Breaking News

Ironi Indonesia, Negeri Muslim Terbesar yang Gagal Haji (Lagi)

Spread the love

Oleh : Cita Asih Lestari S.Pi

 

 

#MuslimahTimes — Pil pahit pembatalan keberangkatan ke Baitullah tahun 2021 ini harus ditelan oleh para calon Jemaah haji Indonesia. Banyak pihak menyayangkan sikap Kemenag yang seolah tergesa-gesa memutuskan hal tersebut. Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk arab Saudi Agus Maftuh menepis kabar Indonesia tak mendapatkan izin kuota haji 2021. Hal itu disampaikan  karena belum ada informasi resmi dari Kerajaan terkait hal tersebut (www.Kompas.com).

Polemik Keputusan Pembatalan Haji

 

“Pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jemaat haji. Keputusan ini saya sampaikan melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 660 tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaat Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji pada 1442 Hijriah atau 2021 Masehi,” kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam telekonferensi pers pada Kamis (3/6/2021).

 

Alasan yang dikemukakan Kemenag perihal pembatalan tersebut adalah karena mengutamakan keselamatan jiwa para Jemaah di tengah kondisi Pandemi. Selain faktor kebijakan Arab Saudi yang menjadi alasan dibatalkannya pemberangkatan jemaah, ada faktor internal yang juga menjadi alasan kuat, yaitu ketidaksiapan Kemenag dalam menyelesaikan proses finalisasi keberangkatan Jemaah haji.  Kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas dan pelaksanaan bimbingan manasik semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.

 

Dalam situasi pandemi, jemaah haji harus menjalani masa karantina 14 hari sebelum berangkat dan 14 hari sesampainya di Saudi. Jemaah pun harus menyiapkan sertifikat sehat. Ditambah biaya yang keluar akan semakin besar lantaran operasional mengikuti protokol kesehatan. Seperti kapasitas pesawat yang biasanya satu pesawat menampung 150 orang, kini hanya boleh menampung 100 orang. Hal demikian menyebabkan biaya operasional meninggi. Karena alasan-alasan itulah Kemenag akhirnya memutuskan pemberangkatan haji tahun 20201dibatalkan.

 

Menanggapi hal tersebut, ormas Islam terbesar di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama) merespon, seharusnya pemerintah sudah memiliki perencanaan dalam pelaksanaan haji dalam situasi apa pun, termasuk situasi pandemi.

Inkonsistensi Kebijakan

 

Keputusan pembatalan keberangkatan haji oleh Kemenag yang terkesan terburu-buru memunculkan banyak dugaan, ada apa di balik itu semua? Sebab, jika alasannya adalah untuk menghindari penularan Covid-19, tentu hal demikian tak sesuai dengan kebijakan “new normal” diberlakukan.

 

Bandara, mal, pasar, dan sejumlah tempat yang berpotensi menjadi kerumunan, sudah diaktifkan asal menjalankan protokol kesehatan. Sementara pemberangkatan haji malah batal dengan alasan keamanan nyawa.

 

Seharusnya, jika ingin konsisten terhadap arah kebijakan, maka pemerintah tidak usah takut dengan pemberangkatan haji. Selain itu, pihak Saudi pun belum memutuskan apakah Indonesia mendapatkan kuota atau tidak.  Hal ini diketahui dari Surat dari Dubes Arab Saudi yang dilayangkan pada ketua DPR Puan Maharani bahwa Arab Saudi belum memutuskan Indonesia mendapatkan kuota haji atau tidak. (Kompas TV). Seharusnya keputusan jemaah berangkat atau tidak, diputuskan setelah otoritas Saudi memberikan keputusan.

 

Dari analisis di atas, ditambah kondisi keuangan Indonesia yang morat-marit. Semua anggaran dipangkas untuk menanggulangi pandemi dan rupiah pun melemah pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Wajar akhirnya masyarakat menjadi tidak percaya bahwa keputusan batal pemberangkatan semata karena pandemi.Bukan kali pertama dana haji menjadi polemik. Jumlahnya yang besar telah menggiurkan berbagai pihak untuk memanfaatkannya. Sebelumnya, tahun 2017 di awal pembentukan BPKH Jokowi menyampaikan harapan agar dana haji bisa dioptimalkan untuk infrastruktur seperti jalan tol atau pelabuhan.

 

Begitu pun sudah banyak pejabat negara yang masuk jeruji lantaran kasus penggelapan dana haji seperti Suryadarma Ali, Menteri agama era SBY. Tak ada rasa empati pada calon jemaah yang berusaha keras mengumpulkan uang untuk bisa beribadah haji.

Negeri Muslim Sekuler

 

Sungguh ironi jika negeri muslim terbesar di dunia ini gagal berangkat haji untuk kali kedua.  Hal ini terjadi karena Indonesia adalah negara sekuler, yaitu negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan bernegara. Terjadinya dikotomi mana wilayah yang harus diurusi oleh agama dan mana yang harus diurusi negara, itulah hakikat sekularisme, memisahkan urusan agama dan kehidupan.

 

Ciri-ciri sekuler lainnya adalah jika ada ajaran agama yang mengusik kepentingan penguasa, seperti ajaran Khilafah, maka akan dikriminalisasi. Padahal sudah jelas dalam syariat bahwa sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan yang harusnya diadopsi negeri muslim. Namun rezim demokrasi yang korup tidak menghendakinya, karena sistem Khilafah dengan mekanismenya akan membuang rezim bodoh dan korup.

 

Lain dengan ajaran Islam yang berbau-bau materi. Seperti Zakat dan dana haji, pemerintah sampai membuat lembaga yang konsen dalam mengurusi dana tersebut. apalagi kalo bukan tebang pilih dalam menjalankan ajaran Islam. Yang bermanfaat materi diambil, yang membahayakan kekuasaan dibuang.

 

Misalnya saja menyamakan pajak dengan zakat, padahal menurut ajaran Islam pajak pada rakyat jelata haram sedangkan zakat hukumnya sunah. Menyamakannya sungguh mengada-ada. Begitu pun riba, walaupun telah jelas keharamannya, akan tetapi masih saja negara ini ditopang utang berbasis riba.

 

Sekularisme yang bertemu dengan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan materi di atas segala-galany. Dana haji diutak-atik karena bermaslahat untuk memperkuat rupiah, namun ulama yang mengajarkan Islam dikriminalisasi, sungguh ironi.

 

Maka dari itu, semrawutyna permasalahan terkait dana haji, semata karena negeri ini yang berasaskan sekuler kapitalisme. Asas inilah yang memosisikan kepentingan ekonomi lebih diprioritaskan daripada penyelenggaraan ibadah.

Pengelolaan Haji dalam Islam

 

Sepanjang 14 abad sejarah peradaban Islam, sudah 40 kali pelaksanaan ibadah haji ditunda karena alasan wabah, perang hingga konflik politik. Untuk pertama kalinya ibadah haji ditutup pada 930 M saat ada pemberontakan kelompok Qarmatiah terhadap Kekhilafahan Abasiyah.

 

Penundaan haji karena wabah pernah terjadi pada 1831 ketika wabah cacar dari India yang membunuh 75 persen jemaah haji di Makkah. Wabah kembali melanda Makkah tahun 1837 sehingga ibadah haji 1837-1840 ditiadakan. (dikutip dari kitab Al Bidayah wan-Nihayah karangan Ibnu Katsir)

 

Jika Arab Saudi kali ini memutuskan untuk menutup Makkah karena wabah, ini bukanlah yang pertama dan jumhur ulama membolehkannya. Namun yang menjadi polemik pembatalan haji justru bukan pada keputusan pemerintahnya, akan tetapi paradigma penguasa yang hanya menjadikan haji sebagai komoditas ekonomi yang patut dikoreksi.

 

Haji adalah sebuah kewajiban seorang hamba, maka bentuk pengaturan negara terhadap penyelenggaraan Haji haruslah untuk memfasilitasinya untuk beribadah. Bukan untuk bisnis, apalagi ajang perburuan rente penguasa.

 

Pengelolaannya pun didasarkan pada asas bahwa pemerintah adalah pelayan yang mengurusi tuannya, bukan pedagang yang sedang berjual beli dengan pelanggannya.

 

Misalnya pada masa Utsmaniah, Khalifah Abdul Hamid II, beliau membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Pembuatan sarana transportasi tentu bukan bersumber dari dana jemaah, melainkan dana dari pos pemasukan negara yaitu fa’i, pengelolaan kepemilikan umum, dan sedekah.

 

Begitu pun di masa Abbasiah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Pembangun jalur haji semata untuk kemaslahatan dan mempermudah jemaah haji, bukan mencari keuntungan.

 

Selain sarana dan prasarana yang sangat diperhatikan pemerintah dalam rangka mengoptimalkan ibadah haji, pemerintah pun harus memperhatikan pengaturan kuota haji dan umrah. Sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah.

 

Pengaturan kuota bisa berdasarkan dalil bahwa kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Khilafah akan memprioritaskan jemaah yang belum pernah pergi ke Makkah.

 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah di hadapan kami dan berkata, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunah.” Dikeluarkan oleh yang lima selain Imam Tirmidzi. (HR Abu Daud no. 1721, Ibnu Majah no. 2886, An Nasai no. 2621, Ahmad 5: 331. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih)

 

Selanjutnya kuota pun bisa berdasarkan hadis bahwa kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Sehingga yang belum mampu tidak usah mendaftar karena belum terkena taklif hukum. Pengaturan seperti ini akan meminimalisasi potensi antrean yang panjang.

 

Adapun panjangnya antrean naik haji saat ini diakibatkan oleh adanya dana talangan haji. Sehingga orang yang belum terkategori wajib berhaji sudah mendapatkan antrean. Seperti masa tunggu di provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi selatan yang harus menunggu 30 tahun. Artinya jika daftar tahun 2020 maka jemaah akan berangkat di tahun 2050.

 

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali ‘Imran: 97)

 

Oleh karena itu, pembatalan keberangkatan haji di negara ini berasal dari asasnya yang sekuler dalam tata kelolanya. Sehingga, penyelenggaraan haji hanya dilihat dari aspek ekonomi bukan pelayanan penguasa dalam memfasilitasi warganya dalam beribadah. Alasan pandemic untuk keselamatan para Jemaah menjadi tumbal agar keputusan pembatalan ini dapat diterima.  Padahal kebijakan pemerintah untuk membuka sector public, mall dan tempat wisata mencerminkan inkonsistensi kebijakannya.  Sungguh kebutuhan akan system yang paripurna dalam mengurus ummat sudah sangat mendesak.  System yang berlandaskan Al-quran dan As Sunnah akan menjadi solusi bagi polemic ini.  Karena Jika tata Kelola Negra ini berlandaskan dari aturan yang shohih dan telah terbukti mampu Berjaya selam 14 abad.  Maka sudah semestinya kita  campakkan system sekuler ini dan menggantinya dengan system Islam.