka tidak mengherankan, angka kasus penyimpangan perilaku seks di bawah umur di Indonesia semakin tinggi setiap tahunnya. Dan otomatis generasi penerus peradaban tersebut akan memiliki moral dan kepribadian yang rusak dan tidak berkualitas. Padahal generasi muda menjadi ujung tombak kemajuan dan menentukan nasib suatu bangsa.

Maka dari itu, dibutuhkan peran negara sebagai pelindung bagi rakyat dari maraknya arus liberalisasi. Keadaan ini telah mewabah di segala aspek kehidupan, termasuk industri perfilman. Negara seharusnya dapat mengendalikan film-film yang beredar di masyarakat, bahkan mengatur produksi film agar tidak menjadi tontonan yang memberikan dampak negatif. Negara mempunyai wewenang memutuskan apakah suatu film layak ditayangkan atau tidak.

Dalam hal ini, syariat Islam telah mengaturnya bahwa film sebagai sarana dakwah dan edukasi bagi rakyatnya. Film yang diproduksi harus berlandaskan akidah Islam dan tidak mengejar keuntungan semata. Segala yang berkaitan dalam produksi film, baik tokoh, cerita, setting tidak melanggar aturan-aturan dalam syariat Islam. Maka tidak mungkin didapati ada adegan yang bukan mahrom, berpakaian yang tidak menutup aurat, bahkan cerita yang diluar akidah Islam. Nilai-nilai Islam selalu ditekankan, bahwa pondasi seseorang adalah keimanannya. Sehingga keberadaan film dalam suatu negara benar-benar menjadi tempat mengenal, memahami dan mengamalkan syariat Islam.

Generasi muda penerus bangsa menjadi jelas dalam berpikir dan bertindak. Mereka mempunyai dasar yang kuat dan tidak mudah terjerumus pada perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam. Generasi muda juga menjadi disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti sabda Rasulullah saw, “Tidak akan bergeser kaki seorang manusia dari sisi Allah pada hari kiamat (nanti), sampai dia ditanya tentang lima (perkara): tentang umurnya, untuk apa dihabiskan? Tentang masa mudanya, untuk apa digunakan? Hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dibelanjakan? Ilmunya, bagaimana dia amalkan ilmunya?” (HR. Tirmidzi).

Karena segala sesuatu yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan, termasuk masa muda. Dan kondisi semacam itu, hanya dapat terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah oleh negara.

Wallahu’alam bishawab. [nb]

Leave a Reply

Your email address will not be published.