Breaking News

Emban Cindhe, Emban Siladan

Spread the love

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

(Institut Literasi dan Peradaban)

MuslimahTimes.com – Judul di atas adalah salah satu pepatah dalam bahasa Jawa, yang terjemahnya menggendong dengan selendang, menggendong dengan rautan bambu. Maknanya, pepatah ini berisi nasihat yang kebanyakan ditujukan pada orang tua (penguasa) agar tidak membeda-bedakan perhatiannya terhadap anak atau rakyat (bawahannya). Yang disukai jangan lantas diberi kemudahan, sementara yang tidak disukai terus-menerus disakiti (dipersulit hidupnya).

Penulis menemukan kecocokan antara judul di atas dengan keadaan masyarakat hari ini. Saking jauhnya dari Islam hingga ada pergeseran makna kebahagiaan hidup. Bukan lagi rida Allah Swt, melainkan terpenuhinya kebutuhan jasadiyah, berupa materi semata. Mungkin saking lamanya hidup susah, atau mungkin juga karena stimulan kehidupan hedonis di negeri ini yang turut menyumbang pemikiran yang melenceng ini.

Viral di media sosial, satu desa ramai-ramai beli mobil usai terima uang ganti rugi lahan kilang minyak. Peristiwa itu terjadi di Desa Sumurgeneng, Kec. Menu, Kab. Tuban Jawa Timur. Tak hanya satu warga namun hampir semua membeli mobil baru hingga total keseluruhan mencapai 176 mobil, sebab ada yang satu rumah bisa membeli dua hingga 3 mobil.(detikcom, 16/2/2021)

Entah ungkapan kegembiraan atau justru depresi hingga tingkat nadir, di saat pandemi belum beranjak, mereka justru membeli mobil, di saat banyak orang berjibaku dengan kematian, pengangguran dan kebutuhan pokok yang harganya kian melangit, mereka justru membeli mobil, tak hanya satu tapi hingga tiga sekaligus.

Penggantian uang atas penjualan tanah mereka dari kilang minyak Petrokimia yang digarap oleh PT.Pertamina (Persero) bersama Rosneft dari Rusia. Dianggap berkah dan bukan bencana. Ada pergeseran arti kebahagiaan, betapa meruginya rakyat, kesempatannya sejahtera diganti dengan mobil yang mengalami nilai penyusutan dalam satu hingga dua tahun ke depan.

Di sisi lain, kembali terjadi eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) atas nama investasi. Rakyat bak seorang anak kecil yang terjatuh menangis, terdiam setelah diganti sebuah permen lolipop. Tak sadar, hingga puluhan tahun ke depan mereka tak lagi berkuasa atas tanah-tanah mereka terlebih tak akan bisa menikmati hasilnya hingga anak cucu.

Korporasi kembali bekerja sama dengan negara “mengelola” SDA, padahal kilang itu hak milik umat. Sebagaimana hadis Rasulullah,” Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api ‘ (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Perserikatan di situ bermakna perserikatan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua boleh memanfaatkannya. Tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja, sementara sebagian yang lain dihalangi/dilarang. Artinya, di situ ada izin dari Asy-Syâri’ ( Allah Swt) kepada semua orang secara berserikat untuk memanfaatkan jenis harta itu. Sudah diketahui bahwa izin Asy-Syâri’ untuk memanfaatkan suatu harta merupakan kepemilikan.

Dan pelarangan SDA dikuasai perorangan ini bukan pada zatnya, namun pada sifat dari SDA itu yang jika diprivatisasi rakyat akan mengalami kesulitan sebab SDA itu menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Lebih jauh lagi akan menimbulkan kemudharatan jika hanya dikuasai oleh segelintir orang . Artinya SDA yang pengelolaannya menjadi penghalang bagi individu untuk memprivatisasi terkatagori kepemilikan umum.

Namun beginilah sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi negara, dimana negara menjadi penjaga sekaligus penjamin kepentingan para kapitalis dengan menjadi payung yang nyaman bagi para investor. Diterbitkannya UU Minerba, Omnibuslaw dan lainnya adalah bukti bahwa mindset negara bukan pengurus rakyat, tapi justru menjadikan hubungannya dengan rakyat untung rugi sebagaimana pengusaha dengan konsumennya.

Ini bukti kesekian, kembali negara menunjukkan hadir bukan sebagai peri’ayah rakyat namun malah pihak yang menzalimi rakyat. Jika dikembalikan kepada makna pepatah bahasa Jawa di atas, jelas pemerintah hanya menyenangkan pengusaha, yang notabene asing, memberikan kenyamanan, fasilitas hingga keluasan membuka investasi. Sementara rakyat yang selama bertahun-tahun “menghidupi” negara dengan pungutan pajak bahkan dengan pembebanan utang tak kuasa apapun. Nasibnya benar-benar dalam keadaan sengsara sepanjang waktu. Apakah ini fungsi negara yang sesungguhnya?

Jelas dalam hal ini ada kesalahan, jika rakyat terus menerus sengsara bahkan rakyatlah yang mengurusi negara, lantas buat apa ada negara? Akar persoalannya pada landasan pengaturan bernegara inilah yang seharusnya sudah dibuang sejak lama yaitu meniadakan peran agama (Allah Swt) dalam pengaturan pemenuhan kebutuhan manusia, yang kemudian dikenal dengan sekuler.

Maka, jika bukan aturan Ilahi yang digunakan, sudah barang tentu aturan manusia yang diterapkan akankah bisa mewujudkan kesejahteraan hakiki?Jelas tidak mungkin! Kesejahteraan hakiki hanya ada dalam pengaturan Islam. Pengelolaan SDA dalam Islam adalah kewajiban negara sebagai naibul (wakil) rakyat. Hasil pengelolaan masuk dalam pos pendapatan Baitul mal dan dikembalikan kepada rakyat, bisa berupa zatnya langsung (BBM,dan lain-lain) dan bisa berupa pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (6 kebutuhan pokok). BUMN adalah milik negara, tidak dibolehkan BUMN go publik kemudian modalnya dirupakan saham, sebab selain akadnya batil bahkan fasad (rusak), berserikat dalam hal yang batil adalah dosa. Secara teknis juga memunculkan celah penguasaan perusahaan oleh asing.

Butuh edukasi kepada umat bahwa hak umat saat ini dikangkangi korporasi dan negara. Semakin jauhnya umat Islam dari gambaran peri’ayahan khilafah dan Islam sebagai solusi, inilah yang harus dipangkas habis dari benak umat. Sebagaimana Allah telah memberikan jaminan bahwa Islam lah satu-satunya agama yang diridai-Nya.

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3].

Jika Islam sempurna, artinya ia bukan sekadar akidah, namun juga peraturan bagi manusia yang sempurna, lantas mengapa masih saja percaya janji manis penguasa yang zalim? Wallahu a’ lam bish showab.