Breaking News

HARUSKAH MENGGENJOT PARIWISATA DEMI PEMULIHAN EKONOMI?

Spread the love

Zuraida Triastuti

(Pendidik Ma’had Tahfid Mutiara Ummat)

 

 

#MuslimahTimes — Pemerintah berencana mewajibkan 25 persen aparatur sipil negara (ASN) di tujuh kementerian/lembaga di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk bekerja dari bali (work from Bali/WFB). Hal ini rencananya akan direalisasikan pada kuartal III 2021.

 

Tujuh kementerian yang dimaksud adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Investasi.

 

Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Vinsensius Jemadu mengatakan, kuota ASN yang diwajibkan untuk bekerja di Bali akan mempertimbangkan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ia menilai, kebijakan ini akan mendorong pemulihan ekonomi pasca-dihantam pandemi Covid-19. Pasalnya, dengan adanya 25 persen ASN yang bekerja di Bali secara otomatis akan meningkatkan tingkat okupansi hotel di wilayah tersebut.

 

WFB diinisiasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan untuk memulihkan pariwisata Bali yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.

 

Pariwisata dalam Cengkraman Kapitalisme

 

Wacana pemerintah untuk mengirimkan 25 persen ASN bekerja di Bali dinilai tidak akan efektif. Alih-alih menguntungkan dan memulihkan pariwisata Bali, rencana itu justru dinilai akan lebih boros.

 

pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (22/5).menilai Negara masih memiliki banyak kebutuhan yang seharusnya diutamakan ketimbang menggunakan anggaran untuk memberangkatkan ASN ke Bali.

 

Trubus juga melihat adanya potensi kerugian terkait kesehatan. Pasalnya, penyebaran Covid-19 masih berkembang, ditambah dengan bahaya adanya mutasi virus yang dibawa oleh wisatawan atau transmisi lokal.

 

Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan,  rencana pemerintah untuk mewajibkan 25 persen aparatur sipil negara di tujuh kementerian  seolah-olah seperti membiayai ASN untuk jalan-jalan.

 

Bhima memandang, kebijakan itu tak akan berdampak signifikan untuk mendorong pemulihan ekonomi di Bali. Masalahnya, ekonomi Bali sangat bergantung dengan wisatawan mancanegara (wisman). Penurunan tajam wisman hingga minus 100 persen secara tahunan per Maret 2021 di pintu Bandara Ngurah Rai tak bisa digantikan semudah itu dengan kebijakan kewajiban 25 persen ASN bekerja dari Bali.

 

Negara yang menganut system ekonomi kapitalisme, sangat mengandalkan  pemasukannya pada pajak dan utang. Parahnya dengan cara penanganan pandemi yang tidak tepat, penerimaan pajak sudah bisa dipastikan akan anjlok drastis. Maka pariwisata itulah pilihan yang tersisa, setelah semua aset sumber daya alamnya dijarah asing dan aseng

 

Langkah negara di awal pandemi dengan menutup semua sektor riil di semua area tanpa mau secara serius memilah mana area yang sudah terinfeksi dan tidak, berdampak memukul pemasukan masyarakat.

 

Pariwisata dalam ekonomi berbasis kepitalisme ini menjadi ajang bisnis. Hanya  Berorientasi profit, bebas nilai. Sehingga apapun ‘dihalalkan’ asal dapat untung.

 

Negara memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber perekonomiannya. Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada, dunia pariwisata dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Namun, di sisi lain pariwisata ini juga mempunyai dampak negatif kepada negara, khususnya masyarakat setempat. Dampak itu terlihat melalui invasi budaya di dalam negara, khususnya masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata.

 

Kebijakan yang Shahih dalam Mengelola Pariwisata

 

Dalam peradaban Islam, pariwisata dikelola Khilafah dengan tujuan dakwah dan syiar. Bertujuan untuk membangun dan mengokohkan keimanan hamba-Nya.

 

Karena pariwisata dalam pengelolaan Islam bukanlah ajang bisnis. Sehingga semua harus dikelola dengan berbasis hadlarah Islam (mengacu pada filosofi pandangan Islam).

 

Bidang pariwisata meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara.

 

Sebagai sarana dakwah dan syiar, maka Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis saja. Ini tentu berbeda, jika sebuah negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan, ataupun mengabaikan faktor kesehatan karena resiko meningkatnya penyebaran penyakit saat pandemi.

 

Di sisi lain, Khilafah pada prinsipnya sudah memiliki kas keuangan sendiri yang tetap  dari sektor pengelolaan sumber daya alam, dari kepemilikan negara, dan zakat. Sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi Khilafah dalam membiayai perekonomianya. Sehingga negara mampu menyokong kebutuhan pokok masyarakat di daerah yang terdampak pandemi.