Breaking News

Iri Pertanda Tak Mampu, Julid Pertanda Cemburu

Spread the love

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih

(Institut Literasi dan Peradaban)

Muslimahtimes.com – Fenomena artis hijrah memang menggembirakan. Terlebih kemudian sang artis mampu tampil memberi ceramah yang tak hanya berisi kisah hijrahnya, namun mulai pula menyebarkan opini Islam Kaffah yang di dalamnya bahas Khilafah. Secara isi tak ada persoalan, sebab selain memang khilafah adalah ajaran Islam, dalam UU positif negara pun ini tidak melarang.

Namun, bukan dakwah jika tak ada tantangannya. Dan bukan surga balasannya jika mudah dalam pengamalannya. Ada saja yang menanggapi hijrahnya seseorang dengan nada miring. Politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko menanggapi pernyataan pendiri NII yang mengatakan bahwa banyak artis hijrah yang berbaiat kepada kelompok radikal dan mendukung pendirian Khilafah Islamiyah atau Negara Islam.

Ia meminta kepada oknum artis hijrah yang mendukung Khilafah Islamiyah tersebut untuk belajar filsafat dan sejarah (suara.com,21/2/2021). “Cantik, gagah, atau kaya raya tanpa kecerdasan sejarah dan filsafat memang paling suka didongengi tentang kiat kilat untuk selamat dunia akhirat (apalagi kalau diingatkan bahwa hidup mereka selama ini blangsak),” tulis Budiman Sudjatmiko dalam cuitan twitternya.

“Kesalahan masa lalumu gak sebesar itu sehingga kalian merasa bahwa itu hanya bisa ditebus dengan mendirikan negara Islam,” tulis Budiman Sudjatmiko. “Kamu akan memaafkan masa lalumu sebagai hal yang manusiawi, bukan untuk dikutuk, tetapi sebagai pelajaran. Jadi baik adalah satu hal penting, jadi dewasa juga hal penting lain, Beragamalah dan berimanlah dalam perdamaian. Tak usahlah membawa-bawa (atau terlibat dengan) gerakan perpecahan. Itu akan memancing perkelahian tak berkesudahan,” sambung Budi.

Ada kesan peremehan dalam gerakan hijrah para artis. Padahal hijrah adalah awal dari perubahan besar. Sebagaimana Rasulullah Saw berhijrah dari Makkah ke Madinah. Bukan karena takut atau bosan berdakwah di Mekah, bertahun-tahun beliau menyampaikan Islam namun ternyata tidak ada kesiapan dari penduduk Mekah sehingga Rasul mengubah strategi sesuai dengan perintah Allah Swt, yaitu berpindah dari Mekah menuju Madinah yang sudah siap menerima Rasulullah dan para sahabat untuk kemudian menerapkan syariat Islam secara Kaffah.

Maka boleh dikatakan bahwa beban hijrah itu sangat berat, tak sekadar sebagai penebus dosa tapi ada kewajiban untuk istikamah. Sebagaimana perjuangan, yang berat adalah mempertahankan. Maka, jelas butuh situasi yang mendukung naik turunnya keimanan.

Situasi yang dimaksud diantaranya sebuah komunitas yang berisi orang-orang yang saling mengingatkan dalam kesabaran dan kebenaran. Baik berupa silahturahmi maupun kajian-kajian penguat. Dan ketika kita bicara negara Islam, kita tak hanya bicara soal sejarah, namun itulah tuntutan akidah bagi setiap individu muslim. Hukumnya memang fardu kifayah, namun jika belum tercapai tujuannya (tegaknya daulah Islam) maka kewajiban itu menjadi fardu ‘ain.

Lantas, ajakan untuk mempelajari sejarah apakah ini bisa dianggap provokator? Dengan pemikiran jernih, tentu ini bisa dianggap sebagai motivasi positif. Sebab, keadaan kaum muslim hari ini sejatinya memang butuh gambaran yang jelas bagaimana ketika Islam itu bisa diterapkan dalam kehidupan bernegara, tidak hanya hidup dalam lembaran mushaf Alquran. Dan itu real, bukan bagian dari filsafat ataupun dongeng.

Adapun hal terakhir yang harus diluruskan, yakni ketika kaum muslim belajar tentang sejarahnya, itu adalah bagian dari uslub dan wasilah memperoleh gambaran yang dimaksud penulis. Dengan hati bening, akan didapati bahwa setiap jengkal sejarah hari ini adalah bermula dari kegemilangan peradaban Islam. Bukan barat apalagi Eropa. Kemudian jika berbicara penebusan dosa tak harus dengan mendirikan negara bahkan tak harus bergabung dengan kelompok yang menginisiasi perpecahan itu adalah pernyataan ambigu dan tak berdalil. Sebab, penebusan dosa dalam Islam bentuknya adalah taubatan nasuha.

Para ulama menyebutkan bahwa taubat nasuha memiliki empat syarat:

Pertama, menyesali apa yang telah berlalu. Kedua, meninggalkan perbuatan tersebut. Ketiga, berniat untuk tidak mengulanginya di masa yang akan datang. Dan keempat, mengembalikan hak orang lain kalau dosa tersebut berkaitan dengan hak orang seperti mencuri dan lain sebagainya.

Di antara penebus dosa tersebut adalah tauhid, karena Allah akan mengampuni dosa-dosa kita selama kita tidak berbuat syirik kepada-Nya. Gantilah dosa-dosa yang kita lakukan dengan amal-amal kebaikan yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita jauhi perbuatan bid’ah. Salah satunya adalah taat dengan perintah Allah dalam Quran surat Al Baqarah: 208 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan…,”.

Sementara yang kita pahami, ada beberapa ayat yang terkategori ke dalam ibadah individual sebagaimana ayat yang memerintahkan salat, zakat, puasa, shadaqoh, makan, minum dan berpakaian. Namun bagaimana dengan ayat hudud, jinayah, qishos, jihad dan yang lain? Itu butuh negara.

Kemudian ayat tentang ketaatan kepada pemimpin yang menerapkan syariat Islam sebagaimana firman Allah dalam Quran surat An-Nisa : 59 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ketaatan kepada pemerintah adalah hal mutlak. Hal demikian itu, menurut Al-Mawardhi dalam Al-Ahkam Al-Shulthaniyah, selagi perintahnya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Jika perintahnya tidak bertentangan dengan agama, apapun itu, maka wajib diikuti. Pertanyaannya apakah hari ini sudah sesuai syariat? Jika belum, bukankah di pundak kita masih ada kewajiban untuk menegakkannya?

Maka, kita sebagai kaum berakal hendaknya lebih bijak menanggapi narasi-narasi yang mengadu domba antar kaum Muslim. Melakukan tabayyun dan kemudian tak lelah terus menuntut ilmu agar senantiasa terjaga dari hal-hal yang justru menjebak kita dalam permusuhan dengan Allah tanpa kita sadari. Padahal ini ulah orang-orang yang iri dan julid terhadap makin meningkatnya kesadaran kaum muslim terhadap agamanya. Wallahu a’lam bish showab.