Breaking News

Infrastruktur, Untuk Rakyat atau Konglomerat?

Spread the love

Oleh : Ifa Mufida

(Penulis Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Keumatan)

 

#MuslimahTimes –– Pembangunan Infrastruktur yang antara lain meliputi pembangunan jalan tol di masa pemerintahan Bapak Jokowi terus digembor-gemborkan oleh pemerintah sebagai prestasi yang luar biasa. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa salah satu prestasi yang berhasil dicapai pada 2018 yaitu rampungnya jalan tol trans jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya. Dalam sambutannya saat menghadiri perayaan puncak hari ulang tahun ke 58 PT. Jasa Raharja bertajuk “Fan Walk HUT Ke-58 Jasa Raharja”, Menteri Budi mengatakan hal tersebut merupakan capaian yang luar biasa (tribunnews.com).

Hal tersebut ditanggapi oleh ekonom senior, Faisal Basri yang menyebut bahwa pembangun tol trans Sumatra-Jawa untuk mempermudah penyaluran logistik adalah sesat pikir. Menurut Faisal Basri, permasalahan ekonomi tidak diselesaikan di akar masalah, sementara politisi banyak menyelesaikan jangka pendek dan fokus ke pemilu. Faisal Basri lantas menyebut bahwa tax rasio kini semakin turun. Dia lantas menguatkan pendapat Kwik Kian Gie bahwa pembangunan infrastruktur rezim saat ini ngawur. Menurut Faisal Basri, Indonesia adalah negara maritim, “Indonesia terdiri dari ribuan pulau, kalau ingin mengintegrasikan seharusnya transportasinya pakai transportasi laut, karena akan menghemat biaya penyaluran logistik” ujar Faisal Basri.

Pada faktanya memang pengguna tol tidaklah gratis, tetapi berbayar. Contoh saja, untuk melewati tol Jakarta-Surabaya harus merogoh kantong sebanyak 600 ribu untuk sekali perjalanan. Angka yang cukup besar, terlebih untuk kalangan menengah ke bawah. Dengan sistem berbayar seperti ini maka sebenarnya bisa dikatakan bahwa jalan tol itu bukan infrastruktur. Karena yang namanya infrastruktur itu membangun dasar struktur perekonomian sehingga bisa dinikmati oleh siapa pun. Infrastruktur itu contohnya jalan raya dan jembatan. Itu bisa dinikmati oleh siapa pun, kalau jalan tol hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berbayar maka namanya ladang bisnis.

Maka sebenarnya siapa penikmat dari infrastruktur yang dibangun Pemerintah Jokowi? Mungkin, sebagian rakyat dapat menikmatinya, tapi penikmat paling besar adalah para pemodal yang ikut serta dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur, alias para konglomerat. Sementara rakyat kebanyakan malah terusir karena tanahnya harus digusur untuk proyek infrastruktur tersebut. Contoh nyata, betapa banyak warga keturunan Betawi yang harus hijrah ke Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang. Bahkan belakangan mereka masih harus menyingkir ke daerah yang masih sepi, karena kehidupan mereka tergusur oleh pembangunan infrastruktur. Lagi-lagi pemerintah mengesampingkan hak-hak rakyat kebanyakan dan lebih mementingkan para pemilik kapital yang terlibat proyek ini.

Hal lain yang patut menjadi perhatian dari pembangunan infrastruktur adalah darimana sesungguhnya dana untuk membangun infrastruktur ini. Pemerintah Joko Widodo terbilang pemerintah yang terlalu ambisius dalam pembangunan infrastruktur. Saking agresifnya pemerintah harus berutang sangat massif, sehingga melampaui kemampuannya. Kita bisa melihat dalam masa tahun ketiga, total utang Pemerintahan Jokowi meningkat hingga Rp1.067,4 triliun menjadi Rp3.672,33 triliun, atau sepertiga dari outstanding utang Indonesia. Bandingkan dengan jumlah utang yang dibuat pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam masa 10 tahun (nusantara.news).

Utang tersebut belum termasuk bunganya. Menurut informasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, bunga dan pokok utang yang akan jatuh tempo dalam periode dua tahun ini, yakni 2018 dan 2019, cukup besar. Dalam rincian DJPPR, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp390 triliun dan pada tahun 2019 sekitar Rp420 triliun. Sehingga dibutuhkan likuiditas sebesar Rp810 triliun untuk menutup utang tersebut, dan itu merupakan angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Terlebih utang tersebut adalah utang riba, sama sekali tidak mengandung prestasi.

Padahal Riba adalah dosa besar yang dilaknat oleh Allah SWT. Bahkan Riba menjadi salah satu faktor hilangnya keberkahan dan memicu datangnya azab Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Apabila perbuatan zina dan riba sudah terang-terangan di suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah rela terhadap datangnya azab Allah untuk diri mereka,” (HR. Hakim). Apalagi ini adalah riba yang dilakukan oleh negara dengan jumlah yang tidak sedikit.

Selain itu, karena dahsyatnya dosa riba itu, sampai disebutkan bahwa dosa menjalankan riba itu setara dengan berzina ibu kandung sendiri. Berzina saja sudah berdosa, apalagi berzinanya dengan ibu kandung sendiri, tentu dosanya berlipat-lipat. Sebab ibu kandung adalah wanita mahram yang haram untuk dinikahi. Kalau pun tidak dengan jalan zina tetapi dengan pernikahan pun juga tetap berdosa. Hadits yang menegaskan hal itu adalah hadits berikut ini. Dari Abdullah bin Masud RA dari Nabi SAW bersabda, “Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Ketika berzina dengan ibu kandung sendiri dikatakan yang paling ringan, lalu bagaimana dengan yang paling berat? Maka tidak patut dibanggakan hutang untuk membangun infrastruktur dengan jalan riba. Itu bukan sukses tetapi itu dosa besar.

Kesalahan lain dari rezim ini yakni ketika rezim membangun atas nama infrastruktur bekerjasama dengan asing. Empat tahun pemerintahan Jokowi ternyata menoreh sejarah ketergantungan Indonesia kepada Cina yang luar biasa, selain kepada Bank Dunia. Ketergantungan ini tidak lain karena dalam rangka pembangunan infrastruktur. Tentu saja infrastruktur pembangunan era Jokowi sejalan dengan misi OBOR (One Belt One Rode) Cina. Sejak diperkenalkan pada 2013 oleh Xi Jinping, OBOR telah berhasil merangkul 65 negara di Asia, Afrika dan Eropa dengan total nilai kerjasama mencapai USD$ 4.4 triliun. Indonesia sebagai salah satu negara target di Asia diestimasikan menerima total investasi sebesar USD$ 69.256 juta.

Dari sini kita bisa melihat membangun kerjasama dengan asing adalah sesuatu yang berbahaya. Karena asing tidak akan memberi sesuatu atau membangun kerjasama jika tidak ada kepentingan dibaliknya, atau menginginkan keuntungan dari negara yang diajak kerjasama. Istilahnya, tidak ada makan siang gratis. Seperti itulah sifat asing dari negara kafir. Sedang hutang luar negeri yang terus menumpuk, membuat negara sulit untuk berdaulat dan mudah disetir. Entah dari segi kebijakan hukum, kerjasama, dan hal lain yang menambah penderitaan rakyat.

Maka, Negara seharusnya membangun infrastruktur negara dengan penuh pertimbangan untuk kesejahteraan umat semata, bukan untuk kepentingan para pemilik modaldankonglomerat. Selain itu, jelas membangun fasilitas dan infrastruktur tidak boleh dengan menggunakan hutang luar negeri dan riba. Terlebih pendanaan dan kerja sama tersebut dengan negara yang mengemban ideologi yang salah dan rusak. Inilah sebenarnya indikasi prestasi yang sesungguhnya dalam pembangunan infrastruktur negara. Jika kondisinya seperti rezim saat ini, infrastruktur dari hutang ribawi dan hanya dinikmati oleh para konglomerat bukan untuk kesejahteraan rakyat, apakah ini yang dikatakan prestasi? Wallahua’lam bi Showab.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.